Anggai yang tak pernah dipahami tetap menjadi rahasia di alam semesta. Sedangkan Ilahi sudah menerbitkan anggai beserta petunjuk-Nya.
Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Angin yang semilir tak mampu meredakan hawa panas yang ada di teras masjid bercat biru cerah itu. Dedaunan dan ranting yang membawa udara sejuk tak mampu menghapus bulir-bulir keringat yang berkeliaran tanpa komando, menembus baju terluar seorang aktivis dakwah kampus yang tampak sedang terpuruk lesu. Ketegangan berkelindan dalam sosok panutan mahasiswa junior di masjid kampus itu, Iqbal namanya. Tenggorokannya tercekat saat mendengar pernyataan pedas dari lawan diskusinya.
Ingatan Iqbal mengembara pada peristiwa empat hari yang lalu. Rasa bingung menyergap kala datang anggai (isyarat) lewat pesan WhatsApp. Tangannya mengusap wajah dengan kasar. “Berhati-hatilah dengan tindakan yang tak terpuji.” Pesan itu sempat mengoyak ketenteraman hidupnya meski sebentar. Setelahnya, ia kembali dengan dunia merah jambu yang melambungkan seluruh rasa dalam dada.
Jempolnya menghapus pesan tersebut dengan lincah. Hatinya kembali berbunga saat melihat balasan chat dari pujaan hatinya. Duhai, dunia seakan mendukung segala rasa yang bersemayam dalam jiwa. Iqbal tersenyum bahagia. Deretan huruf itu menyuguhkan pesan harapan manis. Debaran jantungnya melaju kian cepat. Dia membaca pesan dari gadis pujaan itu berulang-ulang.
“Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, sedang tahajud, Akhi. Menghadap Allah agar kita bisa bersatu dalam ikatan suci.”
Getaran-getaran halus telah melewati fase kritisnya saat berharap balasan. Inginnya tak ada istilah bertepuk sebelah tangan. Dia telah tergila-gila pada adik tingkatnya yang baru hijrah itu. Sejak peristiwa kakinya terinjak di perpustakaan kampus oleh seorang gadis, Iqbal terus mencari tahu siapakah gerangan pemilik paras ayu berkerudung abu-abu itu. Selanjutnya, mudah bagi Iqbal mendapatkan perhatian gadis bernama Sandra itu karena memang dirinya termasuk sosok yang terkenal dan dikagumi banyak kaum hawa.
Iqbal terus berusaha merajut hubungan dengan Sandra. Dia bahkan benar-benar lupa telah mengkhitbah gadis lain bernama Aulia. Dia pun lupa pada tanggal pernikahan yang kian dekat. Memang tak ada kesibukan di rumahnya karena berniat walimah jadi satu di rumah calon istrinya. Orang tuanya juga jarang bertanya ini itu karena memang sudah memberi restu dan setuju kalau walimah menjadi satu.
Memang tak ada kata pacaran antara Iqbal dan Sandra, tetapi kemesraan chat dan kebersamaan mereka di beberapa kesempatan menunjukkan adanya hubungan spesial. Beberapa hadiah telah Iqbal terima, beberapa hadiah juga telah Iqbal kirim ke rumah gadis pujaannya itu. Tragisnya, dia kepergok berduaan di dalam mobil oleh seseorang yang kemudian mengirim pesan ke nomor Iqbal.
Kini, rasanya seakan lumpuh tatkala foto-foto kebersamaannya dengan Sandra diperlihatkan oleh Ustaz Yunus, mentor sekaligus bapak kosnya. Bulir keringat kian deras. Hatinya bergemuruh tanpa ditabuh. Dia sadar telah bermain api dalam perjalanan rasa itu. Beberapa anggai dari sang mentor tak pernah ia respons. Laki-laki yang ada di hadapannya itu begitu tegas dan tak pernah bermuka dua, berkarisma, dan santun perangainya. Iqbal sendiri segan pada Ustaz Yunus.
Wajah Iqbal menunduk tatkala wejangan demi wejangan terlafazkan dari lisan Ustaz Yunus. Netranya tak berani bergerilya hanya untuk sebatas melirik wajah mentornya itu. Petualangan rasa yang sempat Iqbal nikmati kini menghilang entah ke mana. Euforia cinta pada Sandra porak-peranda. Hatinya tercabik atas segala perbuatan yang dilakoninya.
Di sela-sela petuah yang menembus sanubari, ingatannya menyentuh momen khitbah sebulan lalu. Betapa dia juga menggebu untuk mendapatkan hati Aulia. Namun bedanya, khitbah itu melalui proses yang murni sesuai tuntunan agama. Ustaz Yunus dan istrinya banyak berperan menjadi perantara dalam proses itu. Komunikasi Iqbal dengan Aulia bisa dihitung jari, tak lebih dari dua kali.
Sepulang khitbah, hatinya terpaut dengan gadis lain. Jiwanya tak mampu menolak keberadaan Sandra yang justru rajin mengirim anggai cinta. Komunikasi ringan antara keduanya awalnya tentang meminjam buku, lantas rasa itu mengembara dalam belantara kekacauan hubungan layaknya kekasih. Gayung bersambut, dalam hitungan jam, mereka begitu akrab dan intens berkomunikasi di dunia maya.
“Jika antum menginginkan poligami, bukan begini caranya. Laki-laki memang tidak terikat hubungannya, meski dalam keadaan khitbah. Namun, yang antum lakukan tetap salah. Pacaran atau apalah itu kedekatan dengan lawan jenis, meski di dunia maya, amatlah salah. Ada adab dalam pergaulan apalagi bagi laki-laki yang sudah serius melamar anak orang. Lantas apa yang hendak antum lakukan dengan kondisi ini? Mau bermain-main terus?”
Pendengaran Iqbal menangkap ada getaran pada suara Ustaz Yunus. Hal itu membuatnya makin menunduk dalam. Iqbal menyadari kesalahannya. Melepaskan Sandra rasanya berat, melepaskan Aulia tentu lebih berat lagi. Aulia tidak pernah melayangkan pesan apa pun padanya. Bahkan urusan mahar, istri Ustaz Yunus yang menyampaikan pada pihak keluarganya. Sedangkan Sandra, Iqbal sudah terlalu jauh memberikan janji manis.
Kebersamaannya selama 20 hari cukup membuat dia berayun dengan maksiat. Bibirnya kelu untuk mengeluarkan deretan huruf yang terangkai dalam kata. Sejauh ini, Iqbal merasa aman karena Ustaz Yunus dan istrinya sedang ziarah umrah. Dia memanfaatkan keberadaannya sebagai aktivis dakwah kampus yang populer untuk mendekati Sandra. Berbagai dalih dilontarkan ketika ada teman-temannya bertanya perihal kedekatannya itu.
Kegusaran menguasai diri. Iqbal mati kutu di hadapan Ustaz Yunus yang memiliki foto-foto itu. Entah dari mana beliau mendapatkannya. Segala macam tanya berkecamuk dalam benaknya.
“Antum tahu ayat wala taqrabuz zina, bukan? Ana pandang antum juga paham pacaran atau apa pun hubungan dengan lawan jenis yang dipandang mungkin hanya teman itu juga bisa menjadi ikhtilat yang juga haram dalam Islam? Mendekati zina haram, bagaimana mungkin antum yang pengemban dakwah mencobanya.”
Tarikan napas berat Ustaz Yunus menggema di telinga Iqbal dan menembus dinding hatinya. Tak pernah sebelumnya Iqbal mendengar embusan napas berat seperti itu dari beliau. Entah, itu tanda marah, kecewa, atau apa?
“Benak antum mungkin sedang menelisik, dari mana foto-foto ini ada? Antum harus pahami, ada atau tidak ada orang yang mengambil foto ini, Allah tetaplah Maha Tahu segala gerak-gerik dan anggai rasa yang antum sematkan dalam kehidupan.”
Darah Iqbal mendidih dan kian mengantar hawa panas ke sekujur tubuh. Belum di padang mahsyar, dia telah panas tak ketulungan. Rasa ingin lenyap mendadak datang tak diundang.
“Asal antum tahu, kepopuleran itu hanya titipan. Rising star dan good looking yang dianugerahkan Allah seharusnya antum bingkai dalam ketaatan. Foto-foto itu, istri ana dapatkan dari sahabat Aulia. Antum lupa kalau dia juga aktivis dakwah yang menjaga diri. Tentu sahabat-sahabatnya tidak rela melihat Aulia jatuh di tangan orang yang salah.”
Dhuaar, sengatan nyeri kini datang bertubi-tubi. Iqbal belingsatan, tak terpikir olehnya akan ada hal ini. Hubungannya dengan Sandra sudah sangat rapi. Pertemuannya pun di tempat yang jauh, di luar kota. Rasa sesak dan sesal bertautan, menghinggapi seluruh sudut hatinya.
“Antum bisa saja berkelit di hadapan ana. Namun, antum tak akan pernah mampu berkelit di hadapan Allah.”
Iqbal benar-benar tak mampu berkutik. Dia menelaah satu persatu kata yang terangkai. Betapa kagetnya dia ketika Ustaz Yunus menyampaikan batalnya khitbah itu. Bukan karena Aulia yang meminta, tetapi Bang Hafiz, abangnya, wali Aulia. Ustaz Yunus memastikan bahwa keputusan Bang Hafiz diridai Aulia tanpa menyebutkan aibnya. Tangan Iqbal mengusap wajahnya dengan frustrasi.
Netra Iqbal melebar tatkala Ustaz Yunus menyodorkan beberapa barang berharga yang ia hadiahkan saat lamaran, termasuk amplop cokelat yang isinya masih utuh. Amplop itu bakal pelunasan biaya sewa gedung dan katering. Ustaz Yunus juga menyampaikan bahwa semua lis undangan telah dihubungi dan dikabari bahwa pernikahan itu batal. Perasaan Iqbal kian kacau.
“Kenapa sepihak, Ustaz?” tanya Iqbal.
Ustaz Yunus kembali mendesah dan membuat Iqbal makin tak enak. Beliau menyampaikan bahwa Bang Hafiz tidak rela adiknya memiliki imam yang suka mempermainkan syariat. Ketergelincirannya merupakan anggai agar ia segera mendekat untuk taat pada syariat.
Sebelum bertemu Ustaz Yunus, Bang Hafiz memang pernah mengirim pesan lewat aplikasi telepon berlatar hijau. “Seorang imam harus kuat dalam menggenggam syariat. Biduk rumah tangga adalah amanat untuk membangun peradaban umat.”
Rupanya pesan itu merupakan anggai yang tak pernah ia pahami. Iqbal pikir itu nasihat menjelang pernikahan. Anggai yang tak pernah dipahami tetaplah menjadi anggai rahasia di alam semesta. Sedangkan Ilahi sudah menerbitkan anggai beserta petunjuk-Nya. Kini, penyesalan Iqbal tiadalah guna. Apalagi Ustaz Yunus juga telah menyampaikan bahwa keluarga Iqbal sudah tahu pembatalan pernikahan ini. Bang Hafiz menerangkan segalanya pada kedua orang tuanya. Hati Iqbal hancur sehancur-hancurnya.[]
Laki-laki seperti Iqbal banyak di zaman sekarang, kaum perempuan harus lebih hati-hati dalam memilah pasangan hidup.
Betul, Mbak.
Barakallah mbak Afi. Semoga gak ada lagi Iqbal-Iqbal di luar sana yang berbuat seperti itu.
Aamiin Wafiik barokallah, Mbak
Masyaallah keren Mbak Afi. Ceritanya selalu banyak hikmah dan ngalir.
La hawla wala quwwata illa billah
Ya Allah, membaca cerpen ini seakan ikut larut dalam ceritanya. Gemes sama tokoh Iqbal.
Saya pun jengkel sama si Iqbal yang suka memeprmainkan perasaan dan tanggung jawab
Barakallah mbak,, ide ceritanya selalu ciamik
Barakallah mbak, saya selalu suka dengan ide ide cerpen yang dibuat oleh mbak.
Aamiin Wafiik barokallah, Mbak
Alhamdulillah jika suka. Doakan tetap istiqomah berkarya dan berdakwah lewat cerpen
Barakallah mb penulis..keren..
La hawla wala quwwata illa billah
Aamiin
Wafiik barokallah, Mbak