Padahal, setiap anak dilahirkan cerdas, tak ada yang terlahir bodoh sedari rahim. Karenanya, lingkungan harus menciptakan pola kecerdasan itu di rumah dan sekolahnya.
Oleh : Putri Umm as-Sulthany
(Kepala Sekolah SDIT Al-Ikhlas & Konselor Sekolah)
NarasiPost.Com-Ada anak cerdas, namun tak tampak kecerdasannya. Kecerdasan itu tertutupi dengan tingkah lakunya yang tidak pantas. Tak heran, acapkali orang-orang bahkan orang tuanya sendiri memberi 'cap' anak tersebut sebagai anak nakal. Benarkah?
Menurut psikolog anak dari Psychobiometric Efnie Indrianie, saat ini konsep kecerdasan sedang booming di masyarakat. Anak pintar selalu identik dengan anak yang jago matematika saja. Padahal, jika ditelisik, anak yang cerdas itu adalah anak yang bisa menemukan hal-hal baru. Biasanya, mereka yang cerdas ini justru yang suka membuat masalah. Di sini letak kreativitas yang tinggi pada anak.
Kreatifnya seorang anak dapat dilihat dari kemampuan mereka menemukan masalah baru. Jika diperhatikan lebih jauh ke dalam otaknya, maka sinapsis-sinapsis (pertemuan antara ujung saraf dengan saraf lainnya) akan terlihat amat ruwet. Sinapsis di otak yang tampak ruwet ini adalah tanda adanya koneksi yang bagus antara sel-sel saraf di otak. Ini berarti anak mendapatkan stimulasi yang baik dalam perkembangan otaknya.
Ditinjau dari sisi psikologis demikian adanya. Anak yang dicap nakal atau usil ini sebetulnya bersikap kurang baik karena tidak memiliki pemahaman untuk taat aturan. Seandainya anak-anak yang terlanjur dicap nakal oleh masyarakat atau orang tuanya ini diberikan pemahaman tentang tata tertib, ia akan belajar memahami kondisi, kapan ia boleh bermain, kapan ia harus fokus belajar.
Poin penting ini yang banyak terlewat untuk ditanamkan oleh orang tua. Bukankah inti pendidikan utama ada pada orang tua sebagai pilar pertama dan terdekat dengan anak? Anak bukanlah titipan yang diberikan Allah secara cuma-cuma. Seyogyanya titipan, tentu akan dijaga dan dirawat sebaik-baiknya. Jika anak dibiarkan bebas tanpa arahan dari orang tua, kapan anaknya akan mengerti yang baik dan yang buruk? Kapan anaknya akan mengenal yang benar dan yang salah? Siapa yang akan memahamkan itu semua?
Inilah tugas utama kedua orang tua, ayah dan ibu. Karena penanaman mentalitas belajar atau adab penuntut ilmu ini belum disampaikan kepada anak, inilah yang menjadi cikal dari anak yang sulit diatur, anak yang sulit belajar, dan ekstrimnya anak yang akhirnya akan dicap sebagai anak tidak cerdas (baca : bodoh).
Padahal, setiap anak dilahirkan cerdas, tak ada yang terlahir bodoh sedari rahim. Karenanya, lingkungan harus menciptakan pola kecerdasan itu di rumah dan sekolahnya.
Lalu mengapa anak yang terlahir cerdas tadi tidak semua tampak seperti cerdas? Sebab, orang tuanya mematahkan kecerdasan yang ada pada anak itu. Orang tua membatasi gerak anak. Saat anak belajar mengeksplore diri dengan merangsang psikomotoriknya, orang tua terbiasa melarang tanpa arahan yang jelas.
Pernahkah orang tua bertanya pada dirinya sendiri, mengapa ia melarang anak memanjat pohon? Takut anaknya terjatuh? Bukankah jika ada orang tua di sampingnya yang menjaga, anak akan tetap terjaga dalam eksplorasi main panjatnya tadi? Sayangnya, banyak orang tua sibuk dengan aktivitas lain hingga mengabaikan bonding (sentuhan antara orang tua dan anak yang bisa menumbuhkan chemistry atau rasa kasih sayang antara anak dan orang tua.
Orang tua yang mematahkan kecerdasan anak selamanya akan memiliki anak yang tak cerdas (baca : bodoh). Selanjutnya, ketika anak yang cerdas tadi dibiarkan terus berlanjut dengan kenakalannya, semakin lama semakin brutal, sampai kapan pun ia akan terus mengalami kesulitan belajar. Bagaimana mungkin?
Ya, karena ia tidak diajarkan orang tua untuk duduk tenang mendengarkan penjelasan guru. Jika orang tua sejak semula menghargai anak dengan kecerdasannya, sudah pasti sepaket dengan itu ia akan menanamkan pada anaknya untuk mampu fokus belajar dan menghormati gurunya. Ia akan dapat memahami pelajaran dengan baik. Sikap murid terhadap guru mencerminkan keberkahan yang akan mengalir di baliknya.
Sebaliknya, mengapa ada anak yang biasa-biasa saja tingkat kecerdasannya, namun bisa berprestasi dan mencapai kesuksesan perlahan tapi pasti? Tidak dipungkiri, letak keberkahan hadir dalam poin ini. Untuk menjadi pintar, tidak karena anugerah dari lahir, namun karena bentukan lingkungan.
Anak yang 'manut' kepada gurunya, akan mendapat banyak keberkahan. Semua pengajaran gurunya dicerap dengan sempurna tersebab ia tak melawan dan membantah guru. Allah merahmati hatinya yang lembut dan menganugerahinya kecerdasan karena semangat belajarnya yang sudah benar, niat belajar karena Allah.
Jika setiap anak dan orang tua memahami pentingnya mengikuti aturan dan adab saat anak menuntut ilmu, adab terhadap ilmu dan penyampai ilmu, maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tuntas dalam kompetensi belajarnya, mumtaz. Karenanya, penting menanamkan rasa hormat anak kepada gurunya. Begitu pula setiap orang tua perlu menundukkan egonya di hadapan guru dari anaknya.
Mungkin sebagai orang tua yang telah melahirkan dan mengantarkan anak sampai ke jenjang pendidikan tinggi bahkan sudah sukses menikahkan anak, merasa lebih dibandingkan guru dari anaknya yang usianya di bawahnya. Faktanya, guru-guru bukanlah tukang laundry yang ditugaskan untuk mencuci sikap ternoda dan kotor dari anak. Guru bukanlah mesin yang hanya perlu ditekan tombol lalu bisa menyulap anak menjadi bisa membaca, menulis dan menghitung.
Proses mengajar yang dilalui oleh guru, mengajarkan banyak anak di sekolah dengan beragam karakter, bukan hal yang sederhana. Setiap guru perlu menahan kantuknya untuk terus belajar pola pendidikan dan metode mengajar yang menyenangkan dan bisa mewujudkan pemahaman bagi anak. Setiap guru perlu memiliki pengendalian emosi saat anak berbuat salah. Siapa pun bisa bersikap kasar dan memukul anak yang melanggar tata tertib. Namun, guru yang baik tidak melakukannya karena cintanya yang teramat besar pada sang anak. Apakah pekerjaan seperti ini bisa dianalogikan dengan mesin cuci di atas?
Karenanya, orang tua yang mengharapkan anaknya tumbuh menjadi anak cerdas akan menyadari kekeliruannya di awal. Meminta maaf kepada anak atas terlambatnya kasih sayang bukanlah sesuatu yang hina. Memohon keridaan guru anaknya dan menyampaikan permohonan atas bantuan dari guru anaknya bukanlah perbuatan rendah. Sebab, di balik ridanya guru pada anak didiknya terpancar keberkahan, memendarkan cahaya ilmu yang memahat kecerdasan pada anak.
Dengan sendirinya, Allah yang akan menggerakkan jiwa sang anak untuk mencintai ilmu. Allah Yang Maha Menguasai Segala Hati yang akan menaklukkan hati sang anak yang mengalami kesulitan belajar untuk mampu membuka keran semangatnya menuntut ilmu. Allah Yang Maha Berkehendak yang akan menggerakkan akal sang anak yang kecerdasannya hanya rata-rata atau di bawah rata-rata untuk mampu memahami pelajaran dengan baik.[]