Kota Baubau, Negeri Khalifatul Khamis yang Tak Pernah Dijajah Belanda

Pemberian gelar Khalifatul Khamis dilatarbelakangi oleh penerapan syariat Islam kafah yang dijalankan oleh setiap sultan yang menjabat. Selepas Khilafah Rasyidin, proses pengangkatan khalifah dilakukan secara turun-temurun lewat jalan baiat. Namun, kepemimpinan Kesultanan Buton tetap mengikuti metode yang ditempuh seperti pada masa Khilafah Rasyidin, di mana seleksi ketat para bakal calon khalifah dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim. Di Kesultanan Buton pun demikian, lembaga tersebut bernama Sio Limbona (Majelis Syarak Kesultanan Buton).

Oleh. Dian Afianti Ilyas
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Tana Wolio liwuto bau (Tanah Wolio daerah baru)
Bura satongka auwalina (Awalnya bura satongka)
Iweitumo tana minaaku (Di situlah tanah kelahiranku)
Lembokanaa moraaku (Tanah tumpah darahku)

Sebait lirik lagu di atas adalah lagu daerah yang berasal dari Kota Baubau, tempat di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Lagu tersebut selalu menjadi langganan untuk kunyanyikan ketika praktikum seni budaya pada saat sekolah dulu. Lagu berjudul "Tana Wolio" ini secara utuh menggambarkan bagaimana pesona dan kekayaan alam yang dimiliki Tana Wolio, julukan yang dulu disematkan untuk wilayah Kota Baubau.

Kota Baubau merupakan salah satu kota madya yang terletak di Pulau Buton, tepatnya sebelah tenggara Pulau Sulawesi. Pulau ini diapit oleh lautan, yaitu Laut Flores di sebelah selatan, kemudian Laut Banda di sebelah utara dan timur, sedangkan di sebelah barat terdapat Selat Buton dan Teluk Bone. Oleh karena itu, Kota Baubau disebut sebagai connecting area (daerah penghubung) karena memiliki letak yang strategis yang menghubungkan Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Kota Baubau juga menjadi daerah akumulator hasil produksi perkebunan, pertanian, dan kelautan daerah hinterland seperti Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna, Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Bombana.

Saat terjadi konflik antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone, Arung Palakka—pembesar Kerajaan Bone—datang ke Kerajaan Buton untuk meminta perlindungan. Setelah konflik meredam, beberapa orang yang menjadi pengikut Arung Palakka tidak kembali ke Bone dan memilih menetap di Buton. Banyak bangsawan dari Sulawesi Selatan yang memilih Buton sebagai tempatnya berhijrah kala situasi politik di daerahnya yang diciptakan Belanda semakin keruh. Para bangsawan yang datang tersebut rata-rata memiliki gelar Andi Bau. Dari sinilah awal tercipta nama Baubau. Jadi, sama sekali tidak ada kaitannya dengan aroma bau, lho! Hehe..

Tidak Tersentuh Penjajahan Belanda

Kerajaan Buton berdiri pada tahun 1332 Masehi yang dipimpin oleh seorang perempuan bernama Wa Kaa Kaa. Tatkala bangsa Portugis dan Belanda berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk menguasai rempah-rempah di Maluku, wilayah perairan Buton menjadi jalur yang harus dilalui kapal-kapal bangsa penjajah tersebut.

Namun, dengan sistem pertahanan maritim yang kuat dan aktif memantau bajak laut hingga tidak segan angkat senjata untuk mengusirnya, menjadikan Kerajaan Buton memiliki power di mata bangsa penjajah tersebut. Bukannya menjajah, kedua bangsa tersebut malah menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Buton.

Keberadaan benteng yang mengelilingi kompleks istana pun menjadikannya memiliki sistem pertahanan yang kuat. Posisi benteng yang berada di perbukitan setinggi 100 meter dari permukaan laut menjadikannya sebagai lokasi strategis untuk memantau kondisi daratan dan lautan.

Negeri Khalifatul Khamis

Transformasi Kerajaan Buton menjadi Kesultanan Buton terjadi pada masa kepemimpinan raja ke-6 yang dikenal bernama Lakilaponto atau Halu Oleo. Peralihan dari kerajaan menjadi kesultanan ini adalah buah dari upaya seorang ulama bernama Syekh Abdul Wahid yang merupakan utusan Kekhilafahan Utsmani di Turki untuk menyebarkan Islam di Nusantara.

Lakilaponto kemudian diberi gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Islamisasi pun terjadi besar-besaran di lingkup Kesultanan Buton hingga menjadikan Islam sebagai agama resmi di wilayah tersebut. Kekhilafahan Turki—pusat pemerintahan Islam—mengakui Kesultanan Buton sebagai bagian dari kekhilafahan.

Pemberian gelar Khalifatul Khamis dilatarbelakangi oleh penerapan syariat Islam kafah yang dijalankan oleh setiap sultan yang menjabat. Selepas Khilafah Rasyidin, proses pengangkatan khalifah dilakukan secara turun-temurun lewat jalan baiat. Namun, kepemimpinan Kesultanan Buton tetap mengikuti metode yang ditempuh seperti pada masa Khilafah Rasyidin, di mana seleksi ketat para bakal calon khalifah dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim. Di Kesultanan Buton pun demikian, lembaga tersebut bernama Sio Limbona (Majelis Syarak Kesultanan Buton).

Kepemimpinan sultan tidaklah absolut. Sebagai manusia yang tidak maksum, sultan yang terbukti melanggar hukum syarak akan dipecat bahkan dijatuhi hukuman mati. Siapa pun yang kedapatan melakukan aktivitas zina dan mencuri, maka mereka harus menerima hukuman rajam dan potong tangan. Semua aturan yanh berlaku dalam Kesultanan Buton bersandar pada Al-Qur'an dan hadis, yang mana termaktub dalam Undang-undang Martabat Tujuh Kesultanan Buton.

Dari sinilah Kesultanan Buton di beri gelar Khalifatul Khamis (khalifah kelima), di mana Khilafah Rasyidin berjumlah empat orang (Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thallib) dan kelimanya disebut ada di Kesultanan Buton sebab keteguhannya dalam penerapan hukum syarak. Jadi maksudnya bukan berarti menyetarakan Sultan Buton dengan para Khilafah Rasyidin, ya.

Peninggalan Sejarah

Hingga saat ini, peninggalan-peninggalan Kesultanan Buton bisa kita jumpai dalam kompleks kesultanan. Bukti autentiknya, yakni:

Pertama, Benteng Keraton Buton. Benteng yang terbuat dari batu kapur/gunung yang luasnya mencapai 23,375 hektare dengan panjang keliling sebesar 2.470 meter serta tinggi 4 meter dan lebar 2 meter. Tak heran jika Kota Baubau juga dijuluki sebagai Negeri Seribu Benteng. Guiness Book Record menetapkan Benteng Keraton Buton sebagai benteng terluas di dunia.

Di benteng tersebut terdapat dua belas pintu gerbang yang disebut Lawa dan enam belas emplasemen meriam yang disebut dengan Balarua. Posisi benteng yang berada di perbukitan dengan lereng yang cukup curam, menjadikan tempat ini sebagai pilihan yang tepat untuk menikmati senjanya matahari dan hilir mudik kapal-kapal di Selat Buton. Tak hanya itu, masyarakat sekitar juga memanfaatkannya sebagai arena jogging. Benteng ini pula menjadi spot favorit wisatawan untuk mengambil foto.

Kedua, Masjid Agung Keraton Buton. Masjid ini berada dalam kompleks Benteng Keraton, dibangun pada tahun 1712 Masehi pada masa pemerintahan Sultan Sakiyuddin Darul Alam. Masjid tersebut memiliki luas sebesar 21x22 meter dan memiliki dua belas pintu. Bangunan ini terdiri tiang-tiang dan kerangka kayu kelas wahid. Awalnya menggunakan atap rumbia, namun diganti menjadi atap seng ketika direnovasi.

Dulunya, masjid ini menjadi tempat pusat kegiatan kesultanan di bidang keagamaan dan para perangkatnya. Kapasitas masjid tersebut dapat menampung sekitar seribu jemaah. Uniknya, perangkat syarak (pegawai) Masjid Agung Keraton Buton terdiri dari enam puluh orang, yaitu seorang qadhi (hakim), seorang imam, empat orang khatib, dua orang tungguna ganda (pemukul beduk), dua belas orang muazin, dan empat puluh orang jemaah tetap. Masjid ini menjadi pilihan masyarakat Kota Baubau tatkala melaksanakan salat Idulfitri.

Ketiga, tiang bendera (kasulana tombi). Tiang bendera ini terbuat dari kayu jati dengan tinggi 21 meter di atas permukaan tanah, terletak di sebelah Masjid Agung Keraton Buton dengan jarak 10 meter.

Tiang bendera ini dibuat untuk mengibarkan bendera Kesultanan Buton yang disebut longa-longa. Walaupun telah berumur 300 tahun, namun tiang ini tetap berdiri kokoh. Inilah yang membuat wisatawan tertarik untuk berfoto di dekatnya.

Keempat, Batu popaua. Batu yang dikenal sebagai batu pelantikan sultan ini berbentuk bulat memanjang (elips), berukuran 50x35 sentimeter. Batu ini terletak 30 meter di sisi timur masjid.

Batu popaua memiliki arti batu yang dipayungi. Batu inilah yang menjadi tempat pelantikan sultan. Batu popaua menjadi saksi bagaimana sistem pemerintahan Islam pernah diterapkan di Buton.

Kelima, baruga. Peninggalan sejarah ini dibangun pada masa Sultan Dayanu Ikhsanudin atau Laelangi. Baruga berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat untuk bermusyawarah, tempat diadakannya upacara, dan tempat bagi Sultan untuk membahas masalah ekonomi, sosial, dan lain-lain. Baruga merupakan bangunan panjang tanpa dinding yang berada di hadapan masjid.

Keenam, Makam Sultan Murhum. Terletak di sebelah tenggara masjid dengan ukuran 3x3 meter. Sultan Murhum merupakan raja ke-6 dan sultan pertama. Posisinya yang berada di bukit yang tinggi membuat siapa yang mau mengunjunginya harus menggunakan tangga-tangga kecil.

Peninggalan sejarah yang terdapat dalam satu kompleks Benteng Keraton Buton ini sungguh sayang jika dilewatkan begitu saja tatkala mengunjungi Kota Baubau. Selain sebagai sarana refreshing, mengunjungi kompleks bersejarah ini semakin meyakinkan kita bahwa Islam pernah diterapkan dalam sebuah sistem pemerintahan, juga semakin membuktikan bahwasanya Nusantara memiliki hubungan yang erat dengan Kekhilafahan Utsmaniyah di Turki.

So, jikalau para pembenci ide khilafah di luar sana berkoar-koar menyatakan bahwa Nusantara tak ada kaitannya dengan khilafah, maka sudah saatnya kita berdiri di garda terdepan untuk menunjukkan kepada kaum muslimin bahwa buktinya ada dan tercatat dalam sejarah.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Dian Afianti Ilyas Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Negeri Tanpa Gorengan
Next
Terjebak
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram