"Sesungguhnya kedudukan seorang alim sama seperti kedudukan bulan di antara bintang-bintang.
Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi."
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Oleh. Emmy Emmalya (Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com-Dilansir dari Antara (10 Februari 2021), Imam Besar dan Ketua Harian Badan Pengelola Masjid Istiqlal, Prof. KH. Nasaruddin Umar, mengatakan bahwa pihaknya akan mengadakan pendidikan kader ulama perempuan sebagai salah satu tindak lanjut nota kesepahaman dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Pernyataan imam masjid ini mengindikasikan agar ulama perempuan ikut berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat dan negara. Menurut KH. Nasaruddin, peran ulama perempuan sangat diperlukan karena permasalahan negara berasal dari permasalahan keluarga, sedangkan perempuan lah yang memiliki peran terbesar di dalamnya.
Pernyataan imam masjid tersebut memang tidak salah karena para ulama perempuan juga punya peran yang sama dengan ulama laki-laki untuk menjadi rujukan umat dalam menyelesaikan permasalahan umat. Hanya saja yang perlu dikritisi adalah peran ulama perempuan dalam masyarakat bukan sekadar menyelesaikan permasalahan internal perempuan dan permasalahan keluarga saja, apalagi hingga memperjuangkan gender versi kaum feminis saat ini. Peran ulama perempuan bahkan lebih dari itu.
Sejatinya, peran ulama perempuan dengan ilmu dan pemahaman yang dimilikinya adalah ikut berjuang mengubah tatanan kehidupan yang saat ini semakin mengkhawatirkan yang diakibatkan tidak diterapkannya hukum-hukum Islam. Peran ulama perempuan atau mubalighoh sangat strategis dalam melakukan perubahan, karena mereka memiliki pengaruh yang cukup besar di tengah-tengah umat Islam.
Para ulama perempuan adalah simpul umat, yang menjadi tempat rujukan atas persoalan-persoalan keumatan. Maka ulama perempuan selayaknya menjadi sosok perintis perubahan, mengajak dan memimpin umat untuk berjuang bersama dalam meraih kemuliaan.
Saat ini, peran ulama perempuan dalam mengubah kondisi umat (terutama kaum perempuan) masih sangat minim. Hal ini terjadi karena adanya disorientasi arah dan tujuan perjuangan yang dipahami oleh para ulama perempuan. Pemahaman yang salah tentang politik, membuat para ulama perempuan lebih banyak memfokuskan dakwahnya kepada hal-hal yang sifatnya ‘ubudiyah dan akhlaqiyah semata, seperti tata cara salat, puasa, berwudhu, zikir dan lain sebagainya.
Jikapun pembahasan meluas ke ranah mu’amalah maka yang dibahas adalah masalah interaksi suami istri, mendidik anak, adab bertetangga, dan sejenisnya. Padahal semua pembahasan itu tidak akan menyelesaikan permasalahan umat ketika tatanan kehidupan yang berlandaskan syariat Islam belum diterapkan. Sehingga apapun solusi yang ditawarkan tentu tidak akan menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Hal ini tidak berarti bahwa dakwah dalam bentuk tersebut tidak bermanfaat bagi umat. Tapi apabila berbicara dalam konteks dakwah perubahan, maka membahas masalah-masalah tersebut tidak akan berpengaruh pada keadaan umat. Karena itu, seyogyanya dakwah haruslah berorientasi pada perubahan yang total, ideologis, dan tidak parsial.
Dakwah yang dilakukan haruslah dakwah politis, yaitu memahamkan umat bahwa segala urusan yang mereka jalankan sebagai individu, bagian masyarakat dan negara wajib diatur oleh Allah Swt, dengan pembahasan syariat Islam yang integral dan komprehensif.
Apabila aktivitas yang dilakukan oleh para ulama perempuan adalah aktivitas politis, maka In sya Allah perubahan akan jauh lebih cepat terjadi daripada saat ini. Terlebih lagi jika para ulama perempuan bersinergi, saling mendukung dan menguatkan serta mengarah pada agenda besar yang sama yaitu mengembalikan sistem Islam dalam tatanan kehidupan dengan perjuangan menegakkan syari’ah dalam naungan Khilafah.
Kedudukan Ulama Perempuan
Ulama perempuan memiliki posisi yang mulia di hadapan Allah Swt, karena ia memiliki peran yang strategis untuk mencerdaskan masyarakat (khususnya kaum perempuan) dengan Islam. Ulama perempuan keberadaannya laksana penerang dalam kehidupan.
Ulama perempuan seyogyanya mewarisi karakter para ulama yang menjadi waratsatul anbiya (pewaris para nabi).
Secara bahasa, ulama merupakan jamak dari kata ‘aalim yang berarti orang yang berilmu. Sedangkan secara syar’iy, ulama adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah karena kedalaman ilmunya.
Adapun karakter yang dimiliki ulama antara lain:
Pertama, ulama adalah orang-orang yang menjadi lambang keimanan dan menjadi tumpuan dan harapan umat, karena ia selalu memberikan petunjuk dengan hanya berpegang pada Islam.
Karakter mereka mewarisi karakter Nabi dalam keterikatannya terhadap hukum Allah Swt, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda :
“Sesungguhnya perumpamaan ulama di muka bumi laksana bintang-bintang yang ada di langit yang menerangi gelapnya bumi dan laut apabila padam cahayanya maka jalan akan kabur." (HR. Ahmad).
Di dalam hadits yang lain Beliau Saw bersabda:
وإن فضل العالم على القايد كفضل القمر ليلة
البدر على سائر الكواكب وإن العلماء ورثة الأثيلي
"Sesungguhnya kedudukan seorang alim sama seperti kedudukan bulan di antara bintang-bintang.
Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi."
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Menurut Imam Nawawi Al-Bantani, ulama adalah hamba Allah yang beriman, menguasai ilmu syariat secara mendalam, dan memiliki pengabdian yang tinggi semata-semata karena mencari keridaan Allah Swt bukan keridaan manusia. Dan kemudian dengan ilmunya, mereka menyebarkan agama yang haq, baik dalam masalah ibadat maupun muamalat.
Kedua, orang-orang yang benar-benar takut kepada Allah Swt baik dalam hati, ucapan maupun perbuatannya dan berpegang kepada aturan Allah Swt. Firman Allah Swt:
كذلك إنما يخشى الله من عباده العلماء
"Sesungguhnya mereka yang takut kepada Allah dibantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama' (QS. Al-Fathir [35]:28).
Ketiga, ulama tidak akan pernah mendiamkan, menyetujui apalagi mendukung kezaliman yang terjadi. Tegas sekali firman Allah Swt dalam sebuah ayat:
ولا تركنوا إلى الذين ظلموا فتمسكم الناز وما لكم من دون الله من أولياء ثم لا تنصرون
"Dan janganlah kalian cenderung (la tarkanu) kepada orang-orang yang berbuat zalim, yang menyebabkan kalian disentuh api neraka, dan tidak ada bagi kalian pelindung selain dari Allah, kemudian kalian tidak akan ditolong. (QS. Hud [11] : 113).
Ibnu Juraiz menyatakan bahwa lafadz la tarkanu berarti jangan cenderung kepadanya : Qatadah menyebutkan “jangan bermesraan dan jangan menaatinya”, sementara Abu Aliyah menerangkan kata itu berarti “jangan meridai perbuatan-perbuatann”.
Terkait masalah ini, Imam Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasyaf Juz I1/416 mengutip beberapa pendapat di antaranya pendapat Imam Ats-Tsauri yang berkata: "Di nereka jahanam nanti ada suatu lembah yang tidak dihuni orang kecuali para pembaca Al-Qur'an yang suka berkunjung kepada para penguasa."
Senada dengan hal ini, Imam Auza'i mengatakan, "Termasuk yang dibenci oleh Allah adalah ulama yang senang berkunjung kepada para penguasa.
Bahkan Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasullullah Saw bersabda: "Siapa yang berdoa untuk orang zalim agar tetap berkuasa, maka dia telah menyukai orang itu bermaksiat kepada Allah di bumi Nya."
Adapun ciri yang dimiliki ulama adalah :
Pertama, memiliki keimanan yang kokoh, ketakwaan yang tinggi, berjiwa istikamah dan konsisten terhadap kebenaran.
Kedua, memiliki sifat-sifat kerasulan, yaitu jujur (shiddiq), amanat (amanah), cerdas (fathanah), dan menyampaikan (tabligh).
Ketiga, seorang yang faqih fiddin (paham dalam hal agama).
Keempat, seseorang yang mengenal situasi dan kondisi masyarkat dan rasikhun fi al-llm (amat dalam ilmunya),
Kelima, seorang yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Allah Swt.
Oleh karena itu seyogyanya para ulama perempuan berperan dalam peran politik, yaitu terlibat dalam membina umat dan menjaga kejernihan pemikirannya. Karena kemerosotan berpikir umat Islam disebabkan oleh menjauhnya mereka dari Al Qur’an dan As-Sunnah.
Kemudian para ulama perempuan harus membangun kesadaran politik umat, yaitu kesadaran umat tentang wajibnya penerapan syariat Islam dalam bingkai Khilafah yang akan mengurus urusan mereka.
Selain itu para ulama perempuan juga senantiasa melakukan koreksi terhadap penguasa. Sejarah telah mencatat banyak sekali para sahabat perempuan (shahabiyah) dan generasi sesudahnya yang lantang mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah Swt.
Peran inilah yang semestinya dilakukan oleh para ulama, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Sehingga umat akan terhindar dari segala kerusakan dan kebinasaan.
Berbanding terbalik dengan keadaan sekarang, para ulama baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan, ketika penguasa melakukan kemaksiatan mereka malah diam seribu bahasa.
Oleh karena itu, sudah saatnya para ulama perempuan berperan aktif dalam melakukan perubahan di tengah-tengah umat dengan cara terlibat aktif dalam peran politik. Dengan terlibatnya ulama perempuan dalam peran politik maka perubahan umat menuju penerapan syari’at Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah akan segera terwujud. Wallahu’alam bishowab.[]
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]