Partai mayoritas yang mendominasi kursi wakil rakyat berpeluang membentuk koalisi besar dalam legislasi dan memicu konflik kepentingan.
Oleh. Nita Savitri
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pelantikan para wakil rakyat dengan jumlah terbesar sepanjang sejarah orde baru dan reformasi, yaitu sebesar 580 orang, menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Hal ini terutama setelah terbentuk poros koalisi besar di parlemen. Partai mayoritas yang berhasil mendominasi kursi wakil rakyat berpeluang membentuk koalisi besar dalam legislasi dan memicu konflik kepentingan rakyat dengan agenda politik partai-partai besar.
Menurut Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, koalisi besar bisa menimbulkan arogansi dari partai sehingga tidak membutuhkan pandangan publik dalam legislasi. Sejatinya legislasi diharapkan mampu menghasilkan keputusan yang lebih komprehensif dan mementingkan kepentingan rakyat, bukan sekelompok manusia dalam partai. Terlebih ada beberapa agenda besar untuk periode 2024-2029, seperti revisi UU MK dan UU Masyarakat Adat yang rawan konflik kepentingan. Ia berharap meski ada koalisi besar, adanya keterbukaan dengan menerima suara publik akan menghindarkan dari dominasi kepentingan partai besar. (Kompas.com, 6-10-2024)
Proses pembuatan UU (legislasi) cenderung sarat konflik kepentingan. Adanya perseteruan kepentingan partai, korporat, dan rakyat saling berebut untuk dimenangkan. Banyaknya suara mayoritas dalam parlemen lebih sering digunakan sebagai pendukung kepentingan para korporat yang mendukung partai, tanpa mengindahkan rakyat yang diwakili.
Suara Rakyat yang Terlupakan
Dalam setiap pemilihan, baik itu pemilihan presiden (pilpres), anggota legislatif (pileg), maupun kepala daerah (pilkada), setiap paslon (pasangan calon) yang terpilih sebagai kandidat pemimpin atau wakil rakyat akan melakukan serangkaian kampanye demi meraih suara rakyat. Janji peningkatan kesejahteraan menjadi inti setiap kampanye, dengan pembukaan lapangan kerja, kenaikan upah, serta peningkatan mutu pelayanan pendidikan dan kesehatan.
Faktanya, untuk mewujudkan janji tersebut tidak semudah perkiraan. Meski sudah berhasil menduduki parlemen, kepentingan para korporat/pemilik modal lebih diutamakan daripada aspirasi rakyat. Kedaulatan rakyat yang menjadi slogan seakan terlupakan dan digeser kepentingan segelintir pemodal yang mengendalikan para wakil rakyat agar lebih memihak mereka. Kekuatan modal yang mereka miliki telah berjasa dalam proses pemilihan yang sarat dengan politik uang. Akibatnya, berlaku politik balas budi dalam legislasi. UU yang dihasilkan pun demi kepentingan para pengusaha. Sedangkan terhadap urusan rakyat jelata, mereka menjadi amnesia.
Wajah Asli Demokrasi
Sitem politik yang diterapkan di negeri ini adalah demokrasi yang menurut etimologi bahasanya berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang artinya rakyat dan cratos yang berarti kekuasaan. Namun realitasnya, rakyat yang diutamakan adalah segelintir rakyat dari kelompok pemilik modal yang mempunyai pengaruh kekuasaan politik dan uang. Mereka dikenal dengan oligarki.
Menurut pengamat politik Islam Wahyudi al-Maroky, dalih untuk kepentingan rakyat bisa membuat rezim demokrasi membuat aturan yang membebani rakyat, memeras rakyat dengan pajak, dan memberi izin bagi asing dan aseng merampas tambang milik rakyat hanya demi keuntungan kelompok oligarki. Pun adanya proyek-proyek oligarki dibiayai dengan utang negara yang ribawi yang tagihan utangnya dibebankan kepada rakyat. (Al-Wa’ie, Oktober 2024)
Terlebih komposisi wakil rakyat periode 2024-2029, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) 61% adalah politisi pebisnis. Sebanyak 354 individu dari 580 wakil rakyat yang terpilih melalui ketetapan KPU nomor 1206 tahun 2024 mempunyai hubungan dengan sektor bisnis. Hal ini memang tidak aneh karena biaya politik praktis di negeri ini memang mahal. Baik untuk kampanye resmi maupun politik uang. Mereka yang ingin bersaing menduduki parlemen mesti mempunyai modal banyak atau menggaet pengusaha untuk membantu biaya tersebut. Wajar akhirnya banyak terjadi korupsi anggaran-anggaran publik demi melunasi "mahar" mahal politik tersebut.
Legislasi yang dihasilkan selama ini terkesan tebang pilih dalam hal penyusunan dan pengesahannya. Misalnya RUU IKN, RUU Cipta Kerja, dan RUU Minerba yang cenderung menguntungkan para pengusaha, tetapi diprotes rakyat, relatif cepat pembuatan dan pengesahannya.
Hal itu wajar karena sistem demokrasi lahir dari ideologi sekuler kapitalisme yang tidak memberi izin terhadap aturan agama untuk mengatur kehidupan di luar masalah peribadahan. Kapitalisme adalah sistem yang tidak manusiawi karena menafikan aturan Ilahi sebagai pengatur yang sahih. Demokrasi hanya berpedoman pada suara terbanyak. Meskipun salah dan ditentang rakyat, tetap akan dijadikan aturan yang disahkan dan tentunya menguntungkan bagi sekelompok oligarki dan para penguasa pendukungnya.
Islam Menjamin Wadah Aspirasi Rakyat
Isam sebagai ideologi yang sahih telah menyediakan seperangkat aturan kehidupan yang sempurna dan lengkap bagi umat manusia. Terdapat Majelis Umat sebagai wadah perwakilan rakyat yang disediakan untuk menampung aspirasi rakyat, baik muslim maupun nonmuslim. Majelis ini juga sebagai penasihat atau pemberi saran jika diminta oleh khalifah. Sedangkan fungsi utamanya adalah untuk melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para penguasa (al-hukkam).
Selain muhasabah, tugas Majelis Umat adalah syura (musyawarah). Setiap warga negara mempunyai hak syura, yaitu menyampaikan pendapat kepada khalifah yang disampaikan melalui para anggota Majelis Umat. Keanggotaan Majelis Umat juga dibolehkan bagi nonmuslim. Mereka bisa menyampaikan pengaduan kezaliman penguasa maupun buruknya penerapan Islam terhadap mereka.
Baca juga: Koalisi DPR, Siapa yang Diuntungkan?
Adapun legislasi, tidak ada dalam Majelis Umat dan bukan menjadi tugas mereka. Semua hukum didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah. Dibolehkan untuk bermusyawarah dalam masalah teknis. Hal ini seperti dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika meminta pendapat dalam Perang Badar dan Uhud. Al-Qur’an telah memerintahkan untuk melakukan syura/musyawarah dalam TQS. Ali Imran: 159, “Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu."
Anggota Majelis Umat berasal dari para anggota Majelis Wilayah (perwakilan daerah) yang mendapat suara terbanyak. Sedangkan anggota Majelis Wilayah dipilih dari individu-individu yang tepercaya untuk menjadi wakil wilayah dan yang mendapat suara terbanyak.
Tidak ada politik uang dalam mekanisme pemilihan karena dalam Islam diharamkan suap-menyuap. Bisa dipastikan individu yang terpilih dalam Majelis Umat maupun Wilayah merupakan sosok tepercaya dalam umat yang akan menjalankan tugasnya sebagai wakil umat dengan penuh tanggung jawab. Ketakwaan individu yang tinggi menjadi pertimbangan kuat bagi terpilihnya mereka sebagai perwakilan umat.
Walhasil, semua kepentingan rakyat akan tersalurkan secara makruf karena para wakil rakyat paham bahwa setiap amalan di dunia akan diminta pertanggungjawaban secara teliti oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Wallahua'lam bishawab.[]
53 menteri dan kepala badan ditambah 56 wakil menteri.
Wow, sungguh suatu pemborosan APBN
Koalisi gemuk karena banyak partai yg harus diakomodasi. Kepentingan rakyat? Ya, gitu deh..
Ayooo merapat! Rame2 bilang gitu semua. Wkwkwk... Saatnya bagi2 kue maka merapatlah. Ya Allah... Gedeg beud!
Sudah bukan rahasia umum lagi, banyak bgtt kebobrokan yang diperlihatkan. Masyarakat harus bangun dari tidur panjangnya
Politik tipu2 ala demokrasi masih getol bercokol di negeri ini selama masih ada yg percaya dan memperjuangkannya. Miris.
Barakallah Mb Nita naskah kerennya mencerahkan. Sukses dunia akhirat. Amin
Berulang lagi politik tipu2 ala demokrasi....duh rakyat sadarlah hanya dg kembali ke Sistem Islam sj yg bisa menyelamat dari keterpurukkan semua aspek. Bu
Barakallah Mb Nita naskah kerennya mencerahkan. Sukses dunia akhirat. Amin
Wajah asli demokrasi
Amnesia massal adalah penyakit pejabat negara dalam sistem demokrasi tatkala sudah duduk di kursi panas. Lupa dengan amanah dan saweran rakyat. Janji tinggal janji, yang penting berkuasa dan menikmatinya.
Demi meraih kekuasaan, rakyat selalu diabaikan. Jangankan dibuat sejahtera, diingat pun tidak. Masihkah bkita berharap di sistem ini?
Barakallah mba @ Nita
Tidak ada harapan dalam sistem kapitalisme yang rusak dan merusak. Yuk segera beralih ke sistem Islam kaffah.
Miris, makin kesini makin kelihatan bobroknya demokrasi. Saatnya mencampakannya.
Sepakat...bersama memperjuangkannya. Allahu Akbar..!