Dedolarisasi dan Masa Depan Dinar dan Dirham

”Faktor lain yang memicu dedolarisasi adalah arogansi Amerika Serikat. Negara yang memosisikan dirinya sebagai polisi dunia itu selalu menggunakan kekuatan ekonominya untuk memaksa negara lain mengikuti kehendaknya. “


Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Warren Buffett, seorang investor ternama dari Amerika Serikat menyatakan bahwa tidak ada mata uang lain yang dapat menggantikan dolar AS sebagai mata uang cadangan. Pernyataan ini disampaikan oleh pemegang saham terbesar di Berkshire Hathaway ini menanggapi maraknya dedolarisasi akhir-akhir ini. (cnbcindonesia.com, 8/5/2023)

Apa yang dimaksud dengan dedolarisasi? Mengapa hal itu terjadi? Bagaimana peluang dinar dan dirham dalam menggantikan posisi dolar?

Penyebab Dedolarisasi dan Dampaknya

Sejak ditandatanganinya Perjanjian Bretton Woods pada tahun 1944, negara-negara di dunia menjadikan dolar Amerika Serikat sebagai cadangan devisa. Negeri Paman Sam yang saat itu memiliki cadangan emas terbesar di dunia menyandarkan mata uangnya ke emas. Maka, negara-negara lain yang cadangan emasnya menipis, menjadikan dolar AS sebagai cadangan.

Dijadikannya dolar AS sebagai cadangan devisa, membuat kondisi ekonomi AS berpengaruh terhadap ekonomi dunia. Penerapan sistem ekonomi kapitalis yang senantiasa menyebabkan berulangnya inflasi membuat perekonomian negara-negara di dunia pun terimbas. Hal ini diperparah dengan pandemi Covid-19.

Inilah yang menyebabkan terpuruknya ekonomi AS dalam beberapa tahun terakhir. Negara itu mengalami defisit neraca pembayaran. Hal ini membuat AS tidak memiliki uang. Akibatnya, AS diperkirakan akan gagal bayar utang pada 1 Juni mendatang.

Ambruknya ekonomi Amerika Serikat, akan mempengaruhi dunia. Situasi yang tidak menentu ini mendorong negara-negara yang selama ini menjadikan dolar sebagai cadangan devisa, mencari alternatif lain. Mereka kemudian mulai meninggalkan dolar AS dalam transaksi perdagangan luar negerinya. Inilah yang memicu terjadinya dedolarisasi.

Faktor lain yang memicu dedolarisasi adalah arogansi Amerika Serikat. Negara yang memosisikan dirinya sebagai polisi dunia itu selalu menggunakan kekuatan ekonominya untuk memaksa negara lain mengikuti kehendaknya. Meskipun dolar tidak lagi disandarkan pada emas sejak tahun 1971 oleh Presiden Richard Nixon, negara-negara lain tetap menjadikan dolar sebagai cadangan devisa. Hal ini memudahkan Amerika Serikat untuk menekan negara-negara tersebut.

Amerika Serikat akan memberikan sanksi ekonomi kepada siapa saja yang menentangnya. Sanksi itu dapat berupa embargo ekonomi, pembekuan aset, larangan transaksi perdagangan atau keuangan, hingga larangan pemberian visa. Iran termasuk salah satu negara yang pernah mendapatkan sanksi ekonomi pada tahun 2018. Sanksi itu diberikan karena AS hendak memaksa Iran untuk mengubah pemerintahannya yang dikuasai para mullah. Akibat sanksi itu, Iran mengurangi penggunaan dolar dan beralih ke euro dan mata uang nasional.

Terakhir, AS menjatuhkan sanksi ke Rusia untuk memaksa Rusia menghentikan perang melawan Ukraina. Bersama dengan sekutunya, AS membekukan aset Rusia yang tersimpan di luar negeri. Namun, kali ini AS terkena batunya.

Rusia pun membalas sanksi itu dengan meninggalkan dolar AS dalam transaksinya dan beralih ke yuan. Bersama dengan Brasil, India, Cina, dan Afrika Selatan, yang tergabung dalam BRICS, Rusia bahkan dikabarkan akan membuat mata uang baru. Hal ini menyebabkan turunnya pangsa pasar dolar AS secara cepat. Pada tahun 2001, pangsa pasar dolar di cadangan devisa masih 70%. Pada tahun 2021, pangsa pasar dolar AS mencapai 55%. Namun, pada tahun 2022, hanya mencapai 47%.

Indonesia juga telah melakukan hal yang sama. Bersama dengan negara-negara ASEAN+3 (Jepang, Korea Selatan, dan Cina), diperoleh kesepakatan untuk meningkatkan penggunaan LCS (Local Currency Settlement). LCS merupakan penyelesaian transaksi dengan menggunakan mata uang lokal.

Sejak tahun 2018, Indonesia telah menggunakan mata uang lokal saat melakukan transaksi bilateral dengan Thailand dan Malaysia. Hal yang sama juga dilakukan Indonesia bersama Jepang dan Cina pada tahun 2021. Pada tahun 2023 ini, Indonesia juga telah melakukan kesepakatan dengan Korea Selatan (Cnbcindonesia.com, 6/5/2023).

Ketergantungan terhadap mata uang tertentu memang dapat meningkatkan kerentanan serta meningkatkan risiko stabilitas keuangan. Melalui dedolarisasi ini, ketergantungan Indonesia terhadap mata uang dolar Amerika Serikat akan dapat dikurangi. Di samping itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan lebih stabil. Hal ini seperti diungkapkan oleh Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata.

Bagaimana dampak dedolarisasi terhadap AS? Menurut Monica Crowley, mantan pejabat Kementerian Keuangan AS, dedolarisasi akan membawa dampak buruk pada AS. Statusnya sebagai cadangan mata uang dunia akan berakhir. AS diperkirakan akan menghadapi risiko hiperinflasi yang luar biasa. Di samping itu, dominasi AS terhadap ekonomi global akan menghilang. Bahkan, negara itu akan kehilangan statusnya sebagai negara adidaya (Blockchainmedia.id, 29/3/2023).

Meskipun telah didukung oleh kekuatan militer, kehancuran sistem ekonomi kapitalis tak dapat dihindari. Perlahan tapi pasti, hal itu akan terjadi. Sistem ekonomi yang berbasis pada riba dan investasi nonriil ini memang sangat rapuh. Bahkan, lebih rapuh dari sarang laba-laba. Maka, akan muncul sistem ekonomi pengganti yang akan menguasai dunia.

Dinar dan Dirham, Mata Uang Terbaik

Berbeda dengan mata uang dolar, dinar dan dirham sudah terbukti tahan banting. Dinar dan dirham merupakan mata uang yang menggunakan emas dan perak sebagai bahannya. Emas dan perak merupakan logam mulia yang nilainya tidak berubah. Karena itu, mata uang ini tahan terhadap inflasi.

Hal itu telah dibuktikan selama ratusan tahun saat dinar dan dirham menjadi mata uang dalam sistem ekonomi Islam. Dalam sejarah peradaban Islam, belum pernah terjadi inflasi atau penurunan nilai tukar mata uang tersebut. Bahkan, hingga saat ini, nilai keduanya tidak berubah.

Dinar berasal dari bahasa Romawi, denarius. Sedangkan dirham dari bahasa Persia, drachma. Dinar dan dirham dibawa ke Jazirah Arab oleh para pedagang Arab yang berniaga di Syam dan Yaman. Saat itu, Syam berada di bawah kekuasaan Romawi. Sedangkan Yaman berada di bawah pengaruh Persia.

Ketika Rasulullah saw. hijrah ke Madinah dan menerapkan sistem Islam, kaum muslimin masih menggunakan mata uang dinar dan dirham versi Romawi dan Persia. Rasulullah saw. pun menetapkan dinar dan dirham itu sebagai mata uang. Melalui hadis riwayat Abu Dawud, Beliau saw. bersabda, "Timbangan adalah timbangan penduduk Makkah, dan takaran adalah takaran penduduk Makkah."

Maka, dinar dan dirham digunakan dalam berbagai transaksi maupun aktivitas lainnya, seperti dalam penetapan zakat harta, diat, atau sanksi. Misalnya, nisab zakat perdagangan adalah 20 mitsqal. Satu mitsqal sama dengan 1 dinar atau 4,25 gram emas dengan kadar 22 karat. Karena itu, nisab zakat perdagangan adalah 85 gram emas. Diat jiwa ditetapkan sebesar 1000 dinar. Sedangkan sanksi potong tangan bagi pencuri akan diberlakukan jika barang yang dicuri mencapai nisab, yaitu seperempat dinar atau tiga dirham. Satu dirham setara 7/10 mitsqal atau 2,975 gram perak.

Pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayyah, dibuatlah dinar dan dirham versi Islam. Dinar dan dirham pun semakin mendunia seiring dengan semakin meluasnya wilayah Islam. Sejarawan Islam, Tiar Anwar Bachtiar menceritakan bahwa para arkeolog menemukan dinar dan dirham versi Islam di Sumatera. Dinar dan dirham digunakan sebagai mata uang dunia hingga Perang Dunia I.

Berdasarkan sifat dinar dan dirham ini, maka keduanya berpeluang untuk menggantikan posisi dolar sebagai mata uang dunia. Namun, untuk ini dibutuhkan sebuah institusi yang menerapkan Islam secara kaffah. Sebab, saat ini, bahan baku untuk membuat dinar serta dirham telah dikuasai oleh para kapitalis. Mereka mengeruk kekayaan alam yang ada di negeri-negeri muslim untuk memperkaya diri, dengan dukungan negara pengemban sistem kapitalis. Maka, tidak mungkin kekuatan negara ini dilawan, kecuali oleh negara pula.
Wallaahu a'lam bi ash-shawaab.[]


Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayagkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Isak Tangis Bocah di Rumah Sakit Afganistan

"Walhasil, krisis di rumah sakit Afganistan tidak lepas dari salah pilih sistem oleh rezim Taliban. Seharusnya, mereka memilih menerapkan syariat Islam kaffah, bukan justru menerapkan sistem yang lain. "


Oleh. Ragil Rahayu, S.E.
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Kondisi rumah sakit di Afganistan sungguh mengenaskan. Begitu banyak anak yang sakit, tetapi tidak ada satu pun ventilator di rumah sakit yang berfungsi. Akhirnya, para ibu harus memegang tabung oksigen di dekat hidung bayi mereka karena tidak ada masker oksigen untuk anak kecil.

Sungguh miris, telah terjadi krisis kesehatan di Afganistan. Setiap hari ada sekitar 167 anak meninggal di Afganistan akibat penyakit yang sebenarnya dapat dicegah atau disembuhkan, asalkan tersedia obatnya. Sayangnya, tidak ada obat-obatan. Akibatnya, banyak nyawa bayi dan anak-anak yang seharusnya bisa diselamatkan, menjadi tidak tertolong.

Di bangsal anak di rumah sakit terbesar di Provinsi Ghor, Afganistan, kamar-kamar penuh dengan anak-anak yang sakit. Satu tempat tidur terpaksa digunakan oleh dua anak atau lebih. Banyak yang sakit pneumonia, tetapi tidak ada obat yang tersedia. Ada begitu banyak pasien, tetapi hanya ada dua perawat untuk 60 anak.

Sementara itu, di ruangan lain, puluhan bayi mengalami kondisi yang serius. Tubuh mungil nan ringkih mereka harus melawan penyakit tanpa bantuan medis yang memadai. Kondisi rumah sakit Ghor sungguh mengenaskan, padahal posisinya adalah rumah sakit provinsi dengan perlengkapan terbaik. Artinya, kondisi rumah sakit lain disinyalir lebih buruk lagi.

Kita tentu tidak merasakan apa yang orang-orang Afganistan ini rasakan. Namun, sebagai saudara sesama muslim, kita wajib turut berempati terhadap kesulitan hidup mereka. Kita tidak boleh cuek terhadap penderitaan mereka.

Jika kita telisik secara mendalam, krisis di rumah sakit Afganistan merupakan imbas naiknya pemerintahan Taliban pada Agustus 2021 yang tidak diakui dunia internasional. Akibat tidak adanya pengakuan internasional, bantuan dari seluruh penjuru dunia tidak bisa masuk ke Afganistan. Sedangkan ekonomi Afganistan sendiri morat-marit.

Sejak transisi pemerintahan, rumah sakit dan klinik di seluruh penjuru Afganistan kolaps. Mereka tidak punya dana untuk operasional rumah sakit. Mereka kekurangan obat, alat kesehatan, dan tenaga kesehatan. Kondisi ekonomi rakyat juga memburuk. Mereka hanya bisa makan roti kering sekadar untuk menyambung hidup. Demi mengobati anaknya di rumah sakit, mereka mengumpulkan sedikit uang yang mereka punya untuk biaya perjalanan ke rumah sakit. Namun, ternyata rumah sakit yang dituju kekurangan obat-obatan sehingga banyak anak yang dibawa pulang lagi karena tidak ada obatnya. (bbc.com, 5-5-2023)

Akibat Ulah Negara Besar

Kondisi Afganistan yang dulu tidaklah miris seperti sekarang. Namun, sejak pendudukan oleh negara besar, yaitu Amerika Serikat selama 20 tahun terakhir, kondisi Afganistan benar-benar hancur.

Amerika dan NATO memang telah menarik pasukannya dari Afganistan pada 2021. Mereka pulang ke negaranya dengan kekalahan, lalu dilanjutkan dengan naiknya Taliban. Sayangnya, meski menyebut negaranya sebagai Emirat Islam, syariat Islam tidak diterapkan secara kaffah di Afganistan. Taliban bahkan masih menerapkan sistem republik demokrasi dalam pengaturan negara. Akibatnya adalah kerusakan demi kerusakan. Kesejahteraan tidak kunjung terwujud.

Sementara itu, dunia internasional tidak mengakui pemerintahan Taliban sehingga bantuan pangan dan obat-obatan tidak diberikan. Walhasil, krisis di rumah sakit Afganistan tidak lepas dari salah pilih sistem oleh rezim Taliban. Seharusnya, mereka memilih menerapkan syariat Islam kaffah, bukan justru menerapkan sistem yang lain.

Solusi Sistem Khilafah Islamiah

Krisis kesehatan sebagaimana yang terjadi di Afganistan tidak akan terjadi dalam Khilafah. Di dalam Islam, kesehatan merupakan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan keamanan. Dengan demikian, negara Khilafah wajib menyediakannya secara gratis bagi seluruh rakyat.

Sabda Rasulullah saw.,

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barang siapa di antara kamu masuk pada waktu pagi dalam keadaan sehat badannya, aman pada keluarganya, dia memiliki makanan pokoknya pada hari itu, maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuknya.” (HR Ibnu Majah)

Khilafah akan bertanggung jawab menyediakan berbagai sarana kesehatan secara lengkap, meliputi rumah sakit, fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan klinik dokter, apotek, pabrik obat, juga tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat. Khilafah akan membiayai sektor kesehatan dari pengelolaan kekayaan umum berupa tambang, hasil hutan, laut, dll.. Khilafah juga mengalokasikan dana fai (ganimah) dan kharaj untuk sektor kesehatan.

Tidak ada perbedaan kelas dalam rumah sakit Khilafah. Semua kamar memenuhi standar, demikian pula dengan layanan kamar seperti makanan, baju ganti, obat, dll.. Tentu saja semuanya gratis.

Bahkan semua tindakan perawatan yang butuh biaya besar, seperti operasi, juga disediakan oleh Khilafah secara gratis. Layanan ini berlaku untuk semua warga negara.
Biasanya, orang merasakan makanan rumah sakit tidak enak sehingga terpaksa memakannya. Namun, tidak demikian dengan rumah sakit dalam Khilafah.

Ada sebuah kisah yang menggambarkan turis asing yang pura-pura sakit agar bisa masuk rumah sakit dan mendapatkan layanannya yang sangat memuaskan. Turis itu sangat menyukai makanan yang disuguhkan di rumah sakit hingga dia pura-pura masih sakit agar bisa menikmati makanan lezat. Inilah realitas layanan kesehatan dalam khilafah. Adakah yang menolaknya?

Wallahu a'lam bish shawwab. []


Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayagkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Status Kedaruratan Covid-19 Dicabut, Benarkah Pandemi Telah Usai?

"Inilah salah satu bentuk pengabaian sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, kesehatan merupakan tanggung jawab individu. Kebijakan herd imunity yang diambil oleh pemerintah menunjukkan bahwa prioritas utamanya adalah stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, bukan menyelamatkan nyawa rakyat."


Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Tiga tahun silam, WHO pertama kali menetapkan bahwa dunia berada dalam status darurat Covid-19. Suatu kondisi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Beberapa negara melakukan karantina total demi menyelamatkan warganya, tetapi ada pula yang sekadar melakukan pembatasan-pembatasan aktivitas agar ekonomi negaranya tidak hancur.

Akibat dari serangan virus SARS-CoV-2, WHO mencatat korban tewas sejumlah tujuh juta orang. Sungguh sebuah angka yang fantastis dan bukan sekadar angka. Pada angka-angka itu ada ayah, ibu, anak, paman, bibi, keponakan, dan kerabat-kerabat yang dicintai oleh keluarganya. Rasa kehilangan mereka pasti masih meninggalkan duka.

Akan tetapi, pada 5 Mei 2023, WHO memutuskan untuk mencabut status darurat Covid-19 karena tidak lagi memenuhi syarat sebagai darurat global. Dikutip dari voaindonesia.com (05-05-2023), Tedros Adhanom Ghebreyesus sebagai Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa meskipun tahap darurat telah usai, tetapi pandemi belum berakhir. Ia juga mengingatkan lonjakan kasus harian di Timur Tengah dan Asia Tenggara.

Apa Arti Berakhirnya Kedaruratan Covid-19?

Tatkala WHO mencabut status kedaruratan Covid-19, tidak berarti pandemi usai. Sebaliknya, pandemi masih berlangsung walaupun tidak lagi di fase akut. Virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 masih ada dan tidak akan musnah dalam waktu singkat.

Menurut epidemiolog Dicky Budiman pada Healthliputan6.com (06-05-2023), pencabutan status kedaruratan Covid-19 lebih pada upaya WHO untuk memberikan kebebasan dan otorisasi pada setiap negara untuk merespons pandemi yang masih berjalan. Apakah Covid-19 tetap distatuskan darurat ataukah dimasukkan ke dalam program pengendalian penyakit menular secara umum? Respons itu juga bisa berupa ketersediaan vaksin, tes Covid-19 hingga biaya perawatan. Kalau sebelumnya digratiskan, sangat mungkin nantinya akan berbayar. Jika hal ini terjadi, tentu memberatkan masyarakat, karena sampai hari ini virus Covid-19 terus menyebar dan variannya terus bermunculan.

Kemunculan varian Covid-19 terbaru tentu memberikan tantangan tersendiri bagi setiap negara. Terlebih pada negara dengan sistem kesehatan lemah dan memiliki ketergantungan tinggi pada negara lain. Mendeteksi kemunculan varian baru bagi negara dengan perlengkapan laboratorium canggih dan tim peneliti yang mumpuni adalah hal ringan. Akan tetapi, luar biasa beratnya bagi negara berkembang dengan kultur riset rendah. Munculnya varian Delta yang mematikan di India sampai menyebar ke seluruh dunia, contoh konkretnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Negara ini sebelas dua belas dengan India. Keduanya sama-sama memiliki jumlah penduduk yang sangat besar dan sistem kesehatannya lemah. Belum hilang dari memori, bagaimana 3 tahun lalu pemerintah inkonsistensi dengan pernyataan-pernyataannya dan enggan untuk secara proaktif merespons dinamika pandemi. Negara juga tidak memiliki kesiagaan menghadapi pandemi. Akibatnya ratusan ribu jiwa melayang termasuk para tenaga kesehatan. Menurut catatan GHSI (Global Health Security Index), Indonesia merupakan salah satu negara dengan kematian tenaga medis tertinggi di dunia. (Indoprogress.com, 17-07-2021)

Dengan rekam jejak seperti paparan di atas, sangat mungkin pencabutan status darurat Covid-19 akan mengendorkan upaya pemerintah untuk meminimalkan penyebarannya. Tidak itu saja, malah bisa jadi akan terjadi pembiaran. Artinya, masyarakat dibiarkan hidup berdampingan dengan virus SARS-CoV-2 meskipun risiko tertularnya sangat tinggi. Masyarakat dibiarkan menjalani hari bersama Covid-19 tanpa edukasi berkelanjutan. Sangat mungkin bila masyarakat awam menganggap pencabutan status darurat ini sebagai akhir pandemi.

Inilah salah satu bentuk pengabaian sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, kesehatan merupakan tanggung jawab individu. Kebijakan herd imunity yang diambil oleh pemerintah menunjukkan bahwa prioritas utamanya adalah stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, bukan menyelamatkan nyawa rakyat.

Negara kapitalis baru akan hadir melayani rakyatnya, apabila tampak keuntungan secara materi. Keuntungan itu didapat negara melalui pajak dari lembaga-lembaga profit yang berkecimpung dalam dunia kesehatan, produk-produk, dan alat kesehatan yang diperjualbelikan. Tentu masih segar dalam ingatan tentang persaingan ketat produsen vaksin Covid-19 saat akan masuk ke Indonesia. Hal-hal yang demikian merupakan sebuah kewajaran dalam iklim kapitalisme. Di dalam sistem ini tidak ada yang gratis. Kesehatan pun diperjualbelikan.

Bagi negara yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan, berjalannya perekonomian dengan lancar dan stabil tentu saja lebih penting. Perkongsian antara pengusaha dan penguasa telah mengkhianati amanat rakyat saat memilihnya. Alih-alih berkhidmat kepada rakyat, sebaliknya mereka dianggap beban demi memenuhi syahwat dunia segelintir orang. Ritme semacam ini akan terus berlangsung sampai tergantikan oleh yang terbukti melayani rakyat sepenuh hati.

Khilafah Satu-satunya Solusi Tuntas Atasi Pandemi

Sistem kapitalisme bertentangan secara diametral dengan sistem Islam. Sekularisme yang menjadi dasar tegaknya sistem kapitalisme menjadikan agama terpisah dari kehidupan. Sementara Islam mendasarkan kehidupan harus berjalan sesuai perintah Allah Swt. dan menjauhi apa saja yang dilarang-Nya.

Keberadaan Allah Swt. sebagai Zat yang menciptakan manusia dan seluruh kehidupan di alam semesta mewajibkan setiap manusia tunduk patuh pada aturan-Nya. Sebagaimana firman Allah Swt. di dalam surah Al-Anfal ayat ke-20.

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَاَ نْـتُمْ تَسْمَعُوْنَ
Artinya, “Wahai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan jangan kalian berpaling dari Allah, sedangkan kalian mendengar (perintah-perintahnya).”

Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia telah memberi arah hidup di dunia, baik untuk dirinya sendiri maupun kemaslahatan bagi seluruh alam. Satu aspek saja terlepas dari syariat Allah Swt., maka terwujudnya kemaslahatan secara sempurna tidak akan teraih. Dalam masalah kesehatan, Islam telah memberikan tuntunan yang kamil dan paripurna. Berikut ini adalah konsepsi Islam dalam menghadapi pandemi.

Pertama, khalifah sebagai pemimpin umat akan mencurahkan segenap kemampuannya demi terselenggaranya seluruh hajat hidup rakyat. Hal ini dikarenakan kepemimpinan dalam Islam merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.

Kedua, Islam menjaga keberlangsungan setiap jiwa (hifzun nafsi) merupakan salah satu tujuan syariat. Islam memprioritaskan keselamatan jiwa manusia. Artinya, setiap nyawa lebih penting dibandingkan berjalannya perekonomian dan kestabilan politik.

Ketiga, setiap keputusan yang diambil harus ditegakkan berdasarkan syariat Islam. Keputusan tidak boleh berdasarkan nafsu semata, apalagi sekadar terdapat manfaat. Rasulullah saw. telah memberikan tuntunan ketika sebuah daerah mengalami wabah, yaitu dengan karantina wilayah.

Kitab Shahih Bukhari dengan nomor hadis 5289, meriwayatkan hadis dari Abdurrahman bin Auf yang mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian mendengar ada negeri dilanda wabah, maka janganlah kalian menghampirinya. Akan tetapi jika kalian berada di sebuah negeri yang sedang terjangkit wabah, maka janganlah kalian keluar dan lari dari wilayah tersebut.”

Sedangkan di dalam hadis bernomor 5330 di kitab yang sama, Abu Salamah bin Abdurrahman berkata, saya mendengar Abu Hurairah dari Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kalian mengumpulkan antara orang yang sakit dengan orang yang sehat.” Hadis ini merupakan perintah untuk merawat yang sakit sampai sembuhnya di tempat tertentu.
Ketika penduduk Syam mengalami wabah Amwas, Umar bin Khattab sebagai khalifah, memerintahkan Amru bin Ash untuk mengungsikan penduduk yang sehat ke bukit-bukit.

Keempat, dalam masalah anggaran, Khilafah fleksibel dan cepat, tanpa melihat keuntungan. Nyawa selalu menjadi prioritas. Tatkala suatu daerah mengalami wabah, maka kebutuhan pokoknya dijamin oleh negara. Umar bin Khattab pernah mencontohkan saat Madinah ditimpa paceklik.

Sayidina Umar meminta bantuan Mesir untuk mengirimkan bantuan berupa makanan dalam jumlah sangat besar. Setelah terkirim bahan makanan itu pun dibagikan cuma-cuma. Demikian pula dalam pemenuhan obat maupun ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan. Khilafah akan menyediakannya dengan kualitas terbaik dan akses yang mudah.

Kelima, Khilafah akan membangun kultur riset. Riset ini ditujukan untuk mengatasi virus, bakteri, maupun kuman yang terus bermunculan agar ditemukan obatnya atau didapatkan teknik pengobatannya. Semuanya ini dilakukan demi terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh rakyat.

Khatimah

Karut-marut penanganan Covid-19 membuktikan kegagalan kapitalisme dalam menghadapi pandemi. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila sistem ini digantikan oleh Khilafah sebagaimana minhaj Rasulullah saw. Khilafah telah terbukti andal dan tuntas dalam menangani seluruh persoalan yang dihadapi oleh manusia.[]


Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayagkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com