Perihal Harta dalam Rumah Tangga

"Islam hadir untuk mencegah kezaliman termasuk di dalam berumah tangga. Jangan sampai suami menzalimi istri, istri menzalimi suami, orang tua menzalimi anak atau anak yang menzalimi orang tuanya."

Oleh. Novida Sari, S.Kom.

NarasiPost.Com-Islam adalah agama yang unggul dan mulia. Di dalamnya terdapat tuntunan yang terperinci, teliti, saksama sehingga memberikan rasa keadilan bagi manusia termasuk di dalam kehidupan rumah tangga.

Islam tidak hanya mendorong manusia untuk menikah. Lebih dari itu, Islam membangun motivasi untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang dimulai dengan bagaimana memilih pasangan, menjalankan peran sebagai suami, istri atau anak, bagaimana mendidik anak, termasuk mengatur keuangan. Karena tidaklah semua cara boleh dilakukan, begitu juga tidak semua harta boleh diambil.

Di dalam menjalani kehidupan, ada harta yang boleh dimiliki secara pribadi, ada yang boleh dimiliki oleh masyarakat umum seperti tambang, sungai, lautan dan ada juga harta yang hanya boleh dimiliki oleh negara.

Islam juga telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kepemilikan harta, ada harta yang dimiliki dengan cara bekerja, ada yang dengan mendapat pemberian, termasuk di dalam hubungan rumah tangga antara suami istri, orang tua dengan anak, akan ada harta yang beredar di antara mereka. Masing-masing peran memiliki hak tertentu yang tidak sama antara satu pihak dengan yang lain.

Keluarga yang tidak memiliki pemahaman bagaimana kepemilikan harta dan hak dari masing-masing anggota keluarga, dikhawatirkan akan terjadi kezaliman di antara mereka. Seperti ada orang yang berhak mendapat harta tetapi tidak diberikan atau sebaliknya harta yang tidak boleh dimilikinya justru diambil secara sepihak.

Oleh karena itu, Islam hadir untuk mencegah kezaliman termasuk di dalam berumah tangga. Jangan sampai suami menzalimi istri, istri menzalimi suami, orang tua menzalimi anak atau anak yang menzalimi orang tuanya.

Islam telah merinci keuangan dan harta di dalam keluarga secara detail yang memberikan rasa keadilan dan tanggung jawab, di antaranya:

Pertama, Allah Swt. telah membebankan kewajiban nafkah kepada para suami/ayah, sebagaimana yang disebutkan di dalam surat Al Baqarah [2] ayat ke 233,

وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ

Yang artinya : “Dan kewajiban atas ayah untuk menanggung nafkah dan pakaian mereka secara makruf.”

Jelas sekali, bahwa beban kewajiban nafkah itu terletak pada pundak ayah, bukan pada pihak ibu ataupun istri. Kemudian nafkah yang diberikan kepada istri maupun anak berupa makanan dan pakaian sampai pada level makruf ataupun layak.

Ulama mendefinisikan makruf itu sesuai dengan ‘urfi ataupun sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Jika masyarakat biasa makan 3 kali sehari semalam lengkap dengan lauk pauk, maka seperti itulah harusnya makanan yang diberikan kepada anak dan istri. Jika masyarakat makan pakai nasi, maka anak istrinya makan nasi bukan sejenis makanan lain seperti tiwul, papeda ataupun yang lain tergantung dari masyarakat tempat mereka tinggal dan bermukim. Jika lebih dari itu, maka hal demikian lebih disukai Allah Swt.

Begitu juga dengan pakaian, harus yang makruf sesuai dengan tuntunan syara’. Istri memakai pakaian jilbab, kerudung lengkap dengan mihnah yang menjadi pakaian di rumah. Kemudian jika masyarakat setempat biasa memakai pakaian berbahan katun, maka anak dan istri juga diberikan pakaian berbahan katun, jika biasa memakai berbahan wol maka anak istri diberikan yang berbahan wol, karena suatu daerah belum tentu sama daerah lain yang bisa saja dipengaruhi tempat dan musim.

Seandainya suami belum bisa mencapai level makruf dikarenakan keterbatasan, bukan karena berfoya-foya atas dirinya dan kesenangannya, bukan juga karena keengganannya dalam memberikan harta yang makruf atau layak, maka suami ataupun ayah itu tidak berdosa.

Kedua, kewajiban tempat tinggal. Allah Swt. telah menyebutkan di dalam surat At-Talaq [65] ayat ke 6

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ

Artinya : "Tempatkanlah mereka (istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka (istri) untuk menyempitkan (hati) mereka."

Mukhattab yang diseru pada ayat ini adalah suami. Allah Swt. telah menyebutkan bahwa suami tidak boleh membuat istri berada di dalam posisi yang adh-dharra ataupun kesulitan. Mungkin ada suami yang suka tinggal bersama orang padahal belum tentu istrinya mudah beradaptasi dengan keluarganya. Apalagi di masa sekarang, sudah tidak menjadi rahasia umum lagi bahwa kehidupan sekuler telah merusak kehidupan akibat pemisahan agama dari kehidupan sampai pada sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Sehingga tinggal dengan mertua bukanlah perkara yang mudah.

Istri juga bisa merasa sempit atau susah hatinya dikarenakan lingkungan, kondisi masyarakat, kebersihan ataupun sanitasi yang tidak sehat atau tidak sesuai dengan visi keluarga, sehingga suami harus memberikan tempat tinggal lain yang baik.

Di dalam Islam tidak ada ketentuan untuk harus membeli rumah sendiri, karena perintah. Kata وُّجْدِكُمْ pada ayat ini bisa diwujudkan dengan membeli, mengontrak, mendapat hibah dari keluarga atau kerabatnya atau bisa jadi dengan mendapatkan kesempatan untuk menempati rumah kosong untuk ditinggali.

Ketiga, suami harus memberikan makan dengan makruf. Sebagaimana yang disebutkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa, “Engkau memberi makan istrimu jika kamu makan. Dan engkau beri pakaian jika engkau berpakaian. Tetapi jangan engkau memukul wajahnya, jangan kamu menjelekkannya dan jangan kamu memboikotnya kecuali di dalam rumah.

Jika suami makan dan berpakaian maka istri juga harus demikian. Jangan sampai suami makan sementara istri tidak. Dari hadis ini juga jelas bahwa di dalam harta suami ada hak istri baik harta itu didapat dari bekerja, diberikan atau dihibahkan orang lain. Maka di situ ada hak istri dan anak yang mesti ditunaikan.

Tidak boleh suami menahan hartanya untuk menafkahi istrinya. Bahkan termasuk perkara maksiat jika suami hanya memberikan harta sekadarnya kepada istri, karena Rasul saw. telah mengingatkan melalui hadis ini bahwa harta suami itu seimbang atau setara dengan harta istri seperti halnya seimbangnya apa yang dimakan oleh suami demikian juga dengan yang dimakan oleh istri. Wallahu a’lam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Novida Sari, S.Kom Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Sudahkah Kita Istikamah dalam Kebenaran?
Next
Titipan, Bukan Kepunyaan Kita
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram