"Akar persoalan dari kekerasan seksual yang semakin marak terjadi adalah akibat penerapan ideologi kapitalisme. Kapitalisme melahirkan akidah sekuler sehingga terbentuk pemikiran dan perilaku yang serba bebas tanpa aturan (liberal) di negeri ini."
Oleh. Sri Puji Hidayati, M.Pd.
NarasiPost.Com-Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim telah menerbitkan Peraturan Menteri No.30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Pengamanan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi yang selanjutnya menjadi Permen PPKS. Pertimbangan ditetapkannya Permen PPKS adalah semakin maraknya kekerasan seksual yang terjadi, termasuk lingkungan kampus. Tentunya, masalah kekerasan seksual ini begitu meresahkan bagi masyarakat, khususnya umat Islam. Tidak dipungkiri, kekerasan seksual memang kian marak terjadi di berbagai tempat, termasuk di lingkungan kampus.
Tampaknya, fakta kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi kian merebak dan begitu susah untuk mengatasinya secara tepat. Wajar adanya jika perkara ini membutuhkan upaya dan solusi yang tuntas untuk menyelesaikannya, seperti Permen PPKS tersebut. Sayangnya peraturan yang dikeluarkan ini justru menuai kontroversi. Pro dan kontra terus bergulir, PDIP dan Kementerian Agama mendukung akan Permen PPKS ini. Sementara, beberapa kalangan, tokoh dan pejabat meminta pak Menteri Nadiem untuk mengkaji ulang dan merevisi peraturan yang baru saja ditetapkannya itu. Bahkan, Majelis Ormas Islam secara terang-terangan menolak Permen PPKS ini.
Sebenarnya, masalah kekerasan seksual bukan suatu persoalan baru. Kasusnya yang tampak hanya terlihat pada permukaannya saja, bagaikan fenomena gunung es, jumlah kasus yang tidak terlaporkan jauh lebih banyak daripada yang terdeteksi. Kondisi tersebut semestinya menjadi alarm bersama, untuk menelisik akar persoalannya, bukan sibuk dengan menerbitkan peraturan yang justru malah menimbulkan kontroversi. Pihak kontra mempunyai alasan kuat atas penolakan Permen PPKS ini, karena disinyalir Permen PPKS ini malah menjadi gerbang legalisasi zina di lingkungan kampus.
Frasa consent atau persetujuan korban yang terdapat dalam pasal 5 pada Permen PPKS inilah hal yang menuai kontroversi dari berbagai pihak, karena menimbulkan multitafsir. Kata consent ini diulang-ulang beberapa kali dalam peraturan tersebut. Definisi dari ‘tanpa persetujuan korban’ adalah apabila ada persetujuan korban alias suka sama suka, maka tidak termasuk dalam pelanggaran Permen PPKS dan perbuatan ini tidak akan dikenakan sanksi. Lantas, aktivitas seksual dengan adanya persetujuan dari korban berarti diizinkan terjadi di lingkungan kampus yang notabenenya, kampus merupakan sarang lahirnya generasi penerus bangsa ini? Menjadi suatu hal yang wajar jika masyarakat menilai bahwa peraturan ini menjadi pintu gerbang legalisasi zina di kampus.
Akar persoalan dari kekerasan seksual yang semakin marak terjadi adalah akibat penerapan ideologi kapitalisme. Kapitalisme melahirkan akidah sekuler sehingga terbentuk pemikiran dan perilaku yang serba bebas tanpa aturan atau liberal di negeri ini. Agama hanya boleh mengatur ranah urusan ibadah individu saja dan meminggirkan peran agama dalam urusan kehidupannya. Selain itu sanksi yang diberikan tidak memberikan efek jera. Dengan demikian, yang seharusnya diberantas tuntas adalah sistem kapitalisme sekularisme yang diterapkan saat ini.
Islam merupakan solusi tuntas untuk mengatasi kekerasan seksual baik secara kuratif (penanggulangan) maupun preventif (pencegahan). Mekanisme Islam dalam memberantas kekerasan seksual adalah dengan menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan, baik dalam ranah individu maupun sosial. Islam akan menutup berbagai kegiatan yang bisa menimbulkan kekerasan seksual, seperti mengumbar aurat dan sensualitas di tempat umum, situs porno, dan lainnya. Islam akan memberikan pembinaan akidah yang kuat serta menjaga akal, jiwa, dan juga kehormatan warganya. Sehingga, akan membentuk masyarakat yang senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar. Sanksi tegas juga akan ditegakkan bagi para pelaku, apabila belum menikah dijilid (dicambuk) di tempat umum, jika pelakunya sudah menikah dia sampai mati. Hukuman yang seperti itu akan menimbulkan efek jera bagi yang lain dan juga sebagai penebus dosa bagi pelaku yang telah dilakukannya jika sampai pada waktunya di hari perhitungan nanti.
Jelas sudah, bahwa Permen PPKS bukanlah solusi atas kasus kekerasan seksual yang semakin merebak di kampus. Alih-alih memberantasnya, yang terjadi malah membuka lebar gerbang legalisasi zina di lingkungan kampus. Tanpa adanya Permen PPKS saja, kondisi kehidupan kampus sudah tidak karuan, apalagi dengan diterapkan aturan tersebut, generasi penerus menjadi taruhannya. Tentunya keadaan seperti ini sangat meresahkan, oleh karena itu Permen PPKS harus ditolak dan itu bukanlah solusi atas kasus kekerasan seksual yang kian marak. Islamlah solusi atas seluruh persoalan yang melanda negeri ini, termasuk kekerasan seksual. Seluruh mekanisme yang dimiliki Islam untuk memberantas kekerasan seksual dapat terlaksana, ketika seluruh aturan Islam diterapkan secara menyeluruh dan totalitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wallahu a'lam bi ash-shawab[]