KEK MNC Lido City, Gelagat Negara Korporatokrasi

"PP MNC Lido City sebagai bukti nyata kebijakan pemerintahan oligarki dimana segelintir elite politik yang didukung pemodal kuat, mampu berkuasa dan mengendalikan pemerintahan dengan menggunakan kendaraan demokrasi."

Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Indonesia dikenal sebagai negeri zamrud khatulistiwa, tersebab keindahan alam dan limpahan sumber daya alam yang tak terhingga. Idealnya rakyat turut merasakan gemah ripah loh jinawi dengan segala karunia ini. Namun sayang, jauh panggang dari api, rakyat justru terpuruk dalam ekonomi. Terlebih hantaman pandemi Covid-19, membuat kondisi semakin ambyar. Pemerintah melakukan berbagai hal untuk memulihkan kondisi ekonomi, salah satunya dengan menggenjot sektor wisata. Pariwisata merupakan motor penggerak ekonomi nasional. Oleh karena itu, berbagai kemudahan perizinan dan fasilitas dalam pembangunan destinasi wisata menjadi perhatian utama. Dalihnya ingin mewujudkan kesejahteraan rakyat. Lantas apakah hal itu benar adanya?

MNC Lido City telah sah mengantongi status menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata dari Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2021 yang ditandatangani pada 16 Juni 2021. Kawasan itu didirikan oleh PT.MNC Land Lido, anak usaha PT.MNC Land Tbk milik pengusaha Hary Tanoesoedibjo.

Dengan terbitnya PP tentang KEK Pariwisata Lido tersebut, seluruh investor dan pelaku usaha di dalam KEK MNC Lido City dapat menikmati insentif yang melekat pada Kawasan Ekonomi Khusus, yaitu insentif pajak berupa pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), PPh Badan, cukai, dan bea masuk impor, serta berbagai keuntungan bagi investor terkait lalu lintas barang, ketenagakerjaan, keimigrasian, pertanahan dan tata ruang, perizinan berusaha, dan/atau fasilitas serta kemudahan lainnya.
KEK MNC Lido City milik Hary Tanoesoedibjo diklaim world-class entertainment hospitality city seluas 3.000 hektare. Berlokasi di Jl. Raya Bogor-Sukabumi Km.21 Wates Jaya, Cigombong, Bogor. KEK MNC Lido City dikelilingi oleh populasi lebih dari 70 juta jiwa dan akses langsung jalan tol dari Jakarta. (www.kompas.com, 17/6/2021)

Rencana bisnis dari KEK Lido City ini adalah pengembangan atraksi (theme park kelas dunia, lapangan golf, serta retail and dining), pengembangan akomodasi (six stars luxury resort, hotel berbintang lainnya, serta pengembangan TOD), dan pengembangan ekonomi kreatif (studio film dan festival musik). KEK Lido menjadi KEK pertama dari tujuh KEK yang akan dikembangkan di Provinsi Jabar. Tim Ahli Menko Perekonomian, Sanny Iskandar membeberkan sejumlah hal yang menjadi dasar pertimbangan penetapan MNC Lido City menjadi KEK Pariwisata, yaitu secara syarat sudah mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah dan mendapatkan usulan dari pemerintah provinsi setempat. Selain itu, MNC Lido City dinilai bisa memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional dengan menyerap banyak tenaga kerja, ini diyakini mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukan hanya itu, diharapkan MNC Lido City akan menjadi motor penggerak pariwisata nasional. (www.liputan6.com, 17/06/2021)

Hanya saja, warga Kampung Ciletuh Hilir, Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, masih enggan melepas kepemilikan tanah miliknya. Sekitar 600 kepala keluarga (KK) yang terdiri atas 1.300 jiwa terancam proyek pembangunan wisata tersebut. Sebanyak 600 bidang tanah seluas sekitar lima hektare masih belum dibebaskan. Sayangnya, proyek pembangunan MNC Lido City sudah berjalan. (www.republika.co.id, 15/03/2021)

Aroma Korporatokrasi dalam Mega Proyek MNC Lido City

Indonesia serius melakukan pembangunan infrastruktur di berbagai tempat, khususnya dalam bidang pariwisata. Wajar saja, karena pariwisata dijadikan sebagai tumpuan pemulihan ekonomi nasional. Apakah Anda masih ingat Gurilaps? Sebuah ikon pariwisata Jawa Barat dengan membawa suatu mimpi bahwa kelak Jawa Barat akan merealisasikan pariwisata kelas dunia. Hal ini tertuang dalam Perda no.15 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Jawa Barat 2016-2025, yang mencantumkan salah satu program pengembangan pariwisata adalah dengan membangun 7 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) berbasis pariwisata. Ternyata megaproyek MNC Lido City menjadi salah satu proyek yang dijagokan dalam mencapai target Sustainable Tourism. (www.bappeda.jabarprov.go.id)

Beruntung sekali perusahaan yang terpilih menduduki Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), karena akan mendapatkan banyak kemudahan dan insentif (pembebasan) dalam pajak dan iuran lain. Kebijakan tersebut berani diambil pemerintah demi menarik investor asing, dengan suatu anggapan bahwa pariwisata merupakan sektor yang diunggulkan dalam strategi pasar bebas agar terjadi arus modal dan investasi dari berbagai negara, baik berupa korporasi ataupun personal ke suatu negeri.

Miris, di saat pemerintah gencar memalak rakyat dengan pajak melalui rencana perluasan objek pajak pada sembako, pendidikan dan kelahiran, justru para investor dibebaskan dari sejumlah kewajibannya dalam membayar pajak. Terlebih kita tahu, bahwa MNC ini bukan perusahaan kaleng-kaleng, tetapi korporasi raksasa dunia. Tampak sekali adanya keberpihakan yang berat sebelah. Penguasa nampak main mata dan lebih mesra dengan pengusaha dibanding dengan rakyatnya sendiri. Tak berlebihan jika kita sebut Indonesia kini sebagai negeri korporatokrasi, praktik perselingkuhan penguasa dengan pengusaha.
Korporatokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang kewenangannya didominasi kepentingan perusahaan-perusahaan besar. Hal ini berkelindan dengan pemerintahan oligarki, segelintir elite politik yang didukung pemodal kuat, mampu berkuasa dengan menggunakan kendaraan demokrasi. Inilah negeri penganut ideologi kapitalisme, yang bernafaskan sekularisme- materialistik, karakter utamanya adalah kekuasaan yang mengabdi pada kebendaan.

Rakyat patut menduga, direstuinya MNC Lido City masuk dalam KEK, karena keberadaan owner dari MNC grup yang terjun dalam birokrasi, yaitu Hary Tanoesoedibjo sebagai pengusaha, politisi sekaligus menteri dan putrinya Angela Tanoesoedibjo sebagai wakil menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sehingga megaproyek ini bukan hanya meluncur dengan mulus, tapi juga mendapatkan berbagai fasilitas dan kemudahan yang sangat menguntungkan korporasi raksasa ini. Harapan untuk menjadikan pariwisata sebagai tumpuan pemulihan ekonomi nasional, khususnya dalam membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat sepertinya hanya ilusi belaka. Pasalnya, sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam mengelola pariwisata kelas dunia tentu saja dengan kriteria tinggi, selain harus memiliki keterampilan khusus dan kecakapan dalam bekerja, juga harus menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Lantas, akankah masyarakat sekitar mampu memenuhi kriteria itu? Melihat riwayat pendidikan dan pekerjaan mereka yang sebelumnya bergerak dalam bidang pertanian dan interaksi lokal saja, sepertinya hal itu akan sulit terpenuhi.

Alih-alih meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar, justru mereka malah terkena imbas pembangunan proyek dengan pembebasan tanah secara terpaksa. Mereka harus rela kehilangan ladang, sawah, kebun, dan hutan yang subur, serta sarat unsur hara yang selama ini mereka kelola. Mata pencaharian sebagai petani guna menopang biaya hidup sehari-hari pun terpaksa harus mereka tinggalkan.

Kalaupun dikatakan bahwa proyek ini akan memberikan semangat baru dan kesempatan bagi UMKM atau pengusaha kelas menengah ke bawah untuk melebarkan sayap usaha mereka dengan istilah pengembangan ekonomi kreatif. Akan tetapi, sesungguhnya mereka hanya diberikan jatah recehnya saja, dengan membuka warung/gerai usaha, menjadi tukang parkir, tukang pijit, office boy, dan lain sebagainya. Tetap saja yang mendulang emas dari adanya proyek ini adalah korporasi kelas dunia. Sementara negara sendiri bisa jadi hanya mendapat jatah pajak dan retribusi saja.
Walhasil, alih-alih mengurusi kebutuhan rakyat banyak, penguasa malah sibuk memenuhi permintaan pengusaha. Inilah kenestapaan hidup di bawah negara model korporatokrasi, yaitu kolaborasi antara korporasi dan birokrasi. Negara model demikian lahir dari sistem demokrasi kapitalisme.

Khilafah Menjamin Pembangunan Demi Kesejahteraan Rakyat

Islam merupakan seperangkat aturan kehidupan yang bersifat holistik, bukan hanya dimensi vertikal yang diurusi, tapi juga dimensi horizontal termasuk pengurusan rakyat. Pandangan mendasar pembangunan dalam Islam adalah demi menyejahterakan rakyat dan untuk izzah (kemuliaan) Islam. Pemimpin negara dalam hal ini Khilafah bertindak sebagai ra’in atau pemelihara urusan rakyat.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari)

Maka ketika ada pembangunan dan pengelolaan suatu kawasan, maka dilakukan berdasarkan prinsip pelayanan, bukan bisnis. Menjadikan rakyat sejahtera merupakan kewajiban Khalifah. Kesejahteraan tidak akan muncul jika tidak dibangun sarana dan prasarana menuju kesejahteraan. Kebijakan mendasar terkait pembangunan tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang menopangnya. Butuh penerapan sistem ekonomi Islam secara utuh dan murni, juga politik ekonomi yang benar.

Khilafah mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelenggaraan negara termasuk melakukan pembangunan. Tidak perlu menarik utang atau mengundang perusahaan asing untuk berinvestasi dalam membiayai proyek ini. Sebab utang luar negeri dapat dijadikan alat untuk menguasai dan menjajah suatu negara. Selain menggunakan riba, di dalamnya juga ditetapkan berbagai syarat yang mengikat negara penerima utang. Begitu pula dengan mengundang korporasi untuk berinvestasi, itu pun berbahaya. Terlebih jika diberikan berbagai kemudahan perizinan dan insentif, maka seakan merestui mereka untuk mengeruk dan mengeksploitasi sumber daya alam yang berlimpah di negeri ini. Sementara, negara berikut warga pribumi harus puas hanya dengan pemasukan recehnya saja seraya menanggung dampak negatif dari eksploitasi yang acapkali mengundang amukan alam.

Rasulullah Saw pernah bersabda, “Tidak boleh membuat mudarat (bahaya) pada diri sendiri, dan tidak boleh pula membuat mudarat pada orang lain.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

Ketika Khilafah harus membangun atau mengelola suatu kawasan, maka akan menggunakan dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Jika Baitul Mal nihil dana, negara bisa mendorong partisipasi publik untuk berinfak. Tetapi dengan catatan bahwa proyek pembangunan tersebut memang vital dan mendesak dibutuhkan rakyat. Atau dengan kata lain, negara bisa mengenakan pajak bagi kaum muslim, laki-laki, dan mampu guna membiayai proyek ini.

Adapun, jika proyek pembangunan ini tidak vital, maka negara tidak perlu menarik pajak dari masyarakat. Pembangunan ini pun harus menempuh kajian mendalam terkait AMDAL, tidak boleh merusak ekosistem dan keseimbangan lingkungan yang mengundang bencana alam, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekitar, dan lain sebagainya.
Dengan spirit menerapkan syariah Islam kafah, Khilafah akan merealisasikan pembangunan yang berkualitas dan merata di seluruh negeri Islam sehingga mampu merealisasikan kesejahteraan masyarakat dan meraih kemuliaan Islam. Tentu saja dengan perencanaan keuangan terlebih dahulu, agar dana yang diperoleh tetap ada dalam koridor Islam, juga tidak memberikan peluang pada asing atau korporasi untuk menguasai negara.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Cari Aku di Surga Nanti
Next
Dear Allah, Maafkan Aku! (Part 2)
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram