Happy marriage itu nyata, real, bisa terwujud, tentu dengan kesadaran penuh untuk senantiasa terikat kepada aturan Sang Khaliq sebagai sumber kebahagiaan hakiki.
Oleh. Rizki Ika Sahana
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Setelah tren “Marriage is Scary” menjadi viral di media sosial, wajah pernikahan menjelma sebagai monster menyeramkan. Tak sedikit perempuan makin enggan menikah. Membayangkan betapa pernikahan layaknya neraka dunia, jauh dari sukacita sebagaimana romantisme dongeng pernikahan putri dan pangeran yang hidup bahagia selamanya. Mewujudkan pernikahan bahagia (happy marriage) pun seolah jauh dari harapan.
Happy Marriage, Hanya Angan?
Sebagian perempuan yang merasa akan dirugikan dalam kehidupan pernikahan bahkan mulai mengambil ancang-ancang sejak sekarang. Mereka menyiapkan financial planning untuk hari tua sekaligus kegiatan yang mungkin akan dilakukan saat mengalami penurunan kualitas fisik nanti. Sebagian lainnya juga merencanakan berbagai skenario meraih amal saleh sebagai pengganti menikah yang diyakini merupakan ibadah paling lama dalam perjalanan hidup manusia. Seperti membangun pesantren, mendirikan masjid, wakaf Al-Qur'an, dan sebagainya.
Sungguh, fenomena kengerian dalam kehidupan pernikahan telah mengubah cara pandang banyak perempuan. Pernikahan yang awalnya dikejar oleh sebagian perempuan yang tak mau berujung disebut sebagai perawan tua atau perempuan tak laku, kini justru dipertimbangkan untuk dilakukan atau tidak sama sekali. Pernikahan sebagai fase hidup baru yang penuh petualangan, kini justru diperhitungkan sebagai taruhan antara hidup dan mati.
Lalu, benarkah pernikahan bahagia itu semata angan? Benarkah pernikahan bahagia itu sebatas khayalan?
Sulitnya Mewujudkan Happy Marriage?
Dalam model kehidupan yang serba materialistis hari ini, pernikahan bahagia (happy marriage) sangat sulit diwujudkan. Pasalnya, ukuran kebahagiaan selalu diidentikkan dengan hal-hal yang bersifat materi. Semua tentang nonmateri, seakan tak bernilai. Wajar jika problem finansial menjadi momok terbesar dalam kehidupan rumah tangga, juga menjadi pemicu paling sering dalam kasus perceraian.
Sementara itu, atmosfer yang serba liberal hari ini juga menjadi penyebab pernikahan bahagia sulit diraih. Kebebasan berpikir dan berperilaku telah mengantarkan kepada banyaknya KDRT juga perselingkuhan yang makin menjadi. Benar-salah tak lagi distandarkan kepada wahyu, tetapi kepada hawa nafsu. Wajar jika kehidupan pernikahan layaknya neraka, jauh dari sakinah, mawaddah war-rahmah.
Meraih Pernikahan Bahagia
Pernikahan bahagia (happy marriage) sejatinya bukan khayalan, tetapi bisa mewujud nyata. Asal dilandasi oleh iman, ditujukan untuk meraih rida-Nya, serta di-manage dengan aturan syariat yang menyelamatkan.
Pernikahan bahagia (happy marriage) bukanlah kehidupan pernikahan yang selalu adem ayem, tanpa permasalahan runyam. Layaknya berjalan di jalanan yang lurus-lurus saja dengan pohon-pohon yang rindang dan bunga-bunga bermekaran di sisi kanan dan kiri jalan. Tak ada belokan tajam, tanjakan curam, atau turunan mengerikan bak menuju jurang. Bukan, bukan semacam itu.
Pernikahan bahagia (happy marriage) terwujud manakala setiap tantangan, ujian, juga persoalan yang berat maupun ringan mampu dilewati oleh pasangan suami istri dengan penuh kesabaran, pengharapan akan rida-Nya, dan berpegang teguh kepada tuntunan-Nya. Meski tertatih, terseok juga penuh luka, tetapi keduanya berkomitmen untuk senantiasa mengembalikan setiap permasalahan kepada Allah. Mereka berikhtiar dengan serius, bersabar di jalan ketaatan, serta bersungguh-sungguh untuk terus memperbaiki diri manakala melakukan kesalahan.
Suami istri menjalankan hak dan kewajibannya sesuai ketentuan yang Allah gariskan, bukan menurut kesepakatan bersama. Karena pernikahan bukan semata perjanjian di antara laki-laki dan perempuan, tetapi perjanjian di hadapan Allah untuk menjalankan syariat-Nya.
Allah berfirman, "Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu." (QS. An-Nisa: 21)
Dalam surah An-Nisa ayat 21 di atas, Allah menyebutkan bahwa pernikahan merupakan mitsaqan ghalidzan, yakni perjanjian yang kuat nan agung, bukan hanya antara laki-laki dan perempuan maupun keluarganya, tetapi juga dengan Allah subhanahu wa ta'ala.
Demikianlah, meski besar dan beratnya tantangan yang dihadapi, selama suami istri kokoh sebagai satu tim dalam mengarungi bahtera, Allah pasti akan mendatangkan pertolongan.
Baca: marriage-konsep-pernikahan-jahiliah/
Sudah banyak contoh bagaimana potret kehidupan suami istri yang sederhana dalam harta, tetapi kaya akan takwa lagi kebijaksanaan mampu meraih bahagia yang sesungguhnya.
Kehidupan para nabi dan rasul adalah teladan mulia sepanjang peradaban manusia. Betapa onak dan duri senantiasa menghiasi pernikahan mereka. Ujian demi ujian datang silih berganti tak mengenal masa. Bahkan ujian datang dari para istri dan anak-anak mereka sendiri. Namun, lihatlah mereka demikian teguh tak bergeser sedikit pun dari jalan yang Allah tetapkan.
Jadi, kebahagiaan hakiki bukan semata tampak dari kehidupan pernikahan yang indah, tetapi terpancar dari kehidupan pernikahan yang penuh keberkahan. Yakni senantiasa bertambah kebaikan dan takwa di dalamnya, juga makin naik kualitas masing-masing anggota keluarga sebagai hamba Allah.
Negara Mendorong Terwujudnya Pernikahan Bahagia
Dalam konteks kebijakan, negara bukan hanya mampu mendorong, tetapi juga mempercepat terwujudnya pernikahan bahagia (happy marriage) dengan segenap instrumen aturan yang ditegakkannya.
Negara menerapkan sistem pendidikan, sistem sanksi, sistem sosial/pergaulan, juga sistem ekonomi yang berbasis kepada Islam. Sehingga terwujud SDM berkualitas yang bertakwa sekaligus atmosfer yang kondusif bagi terciptanya rumah tangga bahagia.
Khatimah
Dengan itu semua, pernikahan bahagia (happy marriage) bukanlah hal yang mustahil. Happy marriage itu nyata, real, bisa terwujud, tentu dengan kesadaran penuh untuk senantiasa terikat kepada aturan Sang Khaliq sebagai sumber kebahagiaan hakiki. Baik secara personal, maupun komunal sebagai sebuah masyarakat berbangsa dan bernegara.
Wallahualam.[]
Kalau dulu perempuan takut disebut perawan tua, sekarang lebih baik jadi perawan tua daripada menikah tapi tersiksa. Sedihnya
Sistem kehidupan Islam menjadikan setiap rumah tangga visa mewujudkan kebahagiaaan yang sesungguhnya. Semoga segera Allah wujudnya berdirinya pemerintahan Islam kaffah.