"Manusia diciptakan Allah Swt. hidup berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan gender ini berkonsekuensi pada hukum-hukum syariat tertentu yang tidak bisa disamakan."
Oleh. Maman El Hakiem
NarasiPost.Com-Banyaknya tindak kejahatan seksualitas yang dialami perempuan karena interaksi kehidupan antar lawan jenis tanpa sanksi hukum yang tegas. BBC Indonesia pada 8/10/2021 melansir berita tentang rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum, berkaitan dengan kejahatan seksualitas, seperti pemerkosaan di Luwu Timur Sulawesi Selatan yang kasusnya ditutup dengan alasan kurang bukti.
Menanggapi hal tersebut perwakilan dari Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, seperti dikutip BBC mengatakan: "Ini sebetulnya menunjukkan budaya rape culture itu masih dominan di kita.”
Istilah "rape culture" merujuk pada budaya yang menjadikan perkosaan dan juga kekerasan seksual sebagai sesuatu yang normal, wajar terjadi dan ditoleransi di media atau masyarakat. Tentu, hal ini sangat memperihatinkan karena seksualitas dianggap perkara sepele, perempuan tidak lagi ditempatkan mulia, cenderung menjadi obyek “pandangan” kaum lelaki.
Kejahatan seksualitas sendiri memliki banyak ragam dan tidak hanya pada perempuan dewasa, melainkan remaja bau kencur sampai anak-anak. Tidak hanya di ruang publik, juga dalam kehidupan rumah tangga. Pada kasus di Luwu Timur misalnya, termasuk kejahatan seksualitas dalam rumah tangga karena dilakukan seorang ayah pada anaknya. Masih banyak lagi kasus yang belum terungkap akibat dari longgarnya aturan hukum terhadap perilaku asusila di negeri ini.
Kesetaraan Gender Bukan Solusi
Persoalan gender yang sering didengung-dengungkan oleh sistem kapitalisme tidak lebih urusan pada aspek pemenuhan ekonomi keluarga agar perempuan juga bekerja, bukan untuk kemuliaan harga diri wanita. Tidak mengherankan kehadiran kaum hawa hanya ditempatkan sebagai “pagar ayu” atau pemanis dalam urusan bisnis. Apalagi di ajang kontes kecantikan, sosok perempuan dieksploitasi untuk komoditas dan popularitas produk industri kapitalisme.
Maraknya pelecehan seksual selalu dipicu dari rangsangan luar berupa cara berpakaian perempuan yang mengumbar aurat dan media pornografi disinyalir memberikan andil besar tentang persepsi seksualitas sebagai kebutuhan yang mendesak dan bisa membahayakan jika tidak terpenuhi. Dorongan syahwat tersebut akhirnya memaksa untuk dipenuhi, namun keluar dari solusi yang benar seperti menikah. Inilah cerminan sekularisme yang tidak menempatkan norma agama dalam kehidupan umum. Tidak adanya penataan interaksi sosial membuat kaum pria dan wanita bebas campur baur, tanpa adanya sekat yang mengingatkan batasan halal dan haram.
Masyarakat bukan hanya kumpulan individu yang saling berinteraksi, melainkan adanya aturan kehidupan yang diterapkan secara umum. Tanpa adanya aturan, masyarakat tidak ubahnya kelompok hewan yang satu sama lain hanya mengikuti naluri untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan seksualitasnya. Manusia sejatinya bukanlah hewan karena itu harus mengenal norma agama dalam pergaulannya.
Manusia terlahir sebagai makhluk mulia dibekali akal dan naluri beragama untuk dapat “menghadirkan” Al-Khalik dalam kehidupan. Manusia harusnya mampu menemukan jalan menuju keimanan kepada Allah Swt. Keimanan yang dibangun dari kekuatan berpikir yang mendalam tentang dirinya sebagai makhluk yang hidup di dunia beserta segenap alam semesta yang tercipta.
Selain memiliki naluri berketuhanan (gharizah ad-diin), manusia juga memiliki naluri berketurunan (gharizatun na’u), yaitu kebutuhan akan seksualitas yang muncul karena adanya rangsangan dari luar, terutama pandangan terhadap lawan jenis. Manusia diciptakan Allah Swt. hidup berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan gender ini berkonsekuensi pada hukum-hukum syariat tertentu yang tidak bisa disamakan. Seperti hak pengasuhan anak pada wanita, sementara laki-laki berkewajiban mencari nafkahnya.
Syariat Islam Menjaga Syahwat
Secara fitrah perempuan memiliki sifat feminin, sementara laki-laki maskulin, di antara keduanya akan muncul syahwat untuk saling menyenangi. Laki-laki memandang perempuan akan muncul ketertarikan sebagai keadaan yang normal, namun yang harus diperhatikan pandangan tersebut segera ditundukan karena bisa membangkitkan syahwat. Allah Swt. berfirman, "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…." (QS. An-Nur ayat 30-31)
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab “Nidzom Al-Ijtimai”, memberikan penjelasan perihal menundukan pandangan sebagai perintah Allah Swt. berupa aktivitas memalingkan pandangan dari yang diharamkan dan membatasinya memandang pada yang dihalalkan saja, yaitu wajah dan kedua telapak tangan tanpa diiringi syahwat. Dengan kata lain laki-laki dan perempuan sebenarnya boleh berpandangan dalam interaksi sosialnya, namun tidak diiringi maksud untuk mencari kenikmatan dan kepuasan syahwat.
Untuk itulah perlunya peran negara agar aktivitas perempuan di ruang publik, sekalipun hukumnya boleh melakukan aktivitas umum seperti jual beli, pendidikan dan jasa kesehatan, namun perempuan tidak boleh bersolek (tabaruj) dan campur baur (ikhtilat). Negara juga harus menata ulang sarana fasilitas umum seperti pasar dan moda transportasi agar berstandar syariat Islam. Hanya negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah yang mampu menyediakan pelayanan publik yang aman dan nyaman dari tindakan kejahatan seksualitas terhadap perempuan dan laki-laki terjaga pandangannya sebagai wujud ketaatan kepada Allah Swt.
Wallahu’alam bish Shawwab.[]