“Salah satu pesan darinya adalah bahwa dakwah bukan profesi, tetapi setiap profesi wajib berdakwah.”
Oleh. Nurjanah Triani
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Setiap perempuan tentu menginginkan pembimbing yang baik dalam hidupnya, tak terkecuali aku. Namun, kala itu, doaku berputar haluan. Aku tak lagi meminta laki-laki yang pintar dalam hal pengetahuan agama. Bukan tak mau tepatnya, tetapi aku merasa untuk menjadi pembimbing pun tentu memerlukan ilmu. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar membuatku tersadar bahwa ilmu saja tidak cukup. Akan menjadi PR yang lebih rumit, saat ia tahu ilmu agama, tetapi enggan menerapkannya. Maka, kuubah doaku untuk meminta Allah mengirimkan laki-laki yang hanif, laki-laki yang mau menerima kebenaran. Perihal ilmu agama, bisa kita cari bersama-sama. Sebab, ilmu bak lautan yang tak pernah habis untuk dipelajari. Orang yang hanif, meskipun terlambat mengetahui, ia akan mudah menaati apa yang ia pelajari. Begitu pikirku.
Datanglah ia kala itu. Belum lama aku mengenalnya. Namun, ia mengawali niatnya dengan mengatakan, “Saya belum banyak mengenal Islam. Bahkan, saat ini saya masih belajar tahsin untuk memperbaiki bacaan Al-Qur’an saya.”
Perkataan itu mengetuk hatiku. Melihat kejujurannya atas kekurangan yang ia sadari dan melihat kesungguhannya belajar hal dasar yang banyak disepelekan orang lain, akhirnya kujatuhkan pilihan kepadanya. Dia, yang ingin sama-sama belajar bersamaku.
Setelah 2,5 tahun kami bersama, aku menyadari beberapa hal tentangnya. Tentang siapa sesungguhnya sosok imam yang selama ini menjagaku. Saat aku menemaninya bertemu dengan rekan kerja, kukira itu hanya akan menjadi pertemuan singkat perihal bisnis semata. Namun, ternyata aku keliru. Pertemuan bisnis itu ia selimuti dengan pembahasan agama. Ia selipkan dakwah-dakwah ringan dalam perbincangan itu. Aku tertegun tatkala ia begitu serius menceritakan salah satu tokoh pembawa pengaruh Islam yang kuat di dalam negeri, yaitu almarhum Koh Steven Indra Wibowo. Begitu hafalnya ia dengan runutan kehidupan tokoh tersebut yang sangat menginspirasi banyak orang muslim saat itu. Penjelasannya membuat lawan bicara mengangguk kagum terhadap sosok yang diceritakan.
Pemandangan itu sangat menusukku. Tatkala aku yang sudah diamanahi tugas dakwah saja masih begitu sulit untuk menjadikan obrolan biasa ke arah obrolan dakwah. Namun, ia yang katanya masih belum tahu banyak tentang Islam, justru begitu mudah menyampaikan dakwah. Aku tertegun sembari menyimak apa yang ia sampaikan kepada rekan kerjanya. Aku berkata lirih dalam hati, “Ya, Allah, inikah sosok sesungguhnya yang Engkau amanahkan untuk menjagaku? Untuk menjadi suamiku?”
Dalam pandanganku sebelumnya, ia hanya seseorang yang sedang belajar tentang Islam, yang katanya belum banyak mengenal Islam. Namun, apa ini? Bahkan, cara berdakwahnya sangat elegan. Tak terlihat oleh lawan bicaranya bahwa ia sedang berdakwah, walaupun sebenarnya itulah yang dilakukannya. Ya, Allah, bahkan aku sebelumnya tak meminta laki-laki dengan pengetahuan Islam yang tinggi. Namun, yang Engkau beri justru ia yang telah terbiasa menyebarkan ilmunya dengan dakwah.
Masih dengan tertegun, aku mulai menyelisik. Ia yang di dalam rumah lebih banyak bersenda gurau bersamaku, ternyata bisa amat serius tatkala berhadapan dengan yang didakwahi. Benar bahwa ia di dalam rumah lebih sering bergurau. Pun dalam menyampaikan nasihat, selalu diiringi dengan gurauan.
Aku teringat beberapa agendanya belakangan ini. Salah satunya adalah menjadi wasilah rekan-rekannya untuk menyalurkan makanan Jumat berkah. Dia membuat list orang-orang yang ingin ikut berbagi Jumat berkah. Kemudian uang yang terkumpul dari mereka, ia olah menjadi makanan yang bisa dibagikan usai salat Jumat. Aku memenuhi perintahnya untuk menyiapkan makanan dan mengemasnya dari bahan-bahan yang telah ia beli. Ia lalu memintaku untuk membagikan makanan tersebut. Saat itu, aku tak berpikir apa pun. Aku hanya berpikir itu perintah suami kepada istrinya. Namun, setelah kembali kuselisik, aku teringat bahwa ia tahu kalau aku orang yang mudah menangis saat melihat orang-orang yang kurang mampu di jalanan. Aku selalu berkata kepadanya, “Mas, aku ingin sekali membantu mereka saat kita sudah mampu nanti, ya.” Ah, ya, ia memang sengaja membuat aku yang harus membagikan makanan dengan tanganku sendiri karena itu adalah salah satu keinginanku sebelumnya. Katanya, “Sayang, untuk berbagi, tak harus menunggu kaya. Jika kita tidak mampu materi, maka kita bisa memberikan tenaga.”
Kembali kuputar memoriku, mengingat agenda lain yang sedang ia tekuni saat ini. Yaitu, membantu orang lain terbebas dari riba. Memang sedari lama ia terkenal sebagai pembangun bisnis angsuran sesuai syariat. Tujuannya adalah agar orang-orang yang membutuhkan barang tak lagi harus berhubungan dengan riba. Namun, di luar itu, agenda yang baru ia jalani adalah membantu memberikan pinjaman untuk orang-orang yang sedang terlilit utang riba. Riba yang begitu mengerikan dan mencekik di tengah masyarakat, membuat hatinya tergugah untuk mengumpulkan orang-orang baik yang sama-sama ingin membantu.
Aku melihat perjuangannya dalam meyakinkan rekannya untuk ikut dalam penggalangan dana bantuan ini. Bahkan, ia menjadikan dirinya sendiri sebagai jaminan andai orang yang akan dibantu dengan pinjaman untuk melunasi riba justru melepas tanggung jawabnya. Iya, jaminannya tak main-main. Yaitu kepercayaan orang-orang terhadapnya. Uang yang dibutuhkan kala itu bukanlah sebesar satu atau dua juta rupiah, melainkan hampir 100 juta rupiah. Jumlah yang sangat besar. Begitu pula risikonya. Artinya, andaikan orang yang akan dibantu itu melepas tanggung jawabnya begitu saja, maka ia yang harus mengganti uang rekan-rekannya tersebut.
Jangan tanya bagaimana peranku saat itu. Jika dipikirkan, aku yang merupakan istrinya pun tentu akan mendapatkan imbas serupa dengannya kalau hal-hal yang tidak diinginkan itu terjadi. Namun, melihat tekad, ketulusan, dan keinginannya untuk membebaskan orang lain dari riba yang merupakan dosa besar, tentu aku melihat itu sebagai upaya dakwah yang luar biasa. Menjauhkan hamba-hamba Allah dari dosa besar riba bukan hanya dengan mendakwahkan secara lisan, tetapi juga memberikan solusi berupa bantuan. Tentu itu senilai dengan upaya menerapkan salah satu hukum Allah tentang haramnya riba. Tidak mungkin aku tidak mendukungnya. Konsekuensinya sudah ada di depan mata. Sebagai istri yang menginginkan sehidup sesurga bersamanya, maka tugasku saat situasi tersebut adalah menguatkan dan meneguhkan langkahnya serta mendukung setiap keputusan yang memang ia upayakan untuk dakwah. Aku yakinkan kepadanya bahwa aku tidak apa-apa. Bahkan, jika Allah mengambil harta yang telah dititipkan sebagai konsekuensi dari pilihan tersebut, maka aku siap menemaninya dalam keadaan apa pun nantinya.
Benar. Selama ini kukira, ia tak membimbingku karena di dalam rumah, ia hanya menjadi teman bergurauku. Namun, ternyata banyak hal yang tak kusadari bahwa itu merupakan didikan seorang suami kepada istrinya. Ia selalu beranggapan bahwa dirinya tak pantas menyampaikan dakwah. Namun, di sisi lain, saat ia mendapatkan ilmu baru, ia merasa terbebani saat tak bisa menyebarkan ilmu tersebut. Akhirnya, lewat obrolan ringan, dakwah itu masuk pada lawan bicaranya. Tak sedikit kutemukan dalam setiap percakapan di media sosialnya, terdapat pesan yang menanyakan kepadanya terkait suatu permasalahan. Tak sedikit pula jawaban darinya merupakan ajakan untuk mendekatkan diri pada Ilahi dan ilmu yang sesuai dengan masalah yang dihadapi oleh rekannya tersebut. Tentu itu merupakan peluang dakwah yang besar.
Kuingat lagi salah satu keinginanku. Yaitu membangun masjid di desa. Ternyata ia sudah mengabulkannya, meski lewat cara yang berbeda. Ia membuat proposal-proposal pada rekan kerjanya tentang pembangunan masjid di suatu desa. Ia sebarkan niatnya tersebut hingga banyak orang yang ingin turut mendanai pembangunan masjid. Dana pun terkumpul hingga pembangunan masjid bisa berjalan dengan lancar. Keuangan kami memang belum cukup untuk membangun masjid secara langsung. Namun, ia tak kehabisan akal untuk mewujudkan salah satu mimpi istrinya. Ia menggunakan cara lain yang bisa dilakukan. Ternyata, cara itu justru membuat orang lain turut mendapatkan pahala darinya. Ia menjadi wasilah orang lain berbuat baik dan membuka kesempatan untuk orang lain mendapatkan pahala yang luar biasa. Aku tak sadar bahwa hal itu ternyata merupakan didikan darinya. Melaui tindakan, ia ingin menyampaikan bahwa saat kita sudah memiliki niat yang kuat, tak ada yang bisa menjadi alasan untuk tidak melakukannya, termasuk persoalan materi.
Lamunanku terhenti. Kupandangi ia yang masih berkutat dengan perbincangan bersama rekan kerjanya sembari tersenyum. Akhirnya, aku menemukan definisi ana uhibbuka fillah yang sesungguhnya. Bukan hanya terucap sebagai gombalan semata. Namun, sebagai bentuk persahabatan yang saling menguatkan dalam menggapai keridaan-Nya. Karena kecintaannya kepada Allah itulah yang membuatku makin mencintainya. Kecintaanku kepadanya membuatku jauh lebih ingin mendapatkan cinta-Nya. Salah satu pesan darinya adalah bahwa dakwah bukan profesi, tetapi setiap profesi wajib berdakwah.[]
Photo: Pinterest