" Berbagai faktor penyebab tidak stabilnya harga pangan serta amburadulnya kebijakan pemerintah dalam menangani hak hidup rakyatnya seolah menyiratkan bobroknya ketahanan dan kedaulatan pangan selama ini."
Oleh. Renita
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
Narasipost.Com-Lonjakan harga pangan rupanya selalu menghantui rakyat di negeri agraris ini. Di tengah pemberlakuan PPKM Darurat, harga pangan kembali bergejolak. Sengkarut distribusi pangan pun kerap dijadikan kambing hitam ketika harga pangan mulai menanjak. Demikian pula, rakyat seolah diminta untuk selalu ‘memaklumi’ terkait adanya fenomena yang meresahkan ini. Padahal, melejitnya harga pangan akan semakin membebani hidup rakyat. Apalagi, adanya pandemi ini membuat daya beli menurun, rakyat semakin terjepit, hidup makin terhimpit, ibarat kata ‘Sudah jatuh tertimpa tangga’.
Dilansir dari www.cnnindonesia.com (2/8/2021), pada Senin (2/8/2021) sebagian besar harga pangan dilaporkan mulai mengalami kenaikan. Bawang merah dan bawang putih merupakan komoditas yang mengalami kenaikan tertinggi. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) melaporkan data terkait kenaikan komoditas bawang merah ukuran sedang mencapai Rp38.500 per kilogram atau naik sebesar 7,69 persen. Kemudian, komoditas bawang putih dengan ukuran sedang mengalami kenaikan mencapai Rp32.750 per kilogram atau naik sebesar 6,85 persen. Komoditas lain yang turut mengalami kenaikan, yaitu jenis cabai-cabaian. Harga cabai rawit merah mengalami kenaikan sebesar 4,52 persen, berada pada kisaran Rp60.100 per kilogram dan harga cabai rawit hijau mengalami kenaikan Rp43.350 per kilogram, naik sebesar 2 persen. Selanjutnya, harga cabai merah besar Rp36.500 per kilogram, merangkak sebesar 1.98 persen dan harga cabai merah berada pada kisaran Rp35.150 per kilogram, terangkat sebesar 1,59 persen. Berikutnya, komoditas gula pasir juga mengalami kenaikan harga sebesar 1,9 persen, daging sapi naik sebesar 1,29 persen, beras naik sebesar 1,98 persen, telur ayam naik sebsar 3,05 persen dan minyak goreng naik sebesar 3,4 persen. Sementara itu, penurunan harga hanya tercatat pada daging ayam ras segar yang turun sebesar 1,7 persen menjadi Rp31.750 per kilogram.
Adanya PPKM darurat tenyata tak hanya membuat rakyat kesulitan untuk mengais rezeki tersebab pembatasan aktivitas. Lebih dari itu, PPKM Darurat ini juga menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan makanan pokok akibat harga pangan yang kian melejit. Padahal, pangan merupakan kebutuhan utama masyarakat. Seharusnya masyarakat diberikan kemudahan untuk mendapatkan bahan pangan. Sayangnya, kebijakan yang dikeluarkan nyatanya belum mampu untuk menjaga kestabilan harga pangan. Pertanyaannya, mengapa lonjakan harga pangan selalu berulang?
Bukan Sekadar Masalah Teknis
Sudah menjadi rahasia umum ketika ketahanan pangan negeri ini selalu bermasalah. Pengaturan sektor pangan yang amburadul membuat persoalan pangan tak kunjung membuahkan hasil. Bahkan, mimpi untuk menjadikan negeri ini memiliki ketahanan pangan seolah hanya sebatas retorika belaka. Sebab pada kenyataannya, masalah pangan selalu menggerogoti negeri zamrud khatulistiwa ini.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Abdullah Mansuri, mengungkapkan faktor yang menyebabkan fluktuasi harga pangan yaitu karena adanya perubahan jam operasional pasar di berbagai daerah akibat PPKM Darurat. Hal inilah yang kemudian memengaruhi pasokan dan permintaan dari setiap komoditas. Beliau berharap, adanya PPKM Darurat ini tidak sampai menutup atau membatasi jam operasional pasar, sehingga tidak terjadi dinamika harga dan memengaruhi distribusi pangan di tengah masyarakat. Dia juga berharap agar pemerintah pusat mewajibkan pemerintah daerah untuk mengadakan pasar tradisional dengan protokol kesehatan yang ketat. (merdeka.com, 16/7/2021)
Sementara itu, menurut Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi, dalam preskon virtual Kementerian Perdagangan pada Senin (26/7) mengatakan terjadinya kenaikan harga pada komoditas pangan cabai terutama cabai rawit merah dan cabai merah keriting dikarenakan adanya siklus musiman dan mendekati masa panen. Sedangkan lonjakan harga pada komoditas bawang merah lebih karena diakibatkan oleh cuaca ekstrem yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dia berharap untuk bulan berikutnya harga komoditas pangan, baik cabai maupun bawang bisa kembali normal. (kontan.co.id, 27/7/2021)
Jika dicermati, ada tiga faktor utama yang menjadi penentu melonjaknya harga pangan, yaitu tingkat permintaan di pasaran, ketersediaan pasokan pangan serta kelancaran distribusi dari produsen hingga ke para pengecer. Berkaitan dengan kenaikan harga pangan pada saat PPKM darurat ini, adanya pembatasan jam operasional pun diklaim sebagai penyebab terganggunya distribusi bahan pokok. Sayangnya solusi yang dilakukan masih dalam tataran teknis, yakni dengan membuka pasar tradisional. Padahal, kebijakan tersebut acap kali tak menyolusi dan hanya bersifat pragmatis.
Pada kenyataannya, kelancaran distribusi pangan bukan hanya seputar persoalan teknis semata tapi juga karena pengelolaannya yang berada dalam genggaman para korporat, mulai dari penguasaan rantai produksi, jalannya distribusi, hingga kendali harga pangan semua dikuasai oleh swasta. Wajar, persoalan pun seolah selalu berulang, karena pada prinsipnya para korporasi akan selalu menimbang sesuatu berdasarkan kaca mata untung dan rugi. Akhirnya, rakyat kembali harus gigit jari, karena lemahnya penguasa ibu pertiwi yang tak mampu menjamin pasokan pangan secara memadai.
Sementara berkaitan dengan cuaca ekstrem serta iklim yang tak stabil, ini pun disinyalir karena ulah para kapitalis juga. Betapa kita saksikan bagaimana massifnya penambangan dan penebangan hutan yang dilakukan oleh para kapitalis secara ugal-ugalan. Ditambah lagi adanya UU Ciptaker yang semakin memuluskan ambisi para kapitalis untuk menguasai lahan strategis bagi usahanya. Pun kebebasan kepemilikan dalam sistem saat ini, membuat mereka bebas melakukan apa pun, tak peduli jika akibat ulahnya justru merugikan rakyat dan berkontribusi dalam melahirkan berbagai kerusakan lingkungan. Padahal, jika ulah para kapitalis ini tidak dilegalkan, tentulah masalah cuaca ekstrem ini akan bisa diatasi.
Gejolak Harga Pangan, Imbas dari Penerapan Kapitalis
Jelaslah, gejolak harga pangan yang selalu berulang memang diakibatkan oleh rapuhnya fungsi negara dalam mengelola sektor pertanian, karena terkooptasi sistem kapitalisme. Sistem ini hanya memosisikan negara sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai pemelihara urusan rakyat. Sementara operator utamanya adalah para korporat dan tikus pengerat yang selalu mencari peluang untuk mengejar keuntungan.
Mirisnya, berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah justru kian memuluskan para kapitalis untuk menguasai sektor vital masyarakat. Imbasnya, korporasi semakin digdaya dalam menguasai sektor pangan masyarakat, mulai dari pengelolaan hingga pemenuhan kebutuhan rakyat. Bahkan, ketika negara berlepas tangan dalam rantai distribusi pangan, justru semakin memperlebar celah tumbuh suburnya mafia pangan, spekulan dan kartel yang berasal dari korporasi pangan itu sendiri. Massifnya kapitalisasi korporasi pangan yang semakin menggurita inilah yang menyebabkan stabilitas harga tidak pernah terwujud, bahkan mimpi untuk menjadikan Indonesia memiliki ketahanan dan kedaulatan pangan makin jauh dari harapan.
Selama sistem kapitalisme keropos ini masih menjadi kiblat dalam pengelolaan pertanian, maka selama itu pula Indonesia akan menjadi bangsa yang terus didikte oleh para korporat dari hulu hingga hilirisasi pertanian. Alih-alih memberikan solusi atas semua problematika masyarakat, justru semakin menjerumuskan rakyat pada kesulitan hidup yang kian parah. Maka dari itu, dibutuhkan adanya dominasi negara yang mampu menyejahterakan rakyat, bukan menyejahterakan para korporat yang hanya mencari keuntungan sepihak.
Islam Mampu Menjaga Kestabilan Harga
Islam merupakan agama sekaligus ideologi yang memiliki seperangkat aturan dalam menyelesaikan seluruh permasalahan hidup manusia, termasuk dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Dalam Islam, penguasa (Khalifah) berperan dalam mengurus dan melayani umat. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Khilafah sebagai institusi negara Islam akan mampu mandiri dalam pengelolaan pangan dari hulu hingga hilir, tanpa adanya campur tangan pihak swasta. Negara Islam akan menjamin kelancaran proses produksi serta ketersediaan stok pangan yang memadai bagi masyarakat. Jika terjadi kelangkaan pangan, maka Khilafah akan memenuhinya dengan menyuplai stok pangan dari wilayah lain, seperti yang pernah dilaksanakan oleh Khalifah Umar bin Khatab pada masa Khulafaur Rasyidin. Ketika itu, selama sembilan bulan Madinah tidak diguyur hujan. Akhirnya, Madinah mengalami masa paceklik, harga pangan pun melejit karena sedikitnya pasokan. Maka, Khalifah Umar langsung mengirimkan surat kepada Amir bin Al-‘Ash selaku Gubernur Mesir, untuk mengirimkan bantuan stok pangan dalam rangka mengatasi kelangkaan pangan.
Khilafah juga akan menghilangkan segala bentuk distorsi pasar yang menyebabkan dinamika harga pangan, seperti penimbunan dan intervensi harga pangan oleh para mafia pangan. Islam mengharamkan adanya monopoli perdagangan dan penimbunan yang menyebabkan kenaikan harga pangan.
Dalam HR. al-Hakim dan al-Baihaqi, Abu Umamah al-Bahili berkata Nabi Muhammad Saw bersabda, “Rasulullah Saw. melarang penimbunan makanan.”
Jika terjadi penimbunan oleh pedagang atau siapapun, maka ia akan dipaksa untuk mengeluarkan stok pangan tersebut dan memasarkannya. Jika kejahatannya memberikan efek yang besar, maka Khalifah akan memberikan sanksi ta’zir. Islam juga akan menghilangkan segala bentuk intervensi harga yang dilakukan oleh pihak lain. Hanya Khilafah sajalah yang menguasai rantai pasok pangan sehingga mampu me-riayah dan menyejahterakan seluruh rakyatnya.
Sistem Islam dengan kedigdayaannya terbukti mampu menjamin tersedianya stok pangan yang memadai serta memudahkan penyalurannya hingga ke ranah masyarakat. Khilafah dengan berbagai kebijakannya juga mampu menahan gejolak harga pangan hingga kestabilan ekonomi dapat terwujud. Dengan pengelolaan berbasis sistem politik Islam, maka Khilafah akan bertengger menjadi negara yang mandiri serta mampu mewujudkan ketahanan pangan. Kedaulatan pangan pun akan tercapai tanpa harus melibatkan pihak swasta.
Inilah negara yang kita impikan, yaitu negara yang mampu menjamin kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Mari kita rapatkan barisan untuk menyongsong tegaknya Khilafah yang tidak lama lagi akan terwujud atas izin Allah Swt.
Wa’allahu A’lam Bish Shawwab[]