Takut Menikah, Salahkah?

"Pun tatkala rumput tetangga terlihat lebih hijau, ia memiliki pasangan yang baik, ekonomi yang baik atau keluarga yang baik, pasti di dalamnya memiliki ujian yang tak dapat kita lihat."


Oleh. Nurjanah Triani
(Kontributir NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Akhir-akhir ini pemberitaan tentang pernikahan membuncah ke permukaan. Ada kabar undangan, ada kabar perceraian. Ada kabar kehamilan, ada kabar perselingkuhan. Fenomena antrean pengajuan perceraian pun tak kalah mencuri perhatian. Kabar kebahagiaan yang silih berganti dengan kabar kehancuran. Dari berita yang bermunculan, ribuan komentar para pembaca menuliskan "Sepertinya pilihan untuk tidak menikah adalah hal yang tepat".

Kekhawatiran tentang pernikahan marak terjadi hari ini. Hal ini terjadi karena banyaknya pemberitaan yang menjadi momok menakutkan bagi pemuda yang ingin menuju pernikahan. Kekerasan yang begitu sering diberitakan, perselingkuhan yang menggemparkan, lalu perceraian yang banyak dijadikan pilihan. Tak sampai di sana saja, couple goals yang mereka jadikan rules model dalam relationship, yang terlihat tenang nan mesra di sosial media, ternyata memilih mengakhiri pernikahannya. Bak pisau bermata dua, seperti apakah rasa menikah itu nyatanya? Mana yang harus dipercaya, mereka yang terlihat mesra, atau mereka yang saling menggugat antara keduanya?

Adalah wajar, kala banyak pemuda yang merasa memilih tidak menikah adalah pilihan tepat. Trust issue terhadap pernikahan memang pekat. Sekalipun, ketika melihat pasangan yang terlihat serasi di sosial media, jadi skeptis hanya pura-pura saja. Perasaan khawatir yang mendominasi, hingga ketakutan yang tak terkendali. Itu semua terjadi pada pemuda kini.

Salahnya di Mana?

Lantas, jika benar pernikahan adalah pintu keberkahan, mengapa banyak perceraian? Jika benar pernikahan adalah pintu ketenangan, mengapa masalah demi masalah berakhir peperangan? Jika benar pernikahan adalah rahmat, mengapa diwarnai dengan amarah? Salahnya di mana? Mungkin itu adalah pertanyaan para pemuda dalam benak mereka. Mengapa pernikahan bak langit dan bumi antara tujuan dan kenyataannya.

Pernikahan adalah ibadah terlama bagi seorang hamba. Layaknya suatu ibadah, tak mungkin tak ada ujian di dalamnya. Bentuk ujiannya pun berbagai rupa, entah harta, keluarga, anak, hingga sanak saudara. Tak ada pernikahan yang terbebas dari ujian. Jika suami baik, mungkin ujian ada di istri. Jika istri baik, mungkin ujian ada di suami. Jika keduanya baik, mungkin ujian ada di anak. Jika anak baik, mungkin ujian ada di orang tua. Jika orang tua pun baik, mungkin ujian lewat harta. Jika semua sudah baik, mungkin ujian hadir lewat tetangga.

Fokus utama seorang hamba bukanlah pada permasalahan ujiannya, namun fokus pada tujuan awalnya. Mengingat kembali tujuan awal dalam membangun rumah tangga, dengan selalu memperbaiki diri agar selalu siap menghadapi apa pun yang ada di depan sana. Sebab bagi orang beriman, hidup memang untuk diuji.

Hal yang perlu kita tanamkan adalah tak ada ujian yang diberikan melebihi batas kemampuan. Atas apa yang Allah berikan, Allah tahu kita mampu menjalaninya. Pun tatkala rumput tetangga terlihat lebih hijau, ia memiliki pasangan yang baik, ekonomi yang baik atau keluarga yang baik, pasti di dalamnya memiliki ujian yang tak dapat kita lihat.

Salahnya di mana? Mengapa kebahagiaan diiringi dengan ujian? Tak ada yang benar-benar salah. Sebab semua hal berkesinambungan. Entah dari ekspektasi yang terlalu tinggi, atau dari diri yang belum bisa mengimbangi.

Ini bukan pernikahan Cinderella. Kekecewaan seseorang terhadap pernikahannya bisa juga dikarenakan ekspektasi yang terlalu tinggi. Bak film Cinderella yang mengatakan setelah menikah akan bahagia selamanya, nyatanya pernikahan dunia nyata tak begitu adanya. Sebab pernikahan ini terjadi di dunia, masih dalam fase kehidupan kita. Yang artinya, selama kita hidup, ujian masih silih berganti menghinggapi. Tak seperti film Cinderella yang setelah menikah tak ada lanjutan kisahnya.

Menghadapi Ujian Pernikahan

Ibadah salat yang hanya 5 menit saja terkadang kita bisa ragu rakaatnya, apalagi sebuah pernikahan yang dijalani selamanya setelah akad nikah. Ibarat yang sebentar saja ada godaannya, apalagi ibadah terlama. Sudah sering kita dengar bahwa setan yang berhasil diberi apresiasi oleh iblis hanyalah setan yang bisa memisahkan dua insan dalam pernikahan. Artinya, godaan yang harus kita hadapi dalam pernikahan memang berat adanya. Jika sandaran dan landasannya rapuh, maka rumah tangga bisa dengan mudah untuk runtuh.

Dalam menghadapi ujian pernikahan, perlu persiapan bahkan sebelum jodoh datang melamar. Ialah persiapan ilmu dan iman. Jika setan yang dipersiapkan untuk memisahkan dua insan adalah setan yang paling diapresiasi iblis, maka perjalanan pernikahan tak akan mudah dilewati tanpa adanya iman yang menyertai. Sekuat apa setan bisa menggoda dua insan, lebih kuat lagi kita harus mempersiapkan keimanan. Jika setan yang bertugas menggoda kita saat salat saja berhasil membuat kita ragu dalam jumlah rakaat, bagaimana kita akan siap menghadapi anak kesayangan iblis nanti?

Selain iman yang perlu dipertebal, ilmu juga diperlukan untuk mengikat keimanan. Keimanan tanpa keilmuan akan kelimpungan. Dan keilmuan tanpa keimanan adalah kesesatan. Ilmu yang perlu dipersiapkan dalam menyambut jodoh yang Allah persiapkan begitu banyak. Ilmu menjadi pasangan yang baik, tata kelola emosi, manajemen keuangan, keahlian rumah tangga, parenting, ilmu harta halal, dan masih banyak lagi. Bahkan, ilmu mengenai pemahaman psikologi antara perempuan dan laki-laki juga diperlukan, agar kita memahami pasangan yang tentu memiliki kebiasaan dan pemikiran yang kadang bertolak belakang.

Lebih dari itu, banyak lagi ilmu yang perlu dipersiapkan menuju pernikahan. Semisal setelah sama-sama lelah beraktivitas, ilmu mengapresiasi pasangan juga perlu diterapkan. Terkadang, hal ini dilupakan, hanya karena gengsi yang menghalang. Padahal, apresiasi adalah hal paling mudah yang bisa kita lakukan untuk sama-sama meringankan beban masing-masing dengan pasangan.

Masalah yang Tak Terduga

Sering kali kita telah mempersiapkan diri untuk ujian rumah tangga yang sudah kita pelajari. Semisal ego dan emosi, manajemen keuangan, dan lain-lain. Saat diri sudah semaksimal mungkin memperbaiki dan menjadi pasangan terbaik untuk sang kekasih, namun tak jarang seseorang harus menghadapi level ujian yang lebih tinggi lagi. Entah perselingkuhan, kekerasan, tidak dinafkahi, dan lain sebagainya. Maka dalam menghadapinya, perlu mengerahkan segala bentuk tawakal kepada Sang Pencipta. Jika perselingkuhan yang tentu dibalut dengan kemaksiatan itu berlanjut begitu lama, dengan mempertimbangkan segala bentuk konsekuensi yang bisa terjadi, contoh penularan penyakit seksual, maka perceraian tidaklah diharamkan. Allah memang membenci perceraian, namun tatkala kemudaratan lebih banyak didapatkan saat mempertahankan pernikahan, maka kehalalan perceraian boleh menjadi pilihan. Pun bertahan dengan kesabaran juga bukan suatu hal yang buruk, tatkala pertimbangan lain menjadi pilihan. Demikian pula dengan kekerasan, bersabar mendapatkan pahala, bercerai pun tidak mengapa. Sebab alasan tersebut cukup untuk menjadi syar'i -nya sebuah pilihan perceraian. Lagi, bertahan atau berpisah tatkala keduanya memberikan kemudaratan, maka ada ranah kita sebagai manusia bisa memilih. Perceraian pun bukanlah sebuah kehancuran. Allah Swt. Berfirman:

وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir,” (QS. Ar-Rum: 21)

Tujuan utama pernikahan adalah untuk beribadah. Namun dalam beribadah, Allah tahu bahwa kita memiliki naluri berkasih sayang, maka Allah syariatkan pernikahan. Tatkala pernikahan tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya, tak ada ketenangan, tak ada rasa tenteram, dan ketika kita merasa saat bersamanya justru membuat kita jauh dari Allah, maka bisa jadi memang perceraian adalah pilihan.

Namun, ketika kita memilih untuk mempertahankan, meskipun pasangan kita sudah jauh dari tujuan itu, maka yang perlu kita lakukan adalah menyelamatkan surga kita masing-masing terlebih dahulu. Saat pasangan tidak memenuhi kewajiban, bukan berarti kita pula ikut-ikutan. Itulah yang disebut menyelamatkan surga masing-masing terlebih dahulu. Banyak kita jumpai saat ini, suami istri bertahan dalam pernikahan, namun di dalamnya saling balas kemaksiatan. Suami mendekati zina, istri balas dengan mendekati juga. Suami tak beri nafkah, istri balas tak pulang ke rumah. Suami tak beri kasih sayang, istri balas dengan tak mau taat. Suami tidak bekerja, istri balas dengan tidak mau menuruti perkataan suaminya. Andai ini terjadi, bukankah jadi tumpukan dosa untuk keduanya? Maka hal bijak yang bisa kita lakukan adalah bagaimana pun perubahan pasangan, bagaimana pun sikap pasangan, kita tetap melaksanakan tugas kewajiban dengan semestinya. Bukan ego yang kalah, tetapi menyelamatkan surga sendiri terlebih dahululah yang utama. Meski demikian, tentu pasangan kita tetap harus diingatkan, ia juga manusia yang tak luput dari dosa. Ia juga punya hati yang bisa luluh dengan doa. Maka sebaik-baiknya pasangan adalah yang saling mengingatkan untuk kembali ke jalan-Nya.

Tak ada kebaikan yang sia-sia, meski tak terbalas oleh manusia. Andai cinta kita pada pasangan benar karena Allah Swt., maka perubahan sikapnya tak akan mengurangi rasa cinta. Sebab alasan mencintai adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tak pernah berubah oleh masa. Seluruh manusia bisa berubah, pun kita juga sama. Tak ada jaminan kita tetap beriman. Pasangan kita pun sama. Namun itulah mengapa cinta perlu dilandaskan pada Sang Pencipta. Tugas kita sebagai manusia yang berpasang-pasangan, berpegangan dan saling mengingatkan saja. Jadilah teman berjuang yang baik untuk pasangan kita, sebagai bentuk tanda cinta dan penyejuk mata untuknya. Sebagaimana yang menjadi doa dalam Al-Qur'an:

رَبَّنا هَبْ لَنا مِنْ أَزْواجِنا وَذُرِّيَّاتِنا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنا لِلْمُتَّقِينَ إِماماً

Artinya: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan [25]: 74).

Allahua'lam bish shawwab[]


Photo: Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Mendamba Pemimpin Ideal dalam Sistem Kapitalisme

"Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun, mereka enggan memikul amanat itu dan mereka takut akan mengkhianati amanat itu dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (TQS. Al-Ahzab: 72)"


Oleh. Maftucha
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Sobat, pemilihan presiden masih satu tahun lagi, tapi aroma persaingan dan pencitraan antarpendukung sudah tercium di mana-mana. Bahkan, ada lo yang ngomong dengan semangat terkait kriteria calon pemimpin yang layak bagi warga Indonesia.

Seperti apa yang telah ditayangkan di forum diskusi TVOne, mantan politikus PPP yang akrab disapa Romi ini memberikan komentarnya, Sob, bahwa ketika memilih calon presiden jangan menjadikan masalah kesalehan sebagai kelayakan seseorang untuk menjadi calon presiden.

Romi, yang baru saja keluar dari tahanan akibat kasus korupsi ini, Sob, mengatakan bahwa, jangan melihat latar belakang sang calon, misalkan ada calon yang suka lihat bokep lalu diedarkan di media sosial atau ada yang anaknya enggak pakai jilbab. Menurutnya nih, Sob, hal ini jangan menjadi masalah yang dipersoalkan dalam mengukur kelayakan seorang calon presiden.

Untuk menguatkan pendapatnya ini, dia mengatakan bahwa di kitab Al-Ahkam Sulthoniyah pemimpin yang ahli maksiat masih punya hak untuk ditaati asalkan menghargai kebebasan beragama, ngeri enggak tuh? Padahal di kitab tersebut yang dibahas adalah menaati pemimpin, sedangkan saat ini masyarakat diributkan dengan memilih calon pemimpin, tentu memilih dan menaati pemimpin adalah dua hal yang berbeda, Sob.

Pemimpin dalam Sistem Kapitalisme

Sobat, inilah gambaran seorang intelektual yang hidup di sistem kapitalisme, di mana nilai-nilai kehidupannya sangat sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan.

Dalam sistem kapitalisme yang menggunakan politik demokrasi sekuler, urusan memilih pemimpin memang hanya sebatas urusan duniawi. Kenapa? Karena sistem politik ini menihilkan aturan Tuhan dalam aspek kehidupan umum, Sob.

Padahal kita 'kan tahu sendiri ya, Sob, kalau manusia itu lemah, terbatas, tidak tahu apa yang terbaik untuk mereka. Kalau dipaksakan membuat aturan sendiri pastinya akan banyak kepentingan atau intervensi, baik dari dirinya sendiri maupun orang lain, bahkan negara lain. Betul enggak, Sob?

Karena itulah, Sob, dalam sistem demokrasi sekuler, tolok ukur pemimpin yang baik bukan dilihat dari kesalehannya, namun hanya sebatas kapabilitas dalam urusan dunia. Maka dari itu, Sob, Sering kita jumpai seorang menteri, hakim, atau gubernur dan pejabat negara lainnya yang melakukan korupsi. Hal itu terjadi tidak lain karena aturan agama tidak dijadikan sebagai tolok ukur dalam setiap perbuatan mereka.

Kita juga harus tahu, Sob, bahwa menjadi pemimpin dalam pandangan kapitalisme adalah jalan untuk meraih jabatan kekuasaan, sehingga segala macam cara akan ditempuh. Jadi jangan heran, ya, Sob. Kekuasaan dalam kapitalisme ini, selain akan menguras harta dan tenaga, juga akan menumbalkan siapa saja yang menjadi lawan politiknya.

Sistem Baik Melahirkan Pemimpin Baik

Nah, Sob, dalam urusan memilih pemimpin, Islam memberikan perhatian yang begitu besar lo. Kenapa? Karena pemimpin adalah tempat bagi rakyatnya untuk berlindung. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

"Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung dari musuh dengan (kekuasaannya)." (HR. Al-Bukhori, Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)

Syaikhul Islam dalam karyanya As-iyasah Asy-yariyah menjelaskan bahwa kriteria pemimpin itu harus ada dua sifat mendasar, yakni kuat (mampu) dan amanah. Pemimpin yang kuat tentu bukan berasal dari pemimpin yang segala keputusannya tersandera oleh kepentingan, baik golongan, partai apalagi tunduk kepada negara penjajah, ya, Sob. Namun, dia independen dalam hal menjalankan segala aturannya berdasarkan syariat Islam.

Sobat, negara Islam adalah negara yang besar, maka dibutuhkan pemimpin ideal yang mampu membawa Islam beserta umat ini menuju sebuah peradaban agung yang tunduk pada aturan-Nya. Untuk itu, kriteria pertama yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah memiliki rasa takut yang besar kepada Allah. Rasa takut ini akan membuat dia senantiasa merasa diawasi oleh Allah Swt. sehingga dia senantiasa tunduk patuh kepada syariat-Nya.

Dalam sejarah Islam telah dikisahkan, Sobat, bagaimana rasa takut Umar bin Al-Khattab kepada Allah jikalau sampai ada rakyatnya yang kelaparan. Sehingga beliau selalu berkeliling untuk memastikan bahwa tidak ada rakyatnya yang belum makan. Bahkan dengan tangannya sendiri beliau memandu sekarung gandum yang akan diberikan kepada yang membutuhkan.

Dikisahkan pula bagaimana Umar berbicara dengan anaknya dalam kondisi gelap, karena takut menggunakan lampu milik negara.

Kriteria kedua adalah shiddiq yang artinya jujur, pemimpin yang jujur tentu dipercaya rakyatnya, ya, Sob. Sifat ini sudah menjadi sifat yang melekat pada diri Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin , di mana mereka memiliki gelar-gelar karena sifatnya yang jujur, seperti Rasulullah yang bergelar Al-Amin , Abu Bakar dengan gelar Ash-Shiddiq , Umar dengan gelar Al-Faruq dan seterusnya.

Kriteria ketiga adalah amanah, lawan dari sifat ini adalah khianat. Pemimpin amanah tentu akan menjaga kepercayaan rakyat, dia tidak akan menipu bahkan mengkhianati rakyatnya. Sesungguhnya Allah Swt. berfirman yang artinya,

"Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun, mereka enggan memikul amanat itu dan mereka takut akan mengkhianati amanat itu dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh." (TQS. Al-Ahzab: 72)

Yang keempat tablig atau komunikatif. Seorang pemimpin yang baik harus bisa berkomunikasi dengan rakyatnya secara baik, Sob. Dia akan mendengarkan segala masukan dan kritikan dengan lapang dada dan hal ini sudah sangat maklum terjadi di sistem Islam di mana rakyat selalu memuhasabahi pemimpinnya.

Kriteria kelima adalah fatanah atau cerdas. Pemimpin yang cerdas tentu didukung dengan keilmuan yang dia miliki, Sob. Dengan keilmuan yang dia miliki, maka akan memudahkan khalifah menyelesaikan setiap masalah yang datang, bahkan diutamakan seorang pemimpin adalah mujtahid. Keren enggak tuh!

Sifat selanjutnya adalah adil. Inilah yang dinanti-nanti oleh rakyat. Dengan sifat adilnya ini, keadilan akan bisa ditegakkan. Sebaliknya, Allah menegur dengan keras pemimpin yang zalim. Rasulullah saw. bersabda,

"Barang siapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga." (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian, Sob, bagaimana Islam memberikan gambaran yang jelas sosok pemimpin yang layak untuk dipilih. Sosok pemimpin yang ideal tidak mungkin bisa terwujud dalam sistem sekuler seperti saat ini. Hanya sistem Islam, Sob, yang bisa mewujudkan sosok pemimpin ideal harapan umat manusia. Wallahu a'lam bishawab.[]


Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Docang: Racun yang Hilang

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad: 7)"


Oleh. Nurjanah Triani
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Ada yang sudah pernah ke Cirebon? Masyarakat Cirebon pasti sudah tidak asing dengan makanan ini. Iya, docang namanya. Singkatan dari godogan kacang yang artinya air hasil rebusan kacang yang dihaluskan. Nama docang juga berasal dari bahasa Cirebon dengan kata bodo (baceman) dari oncom dan kacang hijau yang berkecambah menjadi taoge.

Docang sendiri merupakan makanan yang terdiri dari potongan lontong, irisan sayuran, dan parutan kelapa. Sekilas, makanan ini mirip dengan lontong sayur. Disiram kuah santan yang kemerahan, dengan rasa sedikit pedas dan segar dari kuah dage yang panas, membuat makanan ini memiliki cita rasa yang unik. Makin nikmat saat dihidangkan dengan kerupuk sebagai topping-nya.

Racun Candu

Di balik rasanya yang unik, kisah terciptanya docang juga tak kalah menarik. Masakan ini telah ada sejak abad ke-15, zaman wali sanga menyiarkan agama Islam ke nusantara, terkhusus Cirebon dan sekitarnya. Docang tercipta atas dasar ketidaksukaan seorang pangeran bernama Rengganis terhadap kehadiran wali sanga dan juga dakwah yang dijalankannya. Bermaksud ingin menyudahi kegiatan tersebut, sang pangeran pun berniat meracun para wali sanga yang sedang berkumpul di Masjid Sang Cipta Rasa. Makanan pun dibumbui dengan sedemikian rupa, ditambah dengan bahan yang dianggap beracun kala itu. Seperti tambahan oncom, yang merupakan hasil fermentasi yang terbuat dari limbah makanan. Memang, jika dilihat sekilas, oncom seperti makanan yang telah ditumbuhi banyak jamur. Maka tak heran, dahulu ia dianggap seperti sesuatu yang dapat membahayakan tubuh.

Selesai sang pangeran memasak dan menyuguhkan makanan, terlihat tak ada reaksi mencurigakan dari para wali sanga saat menyantapnya. Mereka justru ketagihan dengan masakan sang pangeran yang memiliki cita rasa yang unik. Sang pangeran pun gagal untuk meracuni para wali sanga. Bermula dari sinilah docang dikenal masyarakat. Cita rasa baru yang dapat diterima oleh masyarakat. Docang biasanya dijual di pedagang kaki lima dengan harga yang relatif terjangkau.

Kegagalan Penjegal Dakwah

Bak Nabi Ibrahim yang gagal dibakar oleh api, Allah menunjukkan kembali kuasa-Nya dengan pada para wali sanga. Bahan-bahan pembuat docang yang kala itu dipercaya adalah racun, justru terasa nikmat di lidah. Pun oncom yang terbuat dari fermentasi limbah makanan kala itu, meski terlihat sebagai makanan basi yang sudah ditumbuhi oleh jamur, namun kini oncom justru menjadi salah satu bahan khas Indonesia yang memiliki penggemarnya sendiri.

Allah Swt. bisa dengan mudah menumbuhkan bakteri jahat pada makanan yang terfermentasi tersebut yang dapat membahayakan nyawa. Namun tidak demikian, pertolongan Allah datang pada waktu yang tepat. Fermentasi tersebut justru menjadi sesuatu yang nyaman di lidah dan bermanfaat untuk tubuh. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an:

وَمَكَرُوْا وَمَكَرَ اللّٰهُ ۗوَاللّٰهُ خَيْرُ الْمٰكِرِيْنَ ࣖ

Artinya: "Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (QS. Al Imran : 54)

Perjuangan para wali sanga dalam menyiarkan Islam bukanlah perkara mudah. Akan selalu ada para penjegal di belakangnya. Namun pertolongan Allah selalu ada, bagi mereka yang berjuang di jalan-Nya. Makanan itu tentu dengan mudah menjadi racun, namun Allah tak mengizinkannya. Tugas para wali sanga belum selesai sampai di sana. Sebab, Islam harus disebarkan seluas-luasnya.

Docang, Kebenaran Menang

Tak ada satu pun di dunia ini yang terjadi tanpa kehendak dari-Nya. Jika dalam jalan dakwah ini banyak rintangannya, maka kita perlu yakin bahwa pertolongan Allah dan segala kemudahan lainnya selalu ikut serta. Kebenaran akan menang, meski dengan atau tanpa kita berjuang. Andai para wali sanga itu mundur di jalan dakwah, maka akan banyak wali Allah lainnya yang siap menggantikan. Begitu juga kita hari ini, meski Islam telah tersebar dan menjadi agama terbesar, nyatanya dakwah tidak boleh sedikit pun pudar. Saat kita lengah, maka akan selalu ada orang yang siap menggantikan posisi kita dalam dakwah. Saat kita mulai gusar, maka akan selalu ada orang yang siap menggantikan posisi kita dengan lebih tegar. Tak ada paksaan dalam dakwah, karena manusialah yang butuh kemuliaannya. Dakwah bukan seperti angkot, yang menunggu penumpang berjam-jam lamanya. Dakwah itu seperti kereta, yang siap ikut, yang tak siap akan ditinggal begitu saja.

Dari para wali sanga kita belajar bahwa para penjegal pasti ada. Justru saat dakwah tak ada anginnya, maka perlu ditanya, apakah sudah benar dakwahnya? Sebab ibarat paku, maka yang lurusnya yang akan dipukul oleh palu. Tak perlu takut dalam mengemban kebenaran. Sebab docang saja sudah menjadi saksi, bahwa pertolongan Allah itu pasti. Seperti janji Allah Swt. berikut ini:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ

Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad : 7)[]


Photo: Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

HIV/AIDS, Haruskah Terasing?

"Mengasingkan penderita HIV/AIDS secara sosial, menyembunyikan mereka di tempat terasing atau fasilitas khusus akan menambah rasa depresi dan membuat imunitas tubuhnya semakin lemah hingga mempercepat kematian bagi si penderita."


Oleh. Desi Wulan Sari
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-"Naudzubillahimindzalik. Aku memohon perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari hal-hal buruk.” Itulah kalimat yang akan selalu keluar dari mulut kita pada umumnya, ketika mengetahui ada seseorang yang terpapar virus HIV/AIDS, atau bahkan jika kita mendengar kata “HIV” saja langsung ketar-ketir hati dibuatnya.

"Astagfirullah, serius?” Seakan tak percaya mendengar kabar yang sangat mendadak dan mengejutkan ini. Sambil menatap wajahnya dari kejauhan yang terlihat pucat seakan tak memiliki gairah hidup lagi. Mendengar berita ini saja, tiba-tiba merasakan tubuh kami seakan tanpa tulang, lemas, dan tidak bisa berkata apa-apa. Di dalam kepala penuh dengan beribu pertanyaan, “Mengapa?”

Seakan nasi sudah menjadi bubur, diagnosa yang diterimanya menunjukkan bahwa dirinya positif terinfeksi virus mematikan tersebut. Dia adalah seseorang yang dikenal pendiam dan tidak ada indikasi kenakalan dalam sikap dan pergaulan. Hanya, badannya memang cenderung lemah, dan paras yang rupawan membuat dirinya banyak memiliki teman yang entah baik atau buruk perilakunya, tidak ada yang tahu pasti. Setelah digali lebih dalam, ternyata ia dipaksa melakukan kegiatan oral seksual dibawah ancaman pisau yang siap menembus tubuhnya. Jika ia tidak mau melakukan hal tidak senonoh tersebut. Hal itulah yang menyebabkan dirinya harus menerima virus HIV ini sebagai hukuman yang sangat berat dalam hidupnya.

Mirisnya, depresi dan stres yang dialaminya membuat tubuhnya semakin melemah. Seakan ia tidak lagi tahu tujuan hidupnya, tidak mampu lagi menyelesaikan studinya, bahkan tidak mampu menikmati hidupnya. Karena yang dirasakan adalah, dia “sendirian” berjuang untuk rasa malu, merasakan sakit dengan momok yang paling ditakuti manusia mana pun, hingga akhirnya maut menjemputnya. "Innalillahi wainailaihi rojiun.”

Dan ilustrasi kisah-kisah seperti itu bukan hanya terjadi pada dirinya. Berkembangnya virus HIV/AIDS dengan berbagai faktor penularan, baik akibat perilaku yang zalim, perundungan, bahkan keturunan akibat kelahiran dari orang tua yang terjangkit menjadi penyebab semakin bertambahnya kasus tersebut.

Virus Mematikan

Apakah virus HIV/AIDS itu? Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah suatu virus patogen yang dapat menyebabkan melemahnya sistem kekebalan tubuh seseorang. Bahwasanya, HIV ini menginfeksi serta merusak sel CD4 yang berperan penting dalam sistem imunitas tubuh. Sel-sel yang menjadi target HIV adalah sel dendritic, sel T, dan makrofaga. Sel-sel tersebut terdapat pada permukaan lapisan kulit dalam (mukosa) penis, vagina, dan oral yang biasanya menjadi tempat awal infeksi HIV. Buruknya, HIV juga dapat langsung masuk ke aliran darah dan masuk serta bereplikasi di noda limpa.

Dikatakan sebagai virus mematikan karena biasanya penderita akan mengalami berbagai dampak negatif yang semakin hari membuat kondisi kesehatannya semakin menurun, termasuk di dalamnya mental dan spiritual si penderita. Jika seseorang mengidap HIV dan tidak mendapatkan pengobatan, virus tersebut akan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Pada akhirnya, infeksi tersebut akan berubah menjadi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dan tubuh akan sulit melawan infeksi.

Penularan HIV/AIDS berasal dari hubungan seksual kalangan pekerja seksual, seks bebas, atau pengguna narkoba. Penularan juga dapat terjadi di kalangan orang yang bukan pecandu narkoba, atau yang tidak pernah melakukan seks bebas pun berisiko terkena penyakit HIV/AIDS ini. Sering kali mereka tidak menyadari bahwa tubuhnya telah tertular HIV.

Dalam penelitian terkini, menurut Dr. Irna Sufiawati, drg., Sp.PM., dosen Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Unpad, infeksi HIV dapat diidentifikasi melalui kesehatan gigi dan mulut. Menurutnya, dokter gigi dapat menemukan beberapa kelainan di rongga mulut yang merupakan manifestasi dari infeksi HIV. (unpad.ac.id)

Adapun beberapa ciri HIV tahap awal yang perlu diketahui adalah sebagai berikut:

  1. Sakit kepala.
  2. Demam.
  3. Badan mudah lelah, padahal tidak banyak beraktivitas dan sudah cukup tidur.
  4. Nyeri sendi.
  5. Tidak nafsu makan.
  6. Kelenjar getah bening bengkak.
  7. Sakit tenggorokan.
  8. Ruam.

Pengobatan Medis dan Psikologis

Menjadi penderita HIV/AIDS tentu tidak mudah dan membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitar. Kesehatan fisik penderita akan sangat berdampak sangat signifikan bagi dirinya, karena menurunnya kekebalan tubuh. Tidak hanya berdampak pada kondisi fisik seluruh aspek kehidupan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) juga ikut terdampak. Ia juga akan mudah terkena masalah mental.

Secara medis, HIV/AIDS tidak akan pernah sembuh. Karena belum ada obatnya. Namun, tindakan yang perlu dilakukan dengan bersegera mendapatkan pengobatan berupa antiretroviral (ARV) yang bekerja untuk mencegah virus HIV menggandakan diri dan menghancurkan sel CD4. Pengobatan ini dapat digunakan untuk ibu hamil agar mencegah penularan HIV ke janin. Di waktu yang sama bertujuan agar setiap hari perkembangan virus dapat dikendalikan.

Selain pengobatan secara medis, pengobatan psikologis pun perlu dilakukan dan sangat dibutuhkan oleh para penderita HIV pada umumnya. Dan yang perlu diperhatikan adalah gangguan mental yang terjadi akibat HIV/AIDS ini antara lain, depresi, kecemasan, delusi, dan efek buruk lainnya, seperti menurunnya produktivitas, permasalahan psikologis, juga kehidupan sosial.

Pengidap HIV juga berjuang dengan proses penerimaan dan perlakuan yang diterima dari lingkungannya. Kondisi psikologis tersebut tentu memengaruhi kesehatan mental penderita. Selain itu, rasa penyesalan atau perasaan bersalah yang juga menjadi sumber stres atau tekanan mental ODHA.

Mengasingkan penderita HIV/AIDS secara sosial, menyembunyikan mereka di tempat terasing atau fasilitas khusus akan menambah rasa depresi dan membuat imunitas tubuhnya semakin lemah hingga mempercepat kematian bagi si penderita. Sehingga, bukan seperti itu cara menyelesaikan persoalan ataupun pertolongan yang diberikan agar mereka bisa bertahan hidup, walau dengan keterbatasan usia yang setiap saat menanti kematiannya secara tragis.

Sehingga, penting untuk mengobati mental si penderita dalam memperbaiki dampak psikologis. Salah satunya dengan memberikan edukasi pada masyarakat sehingga dukungan diberikan oleh masyarakat terhadap keberadaan para penderita HIV/AIDS di tengah lingkungan sosialnya. Dukungan keluarga menjadi faktor utama bagi penderita untuk mampu meneruskan kehidupannya, saat bertahan dalam pergumulan penyakit mematikan yang ada pada dirinya. Dukungan moral sangat diperlukan agar ODHA memiliki kualitas hidup lebih baik.

Bertobat dan Menguatkan Keimanan

Memiliki lingkaran pertemanan yang sehat, kepribadian yang penuh keimanan menjadi tujuan dari pembentukan manusia yang bertakwa dan taat pada syariat. Lingkungan yang mendukung secara positif akan membentuk karakter dan jiwa seseorang menjadi yang diharapkan sebagai generasi penerus umat. Namun, apa pun yang telah terjadi pada diri seseorang termasuk mereka yang terjangkit HIV/AIDS sekalipun, merupakan qada yang telah Allah tetapkan bagi setiap manusia.

Keyakinan pada ketetapan Allah tersebut, apakah itu untuk menguji kesabaran, meningkatkan keimanan, mendekatkan diri pada Sang Khaliq? Ataukah peringatan kepada manusia atas jalan kemaksiatan? Pun hikmah yang ada di balik itu semua, tetaplah Allah yang lebih tahu bagi hamba-Nya.

Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah saw. pernah menyampaikan

إنَّ اللَّهَ عزَّ وجلَّ يقولُ يَومَ القِيامَةِ: يا ابْنَ آدَمَ، مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي، قالَ: يا رَبِّ، كيفَ أعُودُكَ وأَنْتَ رَبُّ العالَمِينَ؟! قالَ: أَمَا عَلِمْتَ أنَّ عَبْدِي فُلانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ؟ أمَا عَلِمْتَ أنَّكَ لو عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ؟ 

Artinya:
“Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, pada hari kiamat, 'Hai anak Adam, Aku sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku'. Dia berkata, 'Wahai Rabbku, bagaimana aku menjenguk-Mu, padahal Engkau adalah Rabb semesta alam?' Dia berfirman, 'Tahukah kamu bahwa hamba-Ku si fulan sakit, tetapi kamu tidak mau menjenguknya. Tahukah kamu, jika kamu menjenguknya, kamu akan mendapati Aku berada di sisinya'.” (HR. Muslim)

Sehingga, maksud dari hadis di atas ingin merujuk pada manusia bahwa pada dasarnya orang yang terkena HIV/AIDS sekalipun merupakan orang yang sakit, sebagaimana umumnya. Artinya ia tetap mendapat perlakukan manusiawi seperti mendapat pelayanan medis yang layak dan dukungan dari orang-orang terdekat agar tetap tabah menjalani ujian.

Dalam Islam, sistem pergaulan pun diatur dalam aturan yang jelas dan tegas. Jika aturan pergaulan Islam tersebut dijalani, maka tidak akan terjadi hal-hal mengerikan seperti di atas. Penyakit mematikan yang berasal dari sebuah lingkungan yang kejam dan penuh kemaksiatan akan dihancurkan. Sehingga generasi muda di seluruh dunia akan berkembang menjadi generasi sehat mental dan spiritual. Basis ketakwaan akan terus dibawa oleh mereka dalam setiap langkah kehidupannya. Negara yang berperan melindungi generasinya akan selalu menjaga dan mengurus mereka hingga menjadi sosok generasi harapan umat di masa yang akan datang.

Wallahua’lam bishawab.[]


Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com