Utang adalah pilihan terakhir dalam keadaan darurat dengan catatan tidak ada unsur riba di dalamnya. Hal ini berlaku dalam skala pribadi, keluarga, masyarakat, dan tentu saja negara.
Oleh. Ni’mah Fadeli
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Usahakan selalu menyisihkan dana yang ada untuk ditabung. Begitu sering kita dengar para financial planner memberi tip dalam mengelola keuangan pribadi. Sedari kita kecil pun orang tua dan para guru selalu mengingatkan agar rajin menabung.
Tujuan menabung tentu bukan untuk menumpuk harta. Namun, agar hidup secara hemat atau tidak berlebihan juga mempersiapkan kebutuhan yang memerlukan dana besar. Misalnya: pendidikan, berangkat haji, membeli rumah, kendaraan, dan seterusnya. Tak kalah penting juga agar ketika ada kebutuhan mendesak kita masih memiliki dana sehingga tidak mengambil jalan utang.
Meski diperbolehkan, utang adalah pilihan terakhir dalam keadaan darurat dengan catatan tidak ada unsur riba di dalamnya. Hal ini berlaku dalam skala pribadi, keluarga, masyarakat, dan tentu saja negara.
Namun, apa jadinya jika suatu negara justru senang menabung utang? Utang demi utang terus dilakukan dengan dalih untuk pembangunan. Bukankah ini sama artinya negara sedang menabung utang untuk warganya? Sedih dan geram, namun begitulah yang saat ini terjadi.
Tercatat per 31 Januari 2024, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut bahwa utang pemerintah sebesar Rp8.253 triliun. Meski begitu Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Suminto, mengatakan bahwa jumlah utang tersebut masih terkendali.
Padahal menurut ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, praktik ugal-ugalan tanpa solusi untuk rem utang akan menghambat pertumbuhan ekonomi di mana likuiditas domestik semakin tergerus karena tersedot utang. Jika utang negara itu ditanggung oleh warga negara, maka Bhima menghitung setiap orang memiliki utang sebesar Rp30,5 juta. (bisnis.tempo.co, 01/03/2024).
Utang Menjadi Salah Satu Sumber Pemasukan Negara
Tentu sangatlah miris ketika negara yang semestinya memberikan kesejahteraan pada setiap rakyat justru membebankan utang dengan nominal yang tak sedikit di pundak. Apalagi dengan anggapan bahwa utang dalam angka ribuan triliun itu masih dalam batas wajar. Meski negara misal mampu membayar cicilan namun karena utang dengan menggunakan riba maka tetap saja jumlah utang tetap meningkat dari waktu ke waktu akibat bunga yang ditimbulkan.
Anggaran negara pun akhirnya banyak tersedot untuk membayar utang. Akibatnya anggaran untuk pelayanan dasar rakyat mengalami pengurangan, subsidi demi subsidi dicabut dan pajak pun ditambah. Hal ini terjadi terus menerus selama sistem kapitalisme tetap dipertahankan karena salah satu sumber pemasukannya memang utang. Dengan alasan membangun negara maka utang sebanyak apapun masih dianggap aman.
Padahal jelas utang sangat berbahaya bagi kedaulatan negara. Tanpa sadar negara menyatakan diri siap dijajah oleh asing yang memberi utang. Adanya intervensi dan dominasi asing atas apa yang terjadi di dalam negeri adalah bagian yang tak bisa dipisahkan ketika negara bergantung pada utang. Apalagi semua utang tersebut menerapkan riba maka semakin jauhlah negara dari keberkahan karena menghalalkan apa yang telah Allah haramkan. Naudzubillahi min dzalik.
Negara Berdaulat Tak Pernah Mengandalkan Utang
Negara dengan pengelolaan ekonomi yang baik semestinya mampu mandiri tanpa utang. Namun sebanyak apapun sumber daya alam yang dimiliki jika sistem kapitalisme masih diterapkan maka masalah utang ribawi negara tak akan menemukan solusi pasti. Berbeda dengan kapitalisme, dalam Islam riba jelas haram maka sistem ekonominya adalah untuk memberikan kesejahteraan rakyat dengan cara yang halal.
Sumber pemasukan negara dikelola dalam baitul mal yang terdiri dari :
1) pos kepemilikan negara bersumber dari harta negara seperti fai, kharaj dan seterusnya,
2) pos kepemilikan umum yang mutlak dikelola negara tanpa campur tangan asing, seperti pertambangan, minyak dan gas, listrik, mata air, laut, sungai, padang rumput, perairan dan hutan,
3) pos zakat dan sedekah yang meliputi zakat mal, zakat pertanian, zakat perdagangan, zakat peternakan dan seterusnya.
Alur pengeluaran pos juga memiliki aturan. Untuk pembangunan infrastruktur maka pos yang digunakan adalah kepemilikan umum dan negara. Pos zakat tidak boleh digunakan karena hanya diperuntukkan untuk delapan asnaf sesuai syariat. Dengan pengelolaan yang benar maka negara menjadi kuat dan berdaulat tanpa utang.
Rakyat juga tidak dibebani pajak karena bukan merupakan sumber pemasukan negara. Dharibah atau pajak hanya diberlakukan ketika baitul mal kosong dan hanya pada rakyat yang memiliki kemampuan materi lebih, bukan seluruhnya. Sifatnya juga hanya sementara, ketika kas negara telah mencukupi maka dharibah dihentikan.
Begitulah Islam melindungi dan memberikan kesejahteraan terbaik untuk rakyat dan berdaulat penuh karena tak pernah menjadikan utang sebagai sumber pemasukan negara. Pengelolaan negara yang benar sesuai syariat akan mendatangkan keberkahan hidup demi meraih ridha Allah agar selamat dunia dan akhirat . Wallahu a’lam bishawwab.
Miris sekali tiap ganti pemerintahan utang selalu naik. Sudah gitu berbasis riba pula. Jelas tidak akan membawa keberkahan. Astagfirullah
Sad but true