Dua orang ibu rela mencabuli buah hati sendiri demi iming-iming materi. Miris rasanya membayangkan masa depan anak-anak yang dicabuli oleh ibunya sendiri ini.
Oleh. Nur Purnama. I. P.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Seorang ibu adalah semilir angin sejuk yang mengembuskan napas kedamaian dan kasih sayang ke seluruh ruang kehidupan. Ia sangat berpengaruh dalam pembentukan manusia yang baik." (Syekh Muhammad al-Ghazali, As-Sunnah an-Nabawiyyah Baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadits, Dar as-Syuruq, Beirut, 1988, hlm.125).
Inilah gambaran yang begitu bermakna dari sosok perempuan bergelar ibu. Ibu adalah sebuah peran mulia yang di tangannya terletak masa depan peradaban manusia. Untuk itu, Allah telah menganugerahi bekal dan potensi diri terbaik bagi kaum perempuan. Padanya telah Allah titipkan rahim untuk mengandung calon-calon generasi penerus peradaban. Sekaligus Allah penuhi jiwanya dengan naluri kelembutan dan kasih sayang (garizah nau) sebagai pelengkap baginya menjalankan peran keibuannya yang mulia dalam bentuk mengasihi, mendidik, dan mencetak generasi cemerlang. Masyaallah .
Naluri Ibu Terenggut
Namun, kini naluri kelembutan dan kasih sayang itu sering kali terenggut paksa dari diri sebagian ibu. Ketakberdayaan terhadap tuntutan kehidupan tidak jarang "memaksa" mereka melepaskan fitrah kelembutan dan kasih sayang yang Allah karuniakan kepadanya. Miris, dari kasus yang terbaru, ada dua orang ibu yang rela mencabuli buah hati sendiri demi iming-iming materi (cnnindonesia.com, 08-06-2024). Ya Rabb.
Miris rasanya membayangkan masa depan anak-anak yang dicabuli oleh ibunya sendiri ini. Memori pencabulan oleh sang ibu bisa membekas dan berpotensi memengaruhi karakter dan kehidupan mereka pada masa depan.
Lalu apakah kasus-kasus seperti ini akan dibiarkan berlalu begitu saja? Hanya dicukupkan dengan memenjarakan si ibu agar ia jera? Yakinkah tidak akan terulang kasus yang sama? Bahkan saat ini sudah muncul dua kasus serupa dalam kurun waktu yang tidak berjeda lama.
Yakinlah bahwa ini bukan semata persoalan orang per orang. Ada akar masalah yang belum tergali yang menjadikan tindakan asusila saat ini sudah sedemikian mengkhawatirkan. Bahkan melibatkan pelaku yang justru dari dalam keluarga sendiri.
Apalagi sebagaimana kita ketahui, ada beragam sindikat pornografi yang masih bebas berkeliaran melancarkan aksi dan jebakannya pada masyarakat kita, termasuk menjebak anak-anak dan kini juga turut menjebak para ibu (news.detik.com, 09/06/2024). Tentu saja, tujuannya adalah demi memperoleh cuan dari pemuasan nafsu (syahwat) orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan rusak pemikiran serta perilakunya.
Seharusnya, kasus-kasus asusila yang terus marak membuat kita menyadari bahwa ada yang salah dan harus diperbaiki. Ini bukan semata problem pribadi, tetapi problem bersama untuk segera disolusi. Apalagi problemnya menyerang ibu dan generasi. Sedangkan mereka adalah pemegang estafet masa depan yang perlu dijaga dan dilindungi.
Akar Masalah Ibu Mencabuli Anak
Merunut dari sejarah penerapan aturan Islam yang mulia sepanjang 13 abad, kehidupan kaum ibu dan generasi saat itu begitu terjaga. Para ibu terdidik dan terbina, juga berperan sangat luar biasa, mencetak generasi-generasi cemerlang lagi bertakwa. Namun, semua berubah ketika kekhalifahan Islam yang menjadi pelindung kaum muslim maupun nonmuslim yang berada di seluruh wilayah kepengurusannya, direbut dan diruntuhkan kekuasaannya. Selanjutnya penerapan Islam sebagai aturan terbaik bagi manusia diganti dengan aturan Barat bernama kapitalisme dengan asas sekulernya. Di sinilah malapetaka bermula.
Kapitalisme berasas sekuler tersebut masif ditanamkan di seluruh wilayah negeri-negeri muslim di dunia, termasuk di Indonesia. Segala aspek kehidupan umat diatur dengan prinsip kapitalisme sekuler yang senantiasa melontarkan jargon, "Jangan bawa-bawa agama dalam urusan publik," karena dalam prinsip sekuler, agama hanya boleh ada di wilayah pribadi dan hanya mengatur urusan peribadahan saja.
Jadilah urusan pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, keamanan, dan seluruh simpul kehidupan umat dibuat aturan dan kebijakannya oleh manusia sendiri. Tentu dengan prinsip kapitalisme sekuler yang berorientasi materi dan keuntungan duniawi dengan meniadakan nilai-nilai agama untuk menyertai.
Kapitalisme juga mengebiri peran negara sebagai pelindung dan pengurus rakyat. Negara hanya berperan sebagai fasilitator yang memberi fasilitas dan kewenangan bagi orang-orang bermodal untuk menguasai sumber-sumber kekayaan. Ini berakibat sumber kc ya berputar hanya pada para pemodal saja. Sementara rakyat umum hanya menikmati remah-remahnya. Maka kesenjangan sosial yang tajam, begitu yampak akibat penerapan prinsip kapitalisme sekuler ini.
Belum lagi sistem pendidikan berbasis kapitalisme sekuler yang selalu berfokus menyiapkan generasi berorientasi materi serta yang diarahkan untuk menjadi "roda industri" yang siap kerja, berebut, dan bersaing dalam meraih kekayaan, jabatan dan prestige duniawi. Nilai-nilai ruhiyah maupun agama, hanyalah seperti mata pelajaran tambahan yang sama sekali tidak membekas maupun mampu membentuk karakter generasi yang beriman dan bertakwa.
Termasuk bagi anak didik perempuan. Mereka tidak disiapkan untuk memahami secara benar dan berdaya dengan fitrah dan peran mulia yang Tuhannya karuniakan. Keimanan dan ketakwaan mereka pun tidak dikukuhkan. Mereka justru dijejali dengan konsep feminisme ala Barat yang memusuhi peran mulia perempuan di dalam rumahnya, yaitu menjadi pendidik anak-anaknya dan pengelola rumah tangga.
Fitrah dan peran mulia perempuan justru "dipaksa" ditukar dengan fitrah dan peran laki-laki. Perempuan dianggap berdaya jika ia bisa menghasilkan uang sendiri, mampu bersaing, dan tidak bergantung pada laki-laki. Bahkan akan disebut sebagai pahlawan, jika ia mampu berkontribusi dalam pembangunan ekonomi negeri. Sungguh penyesatan yang ngeri. Ini membuat kaum perempuan menentang fitrah penciptaan yang telah Allah anugerahi hingga bisa sampai melakukan apa pun dengan menghalalkan segala cara, demi meraih materi. Nauzubillah.
Islam Menjaga Fitrah Ibu
Dalam Islam, Allah sudah memberikan potensi terbaik dan adil, baik untuk perempuan dengan fungsi keibuannya, juga untuk laki-laki dengan fungsi kebapakannya. Dengan demikian, tidak perlu ada kompetisi ataupun pertukaran fitrah dan peran antara laki-laki dan perempuan. Ini sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 32:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِن فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا ﴿٣٢﴾
”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Inilah kerusakan yang diciptakan oleh prinsip kapitalisme sekuler yang sangat bertentangan dengan aturan Allah di dalam Islam, juga bertentangan dengan fitrah penciptaan manusia. Apakah kita mau terus mempertaruhkan nasib kaum ibu dan membiarkan fitrah keibuan mereka terus direnggut bahkan dicabut hingga akan berpengaruh juga pada kualitas dan masa depan generasi?
Para muslimah harus menyadari bahwa saat ini mereka bukan sedang dimuliakan, bukan sedang ditinggikan oleh aturan kehidupan yang rusak bernama kapitalisme sekuler. Namun, justru kaum perempuan saat ini digiring jauh dari fitrah keibuannya, dikikis naluri kelembutan dan kasih sayang dalam dirinya.
https://narasipost.com/challenge-np/08/2023/menjaga-fitrah-anak/
Kembalilah kita kepada aturan Sang Pencipta. Kembalilah pada habitat kehidupan kita yang sebenarnya, yaitu hidup dalam aturan Allah. Agar fitrah keibuan yang Allah karuniakan pada kaum perempuan bisa dijalankan dengan sebagaimana mestinya.
Negara juga bisa kembali pada tugas mulianya, yaitu mengurus dan menjamin penghidupan rakyat berdasarkan aturan Allah, juga menciptakan kondisi yang ideal bagi berjalannya fitrah dan peran para ibu serta ayah, demi masa depan generasi dan peradaban manusia yang mulia dan gemilang, serta selamat dunia dan akhirat.
Ini sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah Muhammad saw., “Imam adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Serta firman Allah Swt. dalam QS. An-Nisa ayat 59, "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat)."
Wallahua'lam bishawab.[]
#MerakiLiterasiBatch2
#NarasiPost.Com
#MediaDakwah
Kejadian di luar planet bumi! ckckcj yaa Allah pusing kepala baca berita begini!