Samudra Impian

"Samudra impian melambaikan senyuman menawan.
Mengiba dan menanti untuk hancurkan ancaman berbalapan.
Ajudan perkasa siap menerjang barisan kebaikan.
Pecahkan buih dengan balutan janji bercakapan"


Oleh. Firda Umayah
(Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Alam semesta menjadi saksi akan kebisuan mimpi
Saat samudra berlari membawa angan yang terpatri
Orkestra kehidupan mengalun lambat namun pasti
Menambah deretan perjuangan yang penuh arti

Simfoni egoisme berperang melawan angan
Membujuk dan merayu setiap harmoni penuh ajakan
Kalaulah ada peluh darah sesegukan yang tersimpan
Bukan penghalang untuk memeluk semua dambaan

Ombak impian berkejar menyapa acuan
Bimbang menerjang harapan penuh hitungan
Akankah berlabuh pada hunian berlimpah jabatan
Ataukah menghimpun doa dengan sebuah ikatan

Nada kehidupan bersahutan membuai harapan
Musik sekuler alunkan gamelan penuh kepalsuan
Menjerat hati membungkam semua arah bayangan
Merobohkan bangunan iman dengan impian penuh jamuan

Samudra impian melambaikan senyuman menawan
Mengiba dan menanti untuk hancurkan ancaman berbalapan
Ajudan perkasa siap menerjang barisan kebaikan
Pecahkan buih dengan balutan janji bercakapan

Maestro licik memutarkan lagu usang tak berkesudahan
Menghipnotis semua kalangan dengan aneka hidangan
Berharap jarahan tetap di tangan tanpa hambatan
Tertawa pongah hilangkan takut akan keruntuhan

Embusan angin mengabarkan sebuah janji nan suci
Sadarkan diri akan arus keji yang menghampiri
Bersama para pemimpi mewujudkan harapan hakiki
Menggenggam asa meski sandungan terus menghampiri

Abrasi mimpi memecahkan karang yang berselimut dikotomi
Menghancurkan arteri aspirasi penuh dengki tak berempati
Genderang suci bergeliat meruntuhkan hegemoni hierarki
Mengulurkan ideologi penuh janji dalam kitab suci

Samudra impian mengempaskan air mata yang terpendam
Berlari memeluk kenangan penuh azam nan menghunjam
Bangkit menyebarkan kalam Ilahi yang lama bersemayam
Mengidam janah menyelami muara temaram nan tenteram

Samudra impian kembali pada fitrah mulia yang ternama
Menyebarkan rahmat bukti kasih sayang Dia Yang Maha Kuasa
Jernihnya air bebaskan diri yang hina nan papa
Sucikan asa yang sempat mati teperdaya dunia[]


Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Buah Pendidikan Sekuler, Perilaku Anak Makin Sadis

"Kehidupan sekuler memberikan kebebasan berperilaku pada setiap individu tanpa adanya standar baku yang jelas. Sehingga, kebebasan tersebut menjadikan mereka tidak mau terikat dengan aturan agama dan jauh dari nilai-nilai agama. Akibatnya, krisis akhlak pada generasi makin menjadi-jadi."


Oleh. Sofia Hamdani
(Kontributor NarasiPost.Com dan Aktivis Dakwah)

NarasiPost.Com-Kasus bullying makin menjadi-jadi. Jika dahulu kasus bullying terjadi di tingkat SMA dan SMP, hari ini, kasus bullying juga marak terjadi di tingkat SD. Pelaku dan korban bullying tidak lagi memandang usia, bahkan makin sadis.

Seperti dikabarkan media beberapa waktu lalu, kasus perundungan kembali terjadi di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kecamatan Sukaraja, Kabupatenbupaten Sukabumi, Jawa Barat. Seorang siswa kelas 2, MHD (9) dikabarkan meninggal dunia akibat dikeroyok kakak kelasnya. Korban mengalami dua kali pengeroyokan, yaitu pada Senin (15/5) dan Selasa (16/5). Pengeroyokan terakhir menyebabkan korban kejang-kejang hingga dilarikan ke rumah sakit. Berdasarkan keterangan dokter, korban mengalami luka pada bagian organ dalamnya. Hingga setelah kritis selama 3 hari, korban dinyatakan meninggal dunia pada pukul 08.00 WIB, Sabtu (20/5). (Kompas.com, 21/5/2023)

Bullying bukan lagi hal tabu dalam dunia pendidikan. Bahkan, seiring banyaknya kasus-kasus serupa, justru menjadikan perilaku ini makin liar. Perilaku yang kerap memakan banyak korban ini menandakan bahwa negara masih belum berhasil dalam menyelesaikan problematik bullying dalam dunia pendidikan. Meskipun narasi anti- bullying, pendidikan karakter, dan revolusi mental terus digalakkan, nyatanya ini tidak cukup untuk memberantas kasus perundungan hingga tuntas.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 999 anak menjadi korban perundungan di sekolah sejak tahun 2011-2019. Sedangkan 766 anak tercatat sebagai pelaku perundungan di sekolah. Jumlah kasus bullying sempat menurun pada tahun 2021. Setidaknya ada 53 kasus perundungan yang terjadi di berbagai jenjang di satuan pendidikan. Namun, jumlah ini menurun disebabkan sebagian besar sekolah ditutup karena pandemi. Sedangkan pada tahun 2022, kasus bullying kembali mengalami peningkatan, yaitu sekitar 226 kasus atau meningkat empat kali lipat dibandingkan 2021. (Republika.com, 22/5/2023)

Adapun berdasarkan catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sepanjang dua bulan pertama pada 2023 sudah tercatat ada enam kasus tindak perundungan atau kekerasan fisik dan 14 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan. Dari catatan FSGI, kasus perundungan pada Januari-Februari 2023 terjadi di jenjang pendidikan SD ada satu kasus, Madrasah Tsanawiyah (MTs) tercatat satu kasus, pondok pesantren ada satu kasus, dan terbanyak terjadi di jenjang SMK sebanyak tiga kasus. (Republika.com, 06/3/2023)

Artinya, kasus bullying masih cukup besar di negeri ini dan berpotensi terus terjadi. Hal ini diperkuat oleh survei Mendikbudristek pada tahun 2022. Survei yang melibatkan 260 ribu sekolah di Indonesia, di level SD/madrasah hingga SMA/SMK terhadap 6,5 juta peserta didik dan 3,1 juta guru menyatakan bahwa terdapat 24,4% potensi perundungan di lingkungan sekolah. (Kumparan.com, 12/4/22)

Sebenarnya ada banyak faktor yang menyebabkan maraknya kasus bullying. Mulai dari pola pendidikan di lingkungan keluarga, kehidupan di masyarakat, hingga kebijakan negara. Sebagian orang tua tidak menjadikan agama sebagai landasan dalam mendidik anaknya. Sehingga tak jarang orang tua pun ikut tergerus dalam arus sekularisme.

Minimnya pemahaman orang tua terhadap agama mengantarkan pada ketidakmampuan dalam membentuk karakter anak beriman dan berakhlak mulia. Hal ini diperparah dengan lingkungan sosial yang hedonis nan tidak sehat dan kebebasan dalam mengakses tontonan tanpa adanya pengawasan. Selain itu, kebijakan negara dalam mengatur kurikulum pendidikan juga sangat berpengaruh.

Kurikulum pendidikan hari ini tegak di atas dasar nilai-nilai sekularisme. Dalam penerapannya hanya fokus mengedepankan pencapaian akademik. Sedangkan peran agama dalam membentuk karakter mulia justru tidak diutamakan. Walhasil, generasi hari ini sangat minim akhlak dan moral yang baik. Sebuah konsekuensi yang harus ditanggung ketika negara masih mengadopsi aturan buatan manusia. Selama negeri ini masih menerapkan aturan yang berlandaskan pada sistem sekularisme, mustahil kasus-kasus perundungan dapat terselesaikan.

Sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Negara memperbolehkan keberadaan agama hanya pada urusan privat saja. Sedangkan pada ranah publik, peran agama sangat minim dan dibatasi.

Kehidupan sekuler memberikan kebebasan berperilaku pada setiap individu tanpa adanya standar baku yang jelas. Sehingga, kebebasan tersebut menjadikan mereka tidak mau terikat dengan aturan agama dan jauh dari nilai-nilai agama. Akibatnya, krisis akhlak pada generasi makin menjadi-jadi. Inilah yang membuat mereka makin sadis.

Kembali pada Aturan Islam

Adalah sebuah keniscayaan ketika Islam dijadikan sebagai way of life dan sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Maka, besar kemungkinan kasus bullying tidak akan kita jumpai. Sebab, Islam bukan hanya agama yang mengatur kehidupan privat saja, melainkan juga mengatur seluruh aspek kehidupan.

Islam menjadikan keimanan sebagai landasan dalam setiap perbuatan. Disertai keyakinan bahwa setiap perbuatan di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Islam juga menuangkan aturannya dalam bentuk perintah dan larangan yang akan berbuah pahala bagi yang menaati, dan berbuah dosa bagi yang melanggar. Sehingga, hal ini akan mampu menjadi benteng dari perilaku jahat/sadis.

Dalam Islam, bullying merupakan perbuatan tercela. Sebab, termasuk merendahkan dan menzalimi orang lain. Dengan dorongan keimanan dan ketaatan terhadap aturan Allah Swt. sebagai Al-Mudabbir, seluruh kaum muslim akan menjauhinya.

Hal ini telah jelas dalam QS. Al-Hujurat ayat 11, Allah Swt. melarang tindakan mengolok-olok,
"Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

Sebaliknya Allah Swt. memerintahkan kita untuk saling mengasihi dan menjaga persatuan, sebagaimana dalam QS. Ali Imran ayat 103, “Berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan jangan bercerai-berai!”

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, mulai dari mengganti paradigma pendidikan yang berlandaskan sekularisme dengan menerapkan sistem pendidikan Islam, yang tidak hanya menempa siswa dari sisi pencapaian akademik saja, melainkan juga dari sisi kepribadian, termasuk membentuk akhlak dan moralitas yang baik. Hal ini telah terbukti tatkala Islam diterapkan di masa lalu. Sistem pendidikan islam mampu mencetak generasi-generasi yang unggul di berbagai bidang. Selain itu, harus ada upaya dalam meningkatkan kemampuan mendidik pada keluarga, menata media agar konten-konten liar yang merusak tidak merasuki pemikiran anak. Sehingga, dapat berkontribusi dalam peningkatan belajar dan yang tidak kalah penting membangun suasana kondusif di tengah masyarakat.

Kasus bullying tidak akan bisa selesai hanya dengan seruan revolusi mental, pendidikan karakter atau kampanye anti- bullying. Sebab akar permasalahannya ada pada sistem kehidupan sekularisme yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya solusi mendasar dan menyeluruh untuk menyelesaikan secara tuntas permasalahan bullying dan darurat pendidikan. Dan kembali pada syariat Islam adalah solusi tuntas bagi seluruh problematik umat, termasuk bullying.

Wallahu'alam bisshawwab[]


Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Sudah Siap?

"Sadarlah wahai diri!
Kamu hanya sedang menanti
Jangan terlalu mengejar duniawi
Sampai melupakanmu pada Ilahi"


Oleh. Rani Widiya Astuti
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Tidak ada yang abadi
Semua akan kembali
Pada Ilahi Robbi
Sudah adakah bekal kita?
Untuk menghadap Sang Pencipta
Kenapa masih berleha-leha dengan dosa?
Sedang ajal datang tiba-tiba
Mungkin sekarang masih santai
Namun apabila saatnya tiba
Apakah masih bisa lalai?

Silakan saja mengejar dunia
Tapi ingat, ia hanya sementara
Jangan terlena oleh kenikmatannya
Sekarang mungkin masih sibuk mengejar kesenangan dunia
Besenda gurau bersama orang tercinta
Kadang kala sampai lupa waktu
Tetapi jika kematian telah tiba di depan mata
Apakah kita akan selamat dari azab?
Sedang banyak waktu terbuang sia-sia
Setiap detiknya hanya diisi dengan dosa

Sadarlah wahai diri!
Kamu hanya sedang menanti
Jangan terlalu mengejar duniawi
Sampai melupakanmu pada Ilahi
Alangkah lalainya diri
Sering lupa mengingat mati
Tak ada bekal untuk hari nanti
Tapi diri masih disibukkan duniawi
Apa yang ingin kau cari wahai diri?
Kematian semakin dekat
Namun tak kunjung bertobat

Kesempatan hidup semakin berkurang
Lalu kenapa engkau semakin lalai, wahai diri!
Tak sadar kah engkau menyakiti diri sendiri
Terlalu tinggi anganmu
Terlalu sedikit sujudmu
Ingin mendapat keberkahan, sedang ibadah berantakan
Apakah pantas?

Diri ingin masuk surga
Namun tindakan seperti ingin masuk neraka
Terus-terusan melakukan dosa
Ibadah jika ada waktu saja
Seakan bahagia yang hakiki terletak pada duniawi
Terkadang terlalu tinggi ilusi
Inginnya masuk surga firdaus
Tetapi salatnya ditunda terus
Baca Al-Qur'an kalau sempat
Zikirnya kalau ingat
Sekali salat secepat kilat
Namun ketika punya hajat minta dikabulkan dengan cepat
Coba dipikirkan dengan akal sehat
Apakah yang demikian itu pantas?

Segeralah bertobat sebelum terlambat
Jangan sia-siakan waktu sesaat dengan maksiat
Pantaskan diri untuk mendapatkan mati yang baik
Jangan hanya mendapatkan jodoh yang baik

Hamasah
Serdang Bedagai, 31 Mei 2023[]


Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Jangan Pernah Bosan

"Judul ini mengingatkan saya pribadi bahwa sebagai orang tua jangan pernah bosan untuk selalu mendidik dan mengingatkan anak pada hal-hal yang baik dan positif sesuai ajaran agama."


Oleh. Sherly Agustina, M.Ag.
(Kontributor NarasiPost.Com dan Penulis)

NarasiPost.Com-Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an, "Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqan: 74)

Dalam mendidik anak pasti banyak lika-likunya, apalagi di zaman serba bebas dan permisif seperti sekarang di mana teknologi informasi semakin cepat berkembang dan mudah diakses oleh siapa pun. Pendidikan agama menjadi fondasi anak dalam mengarungi kehidupan dan menghadapi berbagai tantangan zaman. Sayangnya, para orang tua kurang optimal dalam membekali agama bagi putra-putrinya di tengah derasnya arus informasi dan liberalisasi.

Judul ini mengingatkan saya pribadi bahwa sebagai orang tua jangan pernah bosan untuk selalu mendidik dan mengingatkan anak pada hal-hal yang baik dan positif sesuai ajaran agama. Walau terkadang ada rasa bosan dan kesal bahwa kita pernah mengingatkan anak untuk rajin belajar membaca Al-Qur'an, nyatanya anak sering salah dan lupa. Namun, begitulah manusia diciptakan memiliki kelebihan dan kelemahan.

Maka, sebagai orang tua jangan pernah bosan untuk menanamkan habits yang baik terus-menerus. Agar habits tersebut melekat erat di benak dan memori anak-anak kita bahwa dari kecil kita sering mengajarkan habits yang baik. Misalnya, bangun pagi, salat lima waktu, membaca dan menghafal Al-Qur'an, membantu orang tua di rumah, main seperlunya, semua ada waktunya, rajin belajar, jangan berbohong, dan lainnya.

Walau di masa kecil anak sering lupa, semoga setelah dewasa mereka ingat petuah dan habits baik yang selalu diajarkan oleh orang tua mereka. Jika kita merasa bosan, akhirnya berhenti mendidik mereka karena kesal maka kita telah kalah oleh godaan setan dan menghadapi zaman yang serba hedon, permisif, dan liberal. Sama artinya, kita merelakan anak kita terjerumus dan terbawa arus kebebasan yang merusak masa depan mereka.

Sementara di sisi lain kita ingin anak menjadi investasi akhirat, mendamba mereka menjadi anak saleh estafet perjuangan Rasul dan para ulama. Kita juga ingin mereka menjadi pemimpin bagi orang-orang bertakwa, serta mempersiapkan mereka menjadi penakluk Roma yang dinanti Allah dan Rasul-Nya.

Oleh karenanya, tidak mudah mendidik mereka di zaman seperti saat ini. Kesulitan ini menjadi tantangan dan cobaan, jangan pernah kita kalah karena kita punya Allah tempat berserah. Teringat sabda Rasulullah saw., "Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi No. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadis ini hasan).

Ya, berpegang teguh pada ajaran agama di zaman sekarang ibarat memegang bara api. Begitu juga mendidik anak agar sesuai ajaran agama di zaman serba bebas dan permisif sangat berat. Di mana konten porno bebas berkeliaran di dunia maya dan mudah diakses oleh anak kecil. Di luar banyak pemuda yang tawuran dan melakukan kekerasan, mudah dilihat oleh anak-anak. Beredar berita bocah SD meninggal karena tindakan kekerasan teman-temannya.

Semua hal yang tidak baik banyak dilihat dan didengar oleh anak-anak, jika tidak ada filter dari orang tuanya akan masuk ke benak anak dan penasaran ingin mengikuti yang tidak baik. Anak kita ibarat kertas putih yang bersih, maka jangan biarkan ada noda yang mengotori kertas putih itu. Anak amanah dari Allah yang harus benar-benar kita jaga, hingga saatnya anak kita kembali diambil oleh pemiliknya dalam kondisi yang sebaik-baiknya.

Tugas kita sebagai orang tua tentu tidak mudah, perjuangan dan pengorbanan yang kita lakukan insyaallah akan membuahkan hasil yang baik jika selama proses pendidikannya tidak keluar dari syariat. Maka, tetaplah berpegang teguh pada syariat, walau berat. Hingga, akan indah pada waktunya menuai semua yang kita tanam di dunia fana ini. Semoga Allah izinkan, keluarga kita menjadi keluarga pejuang seperti Rasul dan para sahabat. Semoga Allah izinkan pula, keluarga kita semua masuk ke surga-Nya dan bisa berkumpul bersama menikmati kebahagiaan yang hakiki. Aamiin.

Allahualam Bishawab.[]


Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Riak Kecil

"Mas Nafis meraih tangan Shafa, "Terima kasih sudah mau menerima Mas menjadi suami kamu. Kita pasti bisa berjalan bahkan berlari bersama-sama."


Oleh. Ghumaisha Gaza
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-"Mas Nafis demam, Fa! Umi sama Abi terpaksa masuk ke kamar karena khawatir, tidak ada jawaban setelah beberapa kali dipanggil dan diketuk. Mas Nafis tidak terlihat salat berjemaah Subuh ke masjid. Bahkan sejak kemarin sore Umi baru sadar Mas Nafis tidak tampak keluar kamar. Saat kita lihat, Mas Nafis ternyata sedang berbaring. Wajahnya pucat, badannya panas sekali, sempat mengigau memanggil nama kamu, bahkan sempat terdengar ingin dibawakan minum. Umi juga sudah bawakan makan, tapi entah karena canggung atau tidak nafsu makan, hanya bisa makan beberapa suap. Bilangnya sudah cukup, tidak apa-apa dan perlu istirahat saja, tapi Umi sangat khawatir melihatnya, Fa."

Shafa merasa langkahnya begitu berat padahal ia ingin segera menuju kamarnya yang telah ia tinggalkan selama tiga malam. Sesekali tangan kanannya tampak menghapus air mata yang tak mampu dibendungnya lagi. Sementara tangan kirinya memegang sebuah jam tangan berwarna cokelat yang membuat hatinya merasa semakin bersalah.

"Maafkan aku Mas, maafkan!" bisiknya lirih. Sementara nasihat uminya pun terus terngiang-ngiang dalam benaknya.

"Rasulullah bahkan pernah bersabda, Fa! Seandainya aku boleh menyuruh seorang manusia sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang perempuan sujud kepada suaminya."

"Apa yang membuat kamu kesal dan tega meninggalkannya? Kalaulah Mas Nafis banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan duduk di hadapan kitab-kitabnya, maka pahamilah, ini jalan hidup yang Mas Nafis pilih. Allah telah memberikan karunia pemahaman agama kepada Mas Nafis, dan pemahamannya tersebut menjadi amanah untuk terus dihidupkan di tengah-tengah umat. Belajar dan mengajar menjadi napas dalam kehidupannya. Bahkan belajar atau menuntut ilmu adalah kewajiban kita semua. Termasuk kamu sebagai istrinya, tetap dampingi Mas Nafis, kuatkan Mas Nafis, jaga semangat belajarnya agar selalu menyala."

Shafa kembali menghapus air matanya dan beberapa kali menarik napas panjang sebelum memasuki kamarnya. Ia merapikan hijabnya sejenak. Deretan kitab yang hampir memenuhi sebelah ruangan kamarnya seakan menatapnya tajam. Seseorang yang biasa ia lihat di meja belajarnya tampak tidak ada. Shafa meneruskan langkahnya mendekati dipan, seseorang yang sangat dirindukannya tampak duduk bersimpuh di atas lantai. Shafa merasa badannya lemas, sejurus kemudian air matanya kembali mengalir deras.


Siang itu, hari Kamis terakhir di bulan Syawal. Saat memasuki kamarnya Shafa melihat Mas Nafis ternyata sedang tertidur di atas sofa dengan ponsel yang masih menyala dan sebuah kitab di atas dadanya. Shafa berjalan pelan mendekati Mas Nafis, mematikan ponsel dan meletakkan kitab di atas meja belajar. Shafa memandangi wajah suami yang baru menikahinya pertengahan Ramadan itu lekat-lekat lalu sedikit tersenyum.

Tak lama Shafa tampak mengernyitkan keningnya dan berkata dalam hati, "Tumben tidak langsung bangun, biasanya meskipun matanya terpejam, tapi saat suara seorang syekh di ponselnya berhenti, Mas Nafis akan segera terbangun."

Shafa kemudian menepuk lengan Mas Nafis pelan, "Mas!" Shafa menunggu respons Mas Nafis sejenak. "Mas!" panggilnya lagi.

Akhirnya Mas Nafis mulai terbangun. Ia tampak menggeliat lalu menegakkan tubuhnya. "Ah!" erangnya sambil mengurut keningnya.

Shafa tampak khawatir, "Kenapa Mas, sakit?"

"Enggak!" jawab Mas Nafis sambil menggeleng pelan. "Mas baca kitab, tapi ada yang belum paham, jadi pusing!"

"Gimana enggak pusing, baca kitab enggak ada jedanya!"

Mas Nafis tersenyum kemudian menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Kenapa?" tanyanya seakan memahami bahwa kedatangan Shafa memang ingin bercerita.

Shafa mendekati Mas Nafis kemudian bersandar di sisinya. "Aku datang bulan, Mas!" jawab Shafa lirih. "Padahal aku sudah senang karena telat dua hari, ternyata…!"

Mas Nafis mengangguk pelan, "Iya sabar, berarti memang belum waktunya hamil!"

"Iya sih, usia pernikahan kita juga baru satu bulanan!" Shafa kemudian menegakkan tubuhnya dan duduk menghadap Mas Nafis.

"Mas ikut Quranic Camp, yuk! Seru tahu acaranya, aku setiap tahun suka ikut jadi pembimbing para santri di sana!"

Mas Nafis hanya tersenyum. "Tapi tahun ini banyak asatidz lain 'kan yang mendampingi?"

"Pastinya!" Shafa tampak berpikir sejenak. "Tapi kita ikut aja, aku punya tenda kecil, cukup untuk berdua!"

"Tenda ikhwan akhwat biasanya terpisah cukup jauh, bukan membimbing kalau kita di sana malah berduaan, iya 'kan?"

Shafa menghela napas, "Terlepas kita satu tenda atau tidak, tapi kita ikut ya?"

Mas Nafis menegakkan tubuhnya lalu mengusap kepala Shafa, "Menarik! Tapi nanti sore Mas ada agenda sama Mas Musthafa mungkin sampai malam, kita diminta Abi mengunjungi Kiai Utsman, sepertinya dalam rangka kerjasama dengan pesantren. Terus, besok Jumat 'kan jadwal Mas isi khutbah di masjid. Meski mayoritas santri ikut kemah tapi santri atau asatidz yang tidak ikut dan masyarakat sekitar pesantren akan tetap salat Jumat di masjid. Jadi Mas harus tetap di sini."

Mas Nafis tampak menghela napas sejenak saat melihat Shafa hanya terdiam. "Nah, hari Sabtu memang sudah diagendakan bagi asatidz yang tidak ikut Quranic Camp, ada program khusus yaitu Dauroh Bahasa Arab, online, pengisinya seorang Pakar Bahasa Arab dan Balaghah dari Mesir, dan Mas diminta jadi penerjemahnya."

"Aku tahu Mas!" jawab Shafa tampak kecewa. "Apa tak bisa digantikan?"

"Digantikan siapa?" tanya Mas Nafis sambil tersenyum. "Abi? Mas Musthafa? Mereka ataupun asatidz yang lain sama-sama memiliki amanah yang harus dikerjakan di pesantren ini. Kita ikut acaranya malam Ahad aja, bagaimana? Selepas acara dauroh, kita berangkat siang, mau?"

Shafa yang terlanjur kecewa hanya menggeleng. "Aku izin pergi dari sore ini. Mas nanti menyusul aja!"

Mas Nafis menggeleng, "Enggak, Mas enggak izinkan!" Ia kemudian mengusap kepala Shafa dengan lembut. "Temani Mas aja ya? Di sini. Sabtu siang atau sore kita ke sana!"

"Temani Mas?" tanya Shafa dengan nada yang meninggi. Belaian lembut suaminya tak cukup untuk meluluhkan hatinya. Sementara mata beningnya kini mulai berkaca-kaca. "Saat kita mulai menjalani kehidupan di Surakarta, Mas banyak menghabiskan waktu untuk pesantren. Mas mulai meninggalkan kamar di sepertiga malam terakhir untuk salat tahajud berjemaah bersama para santri. Mas akan kembali saat matahari sudah terbit hanya untuk sarapan dan bersiap-siap mengajar hingga Zuhur. Selepas Zuhur Mas akan mengajar lagi, kalaupun tidak ada jadwal mengajar Mas begitu mesra dengan kitab-kitab Mas! Tak ada hari yang Mas lalui tanpa menemui kitab-kitab Mas, membacanya sampai sering mengabaikan aku! Sore hari puncak lelahnya Mas setelah beraktivitas seharian, aku ajak keluar sekadar jalan-jalan pun Mas sering menolak. Tapi kalau ada Mas Musthafa, Mas bisa asyik berdiskusi bahkan hingga Magrib. Dan malam hari? Mas juga masih mengajarkan kitab-kitab di pesantren atau menghabiskan waktu di meja belajar Mas! Siapa yang harusnya minta ditemani?"

Shafa menghapus air matanya sebentar kemudian kembali meluapkan kekesalannya, "Aku ini istrimu Mas, aku juga ingin waktu bersama Mas! Apa sebenarnya alasan Mas menikahi aku? Apa karena Mas tak kuasa menolak tawaran Abi untuk menikahi aku? Juga karena aku adik kandung Mas Musthafa sahabat dekat Mas sejak lama? Mungkin Mas memang tidak begitu mencintai aku! Hingga Mas begitu saja bisa melalui hidup Mas, kembali belajar dan mengajar, melanjutkan persahabatan Mas dengan Mas Musthafa yang semakin erat sebagai saudara ipar! Kalau bukan karena Abi yang membangunkan perpustakaan ini di kamar aku, aku ingin mengeluarkan semua kitab-kitab Mas. Aku bahkan dibuat cemburu oleh kitab-kitab Mas! Mas lebih mencintai mereka!"

Mas Nafis tampak menggeleng pelan. Ia ingin berbicara tapi nafasnya tampak berat. Ia kemudian hanya menggenggam erat tangan Shafa.

"Lepaskan Mas!" Seru Shafa merasakan genggaman tangan Mas Nafis terlalu kuat. "Aku harus rela menghentikan upayaku untuk terus kuliah karena menikah dengan Mas. Aku harus menikah muda di usia 21 tahun dengan seorang laki-laki yang 5 tahun lebih tua dariku. Menikah dengan seorang ustaz muda lulusan Al-Azhar Mesir, yang tampan, cerdas, menguasai berbagai tsaqofah Islam. Ustaz yang begitu disukai para santrinya. Ustaz yang begitu disayangi oleh mertuanya. Tapi Mas membiarkan aku sendiri tertatih menyamai langkahmu, Mas! Aku tak terbiasa dengan kehidupan Mas yang seakan berlari sementara aku hanya berjalan lambat!"

Mas Nafis tiba-tiba melepaskan genggamannya lalu mengurut keningnya yang kian berdenyut. Ia tampak syok dengan kemarahan Shafa sampai tak mampu berbicara apa pun. Akhirnya Shafa beranjak dan meneruskan tangisnya di atas kasur. Tak lama Mas Nafis pun turut berbaring di samping Shafa. Sambil menatap langit-langit Mas Nafis akhirnya mulai berbicara. Shafa yang memunggunginya hanya menangis penuh sesal. Semakin lama berbicara, Mas Nafis merasa matanya semakin berat, tak lama ia pun terlelap, ada setitik air yang jatuh bersamaan terpejamnya mata.

Mas Nafis akhirnya terbangun saat mendengar ponselnya berdering. Shafa yang tidak tidur sejak awal tetap berbaring di tempatnya. Azan Asar sudah berkumandang sejak dua puluh menit yang lalu.

"Afwan Gus, aku ketiduran! Tunggu ya, salat Asar dulu, nanti aku ke sana!" jawab Mas Nafis kemudian meletakan ponselnya kembali.

Shafa berdesah di tempatnya. Setelah apa yang terjadi Mas Nafis akan tetap pergi? Batinnya kembali dipenuhi kekesalan. Mas Nafis bersiap-siap secepat yang ia bisa. Mandi kemudian salat dan kini sudah duduk di dekatnya.

"Shafa!" panggil Mas Nafis pelan tapi Shafa tak merespons. "Jangan mendiamkan Mas kayak gitu, Fa! Mas boleh pergi ya?"

Mas Nafis terdiam sejenak. "Baiklah, Mas izinkan kamu ikut Quranic Camp sore ini, hati-hati di sana. Nanti Mas menyusul Sabtu sore!" Shafa hanya terdiam mendengar ucapan Mas Nafis. "Kemungkinan Mas benar-benar akan pulang malam. Mas pergi ya? Fa! Shafa?!"

"Iya pergi aja!" jawab Shafa singkat. Mas Nafis hanya menghela napas, kemudian bangkit dan meraih tasnya. Saat pintu kamar benar-benar tertutup barulah Shafa bangkit dari tempatnya. Hatinya kembali diliputi kekesalan. Kenapa pergi Mas? Kenapa?


Shafa melangkah dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit yang sudah beberapa kali ini ia lewati. Masih begitu sepi, ia melirik jam tangan di lengan kirinya. Jam tangan berwarna cokelat dengan angka arab dan terdapat ukiran huruf nun di tengahnya itu memberi tahu kalau saat ini masih pukul enam kurang. Shafa tersenyum, jam tangan itu meski bukan jam tangan baru tapi memiliki arti yang spesial baginya. Jam tangan itu Mas Nafis hadiahkan satu hari setelah akad nikah karena Shafa menyukai desainnya. Mas Nafis bilang jam ini selalu Mas Nafis pakai ketika kuliah agar ia selalu ingat waktu, selalu disiplin belajar. Tapi karena Shafa menyukainya, Mas Nafis mempersilakan Shafa memakainya. Agar di saat Shafa melihat huruf nun yang terukir indah itu Shafa akan selalu mengingat Mas Nafis. Sekali lagi Shafa tersenyum, betapa suaminya itu ternyata bisa romantis.

Hari ini hari keempat Mas Nafis dirawat inap karena tifus. Shafa masih mengingat betul bagaimana paniknya ia melihat Mas Nafis muntah-muntah di kamar. Ia merasa bersalah sekali memutuskan pergi ke Quranic Camp, menginap di sana tanpa banyak berkomunikasi dengan Mas Nafis. Saat Mas Nafis tak kunjung menyusul pada malam terakhir acara dan ponselnya tidak aktif Shafa malah semakin kesal. Hingga akhirnya umi meminta ia pulang lebih cepat. Meski saat itu Mas Nafis tidak banyak mengeluh tapi terlihat dari kondisinya Mas Nafis sedang menahan sakit. Seharian setelah muntah-muntah Mas Nafis kesulitan tidur nyenyak. Badannya panas, napasnya tak beraturan, dan kerap mengingau. Sesekali terlihat menitikkan air mata meski matanya sedang terpejam.

"Sakit kepalanya, Mas?" tanya Shafa saat itu penuh kekhawatiran, dan Mas Nafis pun hanya mengangguk pelan. Mas Musthafa turut khawatir melihat kondisi Mas Nafis. Menurut Mas Musthafa, Mas Nafis termasuk orang yang jarang sakit, cukup disiplin menjaga kesehatan, makan, dan minum. Kalau flu ataupun demam biasanya tidak lama, cukup istirahat sebentar dari segala aktivitasnya. Saat Mas Nafis diajak ke rumah sakit pun ia hanya mengangguk, tanda setuju. Shafa semakin merasa bersalah saat itu.

Ruangan Mas Nafis ada di lantai tiga. Saat Shafa membuka pintu Mas Nafis tampak terkejut. Mas Nafis sedang duduk sendiri di ruangannya. Wajahnya tampak jauh lebih segar. Tangan kirinya yang tersambung ke selang infus terlihat menyangga sebuah kitab.

"Kamu datang pagi banget, Fa!" ucap Mas Nafis sambil menutup kitab yang dipegangnya. Lalu segera meletakkannya di atas meja.

Shafa malah menahan senyum melihat kagetnya Mas Nafis. "Sengaja!" Shafa kemudian berseloroh. "Pantas saja, semalam Mas meminta aku untuk tidur di rumah! Dan tidak masalah hanya ditemani Mas Musthafa. Ternyata ada 'si cantik' yang menyelinap ke kamar ini."

"Semacam kitab nafsiyah, tidak begitu berat untuk Mas membacanya. Mas bosan kalau hanya melamun. Handphone Mas juga masih di rumah 'kan? Sementara soal kamu, Mas minta pulang agar enggak kecapekan. Kamu perlu istirahat yang cukup di rumah."

Shafa hanya mengangguk lalu melihat-lihat sekitar. "Mas Musthafa sudah pulang?"

Mas Nafis mengangguk. "Iya. Mas merasa sudah jauh lebih baik, jadi Mas persilakan Mas Musthafa pulang sejak bakda Subuh."

Shafa lalu duduk di hadapan Mas Nafis di atas ranjang pasien. Shafa menatap wajah Mas Nafis sesaat. "Aku sengaja datang pagi, agar aku punya waktu bicara sama Mas. Sebelum siang atau sore bergantian orang datang menjenguk lagi."

Kini Shafa sedikit menunduk. "Setelah kejadian Kamis siang itu kita belum sempat berbicara seperti ini lagi." Shafa mengangkat lengan kirinya sejenak. "Tahu enggak, Mas? Saat sedang kemah, jam tangan ini selalu mengingatkan aku pada Mas di rumah. Aku sempat ingin pulang, tapi aku malu, aku tak berani pulang. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu hingga hari Sabtu, hingga aku sempat kesal lagi menunggu Mas yang tak kunjung datang."

Shafa kini tampak memandangi kakinya yang ia ayunkan pelan. "Intinya, aku hanya…" kata-katanya terputus sementara matanya tiba-tiba berair. "Aku hanya mau minta maaf, Mas!"

Mas Nafis hanya mengangguk pelan, kemudian mengusap punggung Shafa yang mungil. "Iya, maafkan Mas juga!"

"Aku semakin memahami hikmah mengapa talak itu ada di tangan suami, juga mengapa seorang wanita haid haram ditalak meskipun talaknya sah. Aku waktu itu bersikap menjengkelkan ya?" tanya Shafa retoris. "Syukurlah Mas bisa menahan marah. Mas bahkan telah meminta maaf dan memaafkan aku saat itu juga. Betul kata Mas, riak kecil itu ada, tapi kita harus berusaha untuk selalu bersama. Benturan itu pasti ada, perbedaan 'kan tetap menghiasi, tapi kita harus selalu menjaga bahtera ini agar jangan karam oleh badai yang datang menghantam."

Shafa menatap Mas Nafis yang hanya terdiam. "Meski usia pernikahan kita baru hitungan minggu, tapi Mas bisa menjadi teman cerita dan diskusi yang baik. Mas adalah sahabat yang selalu ada untuk mendengarkan ceritaku, bahkan menjadi guru yang sabar menghadapiku." Shafa menghela napas sejenak. "Terima kasih sudah memilih aku untuk menjadi istrimu."

Suasana mendadak hening sesaat. Mas Nafis hanya mengusap punggung Shafa. Tak lama Shafa pun kembali berdiri dan segera menghapus air matanya.

"Lanjutkan lagi Mas bacanya sambil menunggu sarapan datang!"

Mas Nafis meraih tangan Shafa, "Terima kasih sudah mau menerima Mas menjadi suami kamu. Kita pasti bisa berjalan bahkan berlari bersama-sama."

Shafa tersenyum sambil memandangi wajah di hadapannya yang sedikit pun tak pernah mengeluh soal kekurangannya. Shafa semakin menyadari bahwa ia sangat beruntung. Sebagaimana artinya namanya, Shafa benar-benar telah dikaruniai an-Nafis -sesuatu yang berharga-. Ia tak boleh menyia-nyiakannya lagi.

Selesai. []


Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com