Makin jelaslah prinsip kufur kapitalisme dan nasionalismelah pangkal kedukaan di tengah umat, tak semestinya dianut dan diadopsi
Oleh : Yuliyati Sambas, S.Pt
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
NarasiPost.Com-Di saat masayarakat dunia tersedot perhatiannya pada pemulihan kondisi pasca pandemi, satu demi satu negara Timur Tengah mempertontonkan drama kemesraan berupa normalisasi dengan Israel. Sontak hal ini memunculkan banyak tanya terkait motivasi di baliknya.
Dikutip dari laman republika.co.id (6/12/2020) bahwa Arab Saudi siap melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel, sebagaimana disampaikan oleh Pangeran Faisal bin Farhan selaku Menteri Luar Negeri Arab Saudi. Meski diungkapkan pula prasyarat dari normalisasi tersebut berupa permintaan kemerdekaan bagi Palestina, tetap saja tampak betapa hal itu merupakan bentuk pengkhianatan atas kaum muslimin secara keseluruhan.
Pasca UEA dan Bahrain yang lebih dahulu melakukan hal serupa, Arab Saudi tampak demikian pede memamerkan kemesraan terlarang itu.
Padahal, terhitung sejak digagasnya Deklarasi Balfour November 1917, untuk memberikan sebagian wilayah Palestina sebagai “tanah air” bagi Kaum Yahudi, dilanjutkan proklamasi sepihak pembentukan Negara Israel pada 14 Mei 1948 oleh Israel, sejak itulah hubungan negara-negara Teluk Arab dengan Israel senantiasa dalam mode on perang.
Pertempuran demi pertempuran, gencatan senjata, perjanjian damai, selanjutnya pertempuran kembali berlaku silih berganti dalam jangka waktu berpuluh tahun. Kemerdekaan yang diharap bagi Bangsa Palestina nyata seolah kian mustahil untuk diraih. Yang terjadi, sejengkal demi sejengkal tanah Palestina dirampas tangan keji Israel. Didukung penuh oleh “ayah, ibu dan kerabat dekat” Israel yakni Sang Tuan Barat wa bil khusus Inggris dan Amerika.
Namun, kini kemesraan justru ditampakkan demikian nyata oleh petinggi Negara-Negara Middle East itu. Apa gerangan yang terjadi?
Jika ditelisik, baik Saudi, UEA dan Bahrain telah nyata memamerkan pengkhianatan terhadap Islam. Palestina sebagai bagian dari kaum muslimin merupakan saudara bagi seluruh muslim lain di dunia. Tak berlebihan kiranya ketika umat berharap dari para pemimpin negeri muslim untuk memberi perlindungan dan keberpihakan terhadap urusannya. Terlebih atas para petinggi negeri di kawasan Jazirah Arab sebagai tetangga terdekat.
Ternyata, kuat aroma keuntungan materialistik berada di balik semuanya. Berdasarkan kutipan dari Middle East Monitor yang dilaporkan wartawan majalah Haaretz Israel, Hagai Amit, bahwa ratifikasi perjanjian normalisasi hubungan Israel-Bahrain merupakan ‘awal baru bagi musim semi Arab-Israel’. Limpahan keuntungan lainnya berhubungan dengan industri artileri milik Amerika Serikat. Baik UEA, Qatar, Kerajaan Arab Saudi dan tak menutup kemungkinan negara Teluk lainnya telah dan akan melakukan kerjasama serupa, berupa pembelian produk artileri dari AS. Total kontrak yang sudah ditandatangani saja sebesar 9,8 miliar US$ setara dengan Rp138 triliun. (Pikiran-Rakyat.com, 18/11/2020)
Semua hal itu niscaya terjadi, pasca negeri-negeri muslim di seluruh dunia mengadopsi prinsip kufur berupa kapitalisme. Mereka kian terbutakan dengan limpahan keuntungan duniawi. Kerjasama demi kerjasama yang disodorkan oleh negara-negara Barat mereka terima dengan penuh suka cita. Padahal, Barat tak lebih dari para penjajah yang telah menjarah harta kekayaan negeri-negeri muslim dengan dalih investasinya. Dari tangan-tangan kotor mereka pula, lumuran darah saudara sesama muslim ditumpahkan dan mereka terusir. Afganistan, Palestina, Irak, Suriah, Libanon, India, Rohingya, Uyghur China dan lainnya masih berduka hingga kini.
Nasionalisme yang disuntikkan Barat ke negeri-negeri muslim telah mengerat kesatuan umat yang dahulu dipertahankan dengan genangan darah dan keringat para syuhada. Bangsa-bangsa berpenduduk muslim didorong untuk memiliki kemerdekaan masing-masing. Satu sama lain saling berlepas diri dan diarahkan untuk mengurusi urusan dalam negerinya masing-masing. Maka meski rakyat Palestina mengerang karena tanah mereka dirampas oleh tangan keji Israel, semua bungkam. Lamat suara yang keluar dari mulut para pemimpin negeri muslim sekadar dorongan bagi Palestina untuk merdeka. Dan "dipaksa" untuk ridha sejengkal demi sejengkal tanah mereka dirampas oleh Israel durjana.
Makin jelaslah prinsip kufur kapitalisme dan nasionalismelah pangkal kedukaan di tengah umat, tak semestinya dianut dan diadopsi.
Padahal jika kita menengok firman Yang Mahakuasa didapati bahwa satu muslim dengan lainnya adalah saudara (TQS. al-Hujurat: 10). Bahkan ikatannya jauh lebih kuat dibanding nasab dan kekerabatan juga sekat bangsa.
Baginda saw. bersabda bahwa kasih sayang sesama muslim itu ibarat satu tubuh (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad). Dimana ketika ada bagian tubuh yang sakit, maka bagian lainnya akan merasakan sakit juga bahkan bereaksi demam dan tak nyenyak tidur karenanya.
Islam mengamanatkan urusan yang terjadi pada umat merupakan tanggung jawab pemimpin pemerintahan dalam mengatasinya. Tak selayaknya umat berada di bawah bayang dominasi asing, terlebih dijajah dan ditindas. Umat mesti memiliki kemerdekaan hanya untuk menghamba pada Sang Mahakuasa.
Teringat akan memori ketika dunia ada di bawah pengurusan terbaik para khalifah yang menjalankan amanat langit dalam memerintah negeri. Adalah Sultan Hamid II pernah dibujuk untuk memberi ijin bagi Bangsa Yahudi melakukan migrasi resmi dan mendirikan pemukiman warga Yahudi di sebagian wilayah Palestina. Beberapa tokoh Zionis semisal Theodore Herzl diutus untuk membujuk beliau, dengan menawarkan sejumlah keuntungan. Mulai diberikannya hadiah berupa 150 juta Poundsterling bagi pribadi Sultan; membayarkan utang pemerintahan Turki Utsmani di kala itu hingga 33 juta Poundsterling; menawarkan pinjaman bebas bunga 35 juta Poundsterling; membangunkan satu universitas di Palestina; hingga mendirikan kapal induk senilai 120 juta Frank. Semua ditolak oleh sultan Hamid II, karena dipandang akan membahayakan rakyat dan negara secara keseluruhan.
Limpahan materi tak membutakan mata pemimpin negeri, ketika Islam dan prinsip akidah digenggam. Palestina dan semua kawasan yang berada di bawah pemerintahan Islam tak selayaknya diserahkan, meski hanya sejengkal kepada pihak asing. Kesatuan negeri-negeri muslim telah diamanatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dimana diyakini kuat betapa akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak di pengadilan akhirat.
Maka adalah nestapa yang dirasa, ketika kini para pemimpin negeri muslim berlomba mempertontonkan drama kemesraan terlarang dengan bangsa Yahudi dan penjajah Barat. Dunia pun dibiarkan mengerang kesakitan karenanya.
Betapa rindu teramat sangat akan hadirnya kembali sosok pemimpin dunia yang memegang kuat prinsip akidah Islam. Menerapkan syariat tanpa dikerat terlebih dicampakkan.[]