Tren Thrifting dan Ilusi Sustainable Living

"Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. (Al- A'raf: 31)"

Oleh. Irma Sari Rahayu
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Hai, Guys! Lagi ramai nih tren belanja baju bekas alias thrifting di kalangan generasi muda. Tapi bukan sembarang baju bekas lho, melainkan baju bekas impor. Branded lagi!

Sebenarnya, fenomena thrifting ini sudah lama sih, tapi kembali hit gara-gara beberapa selebritas dan influencers yang membagikan gaya berpakaian mereka yang tetap stylish meskipun menggunakan baju bekas. Ada juga yang mengunggah video thrift haul atau memamerkan baju hasil thrift shop mereka. Nah, melihat idolanya belanja baju bekas, akhirnya ramai-ramai deh para followers- nya mengikuti jejak mereka. Baju bekas impor ini harganya terjangkau lho, kondisinya juga masih bagus. So, enggak heran, sih, kalau akhirnya thrifting menjadi tren dan bagian dari gaya hidup generasi muda sekarang.

Fenomena thrifting pun diapresiasi positif oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno. Menurutnya, thrifting adalah bagian dari sustainable living sebagai upaya untuk melawan fast fashion dan mengurangi sampah fesyen. Kamu tahu enggak, ternyata sampah tekstil itu adalah jenis sampah terbanyak di muka bumi, lho! Tapi, ada syaratnya nih dari Pak Sandiaga kalau kita mau belanja baju second, harus produk lokal ya, bukan impor (Sindonews.com, 17/1/2023).

Thrifting Solusi Sustainable Living?

Guys, kalian pernah dengar tentang sustainable living? Sustainable living adalah gaya hidup berkelanjutan dan ramah lingkungan. Tujuannya adalah untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia dalam setiap aspek kesehariannya. Nah, salah satu kerusakan lingkungan yang dimaksud adalah sampah tekstil akibat fast fashion, yang menyumbang 90 juta ton tiap tahunnya. Sedangkan fast fashion adalah istilah yang digunakan oleh industri tekstil yang memiliki model fesyen yang berganti-ganti dalam waktu singkat dan diproduksi secara massal untuk memanfaatkan tren.

Mungkin secara enggak sadar kamu juga termasuk korban fast fashion ini. Kalau ada tren baju yang baru, langsung gatal mau beli. Hehehe. Karena itulah, thrifting dianggap sebagai salah satu solusi sustainable living, supaya enggak terlalu banyak baju yang menumpuk. Mudahnya begini, Guys, kalau kita beli baju bekas, berarti enggak banyak baju baru yang diproduksi, dibeli kemudian dibuang karena pemiliknya sudah enggak mau pakai lagi. Nah, kalau dipakai oleh orang berikutnya, jadi enggak terbuang tuh.

Hmm, sekilas konsep ini masuk akal, sih. Tapi, Intan Anggita Pratiwie, seorang seniman daur ulang dan salah satu pendiri Setali yaitu komunitas yang bergerak dalam fesyen berkelanjutan justru enggak terlalu setuju dengan tren thrifting ini. Menurutnya, justru tren ini bisa memicu permintaan baju bekas semakin bertambah dan negara kita akhirnya jadi tempat sampah untuk baju bekas dari negara lain. Padahal, sampah fesyen negara kita juga sudah menggunung, lho! (CNNIndonesia.com, 9/10/2022).

Ternyata, menjadikan thrifting sebagai salah satu solusi sustainable living enggak semudah yang kita bayangkan, Guys. Dirangkum dari Triftingsdgssummit.id (21/7/2021), ada beberapa dampak buruk dari glorifikasi tren trhifting, antara lain:

  1. Menyebabkan gentrifikasi, yaitu perubahan sosial ketika kaum menengah ke atas mengonsumsi sumber daya untuk kaum menengah ke bawah. Awalnya target pasar thrifting adalah kaum masyarakat ke bawah. Karena menjadi tren, akhirnya para penjual mengambil momen ini untuk menjual produk dengan menaikkan harganya. Nah, kaum the have- lah yang akhirnya mampu untuk membeli baju-baju yang masih layak pakai ini, sementara yang kurang mampu hanya memiliki dua opsi, tetap membeli dengan harga mahal atau memilih membeli baju yang sudah enggak layak pakai.
  2. Memicu konsumsi berlebih.
    Karena baju bekas dijual dengan harga relatif murah dan ditambah "dikomporin" oleh para selebritas, akhirnya muncul aksi borong. Kalau sudah kalap, lupa deh menimbang-nimbang, sebenarnya kita butuh enggak, sih? Akhirnya kita terjebak dalam perilaku konsumtif dan boros. Nah, bahaya 'kan?
  3. Menumpuk limbah tekstil.
    Guys, meskipun kita mau beli baju bekas, pasti kita akan pilih dulu dong mana yang kita suka dan cocok di tubuh. Baju bekas yang jumlahnya berton-ton itu pasti enggak akan terjual semua 'kan. Lalu, ke mana perginya baju-baju yang enggak laku dijual? Mereka hanya akan menjadi sampah yang terus menggunung. Padahal, sampah tekstil merupakan yang paling sulit diproses dan diuraikan tanah, lho. Alih-alih mau menerapkan sustainable living, eh malah gatot alias gagal total!

Solusi Jitu Sustainable Living

Ok, Guys, kamu sepakat 'kan kalau thrifting gagal untuk jadi solusi hidup berkelanjutan? Gimana enggak gagal, konsep dalam memandang masalahnya saja sudah salah. Ibarat kita sedang memperhatikan lautan, jangan dilihat permukaannya saja, lihat juga dong di dasar perairannya.

Allah Swt. sudah memberi peringatan kepada kita, bahwa kerusakan yang terjadi di bumi adalah akibat perbuatan kita sendiri. Allah Swt. berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 41 yang berbunyi:

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

Gaya hidup konsumtif ala kapitalisme terbukti menjadi salah satu sumber kerusakan di bumi. Ketika standar kebahagiaan adalah materi, mengakibatkan manusia berlomba-lomba memiliki barang, padahal belum tentu dia membutuhkannya. Allah Swt. melarang perilaku boros ini bahkan mencela pelakunya. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Isra ayat 26-27:

… "Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya."

Ayat ini seharusnya jadi peringatan untuk kita, Guys, supaya mengelola harta yang kita miliki dengan bijak dan membelanjakannya sesuai dengan kebutuhan saja. Selain itu, Islam juga mengajarkan kita agar tidak berlebih-lebihan, sebagaimana firman-Nya:

"Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." (Al- A'raf: 31).

Selain perilaku hidup secukupnya sesuai kebutuhan dalam membeli baju, sistem Islam juga akan memperhatikan kelestarian lingkungan. Negara akan mendorong industri tekstil untuk menggunakan bahan yang ramah lingkungan dalam produk fesyen mereka. Sehingga, ketika baju sudah enggak bisa dipakai lagi, masih bisa diurai oleh tanah. So, sustainable living hanya akan bisa terealisasi kalau kolaborasi sikap individu dan regulasi negara berjalan harmonis. Kita hanya akan bisa mewujudkannya pada kondisi tatanan kehidupan yang diliputi ketakwaan komunal yang paripurna, Guys.

Tuh, beda 'kan bagaimana konsep sustainable living ala Islam. Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah ideologi yang menjadi ruh dalam memandang masalah dan mencari solusinya. Sekarang pilihan ada di tangan kamu, mau ambil solusi Islam atau yang lainnya? It's your choice!

Wallahua'lam bishawab.[]

Badai PHK Melanda, Islam Solusinya

”PHK massal adalah solusi yang tak terhindarkan dalam bisnis yang berlandaskan sistem kapitalisme, sebagai langkah untuk menyelamatkan perusahaan dan menjaga kestabilannya akibat perubahan kondisi ekonomi, persaingan, bahkan bencana alam.”

Oleh. Yana Sofia
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Tengah terjadi badai PHK besar-besaran di sejumlah perusahaan raksasa, di awal tahun 2023 ini. Pemangkasan karyawan itu dilakukan oleh perusahaan Google, Amazon, Microsoft, hingga JD.ID, karena tutup permanen di Indonesia. Teranyar, perusahaan raksasa telekomunikasi Ericsson mengumumkan PHK ke 8.500 karyawannya di seluruh dunia (Cnbcindonesia.com, 25/02/2023).

Belajar dari badai PHK yang terjadi di sejumlah industri startup belakangan ini, di mana langkah PHK yang dilakukan secara besar-besar oleh sejumlah perusahaan industri tersebut, tidak lain untuk menjamin profitabilitas dan deviden. Kebijakan PHK semata demi melindungi kepentingan penguasa, dengan mengorbankan nasib pekerja yang menjadi pengangguran.

Langkah Normalisasi

Sepanjang pandemi, telah terjadi transformasi digital secara besar-besaran secara global. Namun setelah pandemi berakhir, kebutuhan terhadap barang digital mengalami normalisasi karena kembali pada kebiasaan sebelum pandemi. Orang-orang kembali bekerja di luar rumah, tidak terikat barang-barang digital lagi.

Dari sinilah perusahaan berbasis teknologi digital mengambil langkah PHK untuk menghemat beban produksi, sebagai langkah strategi bisnis. Sebagaimana pengakuan CEO Ericsson, Borje Ekholm yang mengungkapkan telah terjadi penurunan permintaan pasar terhadap produk-produk mereka. "Sudah menjadi tugas kami menghemat pengeluaran agar tetap kompetitif," dalih Ekholm (Buruhtoday.com, 25/02/2023).

Paradigma Kapitalisme

Berdasarkan fenomena di atas kita melihat, PHK massal adalah solusi yang tak terhindarkan dalam bisnis yang berlandaskan sistem kapitalisme, sebagai langkah untuk menyelamatkan perusahaan dan menjaga kestabilannya akibat perubahan kondisi ekonomi, persaingan, bahkan bencana alam.

Hal ini menunjukkan posisi buruh atau pekerja sangat lemah dalam kontrak kerja di sistem kapitalisme, kehadiran mereka tidak lain adalah bagian dari biaya produksi, di mana pada praktiknya ide ini memiliki konsep mendasar: "Dengan biaya sekecil-kecilnya bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya."

Maka wajar, jika perusahaan-perusahaan tersebut memilih melakukan PHK terhadap buruh dan mengubur harapan mereka untuk hidup sejahtera. Sebab, buruh direkrut hanya demi kepentingan perusahaan yang mengejar laba, karenanya buruh di-PHK juga atas tujuan yang sama. Tidak lain demi menjamin keuntungan materi bagi pemilik modal atau pihak kapital.

Inilah gambaran kebijakan ekonomi dan tata kelola bisnis berdasarkan paradigma kapitalisme, menzalimi buruh dan menciptakan tingginya angka pengangguran yang merugikan negara.

Kebijakan Zalim

PHK massal pastinya akan berpengaruh pada meningkatnya angka kemiskinan, yang memengaruhi problem sosial lainnya. Akhirnya masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan.

Selain itu, tingginya angka pengangguran juga akan berimbas pada naiknya angka kejahatan seperti perampokan harta, bahkan pembunuhan. Karena rakyat yang lapar akan terdorong untuk melakukan kejahatan demi memenuhi kebutuhannya.

Tentunya hal ini akan semakin menambah beban pekerja. Di tengah kemiskinan yang menjeratnya, mereka harus berhadapan dengan maraknya tindak kejahatan yang mengancam keselamatan harta, bahkan nyawa manusia.

Sayangnya, negara berbasis sekuler tidak akan mampu melindungi hak-hak pekerja dan menjamin kesejahteraan mereka. Sebab, paham sekuler inilah yang melahirnya kebijakan kapitalisme yang menjadikan sistem ekonomi dan politik negara serba bebas dan liberal, cenderung memihak pengusaha dan kapital. Walhasil, nasib pekerja diabaikan, mereka dibiarkan bertarung sendiri menghadapi kemiskinan di tengah badai PHK yang kian meluas.

Solusi Islam

Berbeda dengan sistem Islam di bawah institusi Islam yang bernama Khilafah Islamiah. Khilafah memiliki berbagai mekanisme yang menjamin para pekerja hidup sejahtera.

Pertama, Islam memandang seluruh manusia sama, yang wajib diayomi dan dijamin kesejahteraannya oleh negara. Tak peduli apa jabatannya, baik pengusaha atau buruh kasar yang bekerja di sebuah perusahaan. Rasulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, “Imam (khalifah) yang menjadi pemimpin manusia laksana penggembala. Hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.”

Kedua, Islam menjamin setiap hak-hak manusia terpenuhi dengan baik. Baik hak terhadap sandang dan pangan, pendidikan dan kesehatan, bahkan hak mendapatkan keamanan dan pekerjaan. Dalam Islam pekerja tidak termasuk ke dalam bagian dari biaya produksi, melainkan bekerja atas kontrak ijarah. Di mana mereka bisa menuntut hak-hak mereka apalagi perusahaan melanggar kontrak (akad).

Ketiga, Islam menetapkan perjanjian (akad) antara pekerja dan perusahaan sepenuhnya harus sesuai syariat serta dilarang saling menzalimi. Di mana kontrak kerja (akad ijarah) wajib saling menguntungkan dan tidak boleh ada yang dirugikan. Rasulullah saw. bersabda, riwayat Bukhari, “Barang siapa berbuat zalim kepada saudaranya, baik terhadap kehormatannya maupun sesuatu yang lainnya, maka mintalah kehalalannya darinya hari ini juga sebelum dinar dan dirham tidak lagi ada."

Keempat, Islam menetapkan upah atau imbalan bagi seorang ajir (pekerja) haruslah berupa kompensasi dari jasa yang dilakukannya, yang disesuaikan dengan nilai kegunaan. Di mana perkiraan upah ini harus di kembalikan kepada ahli, bukan negara. Kebijakan menetapkan upah ini tidak boleh diserahkan pada kebiasaan penduduk suatu negara, tidak pula berdasarkan harga barang yang dihasilkan, apalagi dengan berpatok pada batas taraf hidup paling rendah dalam sebuah komunitas. Sebab hal ini akan menzalimi pekerja, saat perusahaan mengalami penurunan penjualan atau mengalami perubahan pada kondisi tertentu seperti bencana alam.

Kelima, Islam akan menutup segala kemungkinan perselisihan pekerja dan perusahaan yang merugikan pekerja, dengan mewujudkan sebuah wadah tempat berlindungnya para pekerja, yang terdiri dari tenaga ahli (khubara'). Para khubara' ini wajib menyelesaikan perselisihan pekerja dan perusahaan sesuai syarak, secara adil, dan tidak memihak salah satu dari keduanya.

Khatimah

Seluruh konsep ini, tentunya hanya bisa kita jumpai dalam sistem negara yang bernama Khilafah Islamiah, di mana seluruh hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur'an dan sunah, yang diterapkan secara kaffah dalam bingkai kehidupan bernegara. Hanya Khilafah Islam yang mampu menjamin kesejahteraan pekerja, sehingga mereka tak perlu merasakan tindakan PHK sewenang-wenang, dengan alasan efisiensi produksi atau masalah lainnya. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.[]

Destinasi Wisata dan Budaya dalam Islam

"Fungsi pariwisata dalam Islam, yakni sebagai sarana dakwah dalam mengokohkan keimanan umat. Objek wisata akan dibangun dan didesain untuk membuat manusia tunduk dan takjub ketika melihat keindahan alam juga kekhasan budayanya. Maka jelas, tujuannya bukan untuk mencari keuntungan."

Oleh. Suryani
(Kontributor NarasiPost.Com dan Pegiat Literasi)

NarasiPost.Com-Akhir-akhir ini, pemerintah sedang gencar-gencarnya membangun daerah pariwisata dengan melirik desa-desa yang berpotensi menjadi destinasi bagi wisatawan, terutama keindahan alamnya juga kekhasan daerahnya. Daerah Majalaya yang berada di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, memenuhi kriteria sebagai destinasi wisata dengan ciri khasnya, yakni sarung.

Direktur Even Nasional dan Internasional Kemenparekraf, Dessy Ruhati, mengatakan warga yang memproduksi sarung di Majalaya sudah dilakukan turun temurun sejak abad ke-17. Menurut beliau, budaya sarung ini telah menjadi bagian kehidupan masyarakatnya. (Antaranews.com, 15/03/2023)

Indonesia dikenal dengan beragam budaya dan ciri khasnya. Hal itu menjadi potensi yang besar untuk mengembangkan destinasi pariwisata. Ketika dikelola dengan benar, tentu akan menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Sehingga, berdampak positif pada kesejahteraan warga lokal di daerah tersebut, juga seluruh masyarakat pada umumnya.

Di samping itu, keindahan alamnya akan senantiasa terjaga.
Keberadaan desa yang berperan dan berkontribusi besar dalam pembangunan nasional terutama penyuplai pangan dan tenaga kerja, kini dikembangkan pula untuk pariwisata nasional. Sehingga, beberapa tahun terakhir tersebar ribuan desa yang ada di beberapa provinsi di Indonesia menjadi target desa wisata. Tujuannya, di samping meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui pembangunan usaha produksi sesuai potensi dari sumber daya lokal, juga dapat menambah pendapatan daerah (APBD).

Namun, menargetkan desa wisata menjadi destinasi bagi para wisatawan termasuk Majalaya yang dikenal produksi sarungnya, akan memberikan peluang bagi para investor kapitalis menguasai produk tersebut. Apalagi jika secara ekonomi sangat menggiurkan. Pemerintah pun harusnya mendorong masyarakat memajukan produksinya melalui bantuan permodalan, bahan baku, dan pendistribusian di dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga, negara bisa membangun perekonomian dalam negeri dengan hasil industri yang cukup membanggakan sekaligus menyejahterakan.

Sayangnya, sejak pintu investor asing dibuka seluas-luasnya oleh pemerintah, kemajuan ekonomi negeri ini berada di tangan pengusaha bermodal besar. Apalagi, setelah hadirnya program SDGs yang terus digalakkan di seluruh negara, termasuk di Indonesia.
SDGs yang merupakan agenda pembangunan dunia berkelanjutan dengan tujuan untuk menyejahterakan manusia secara global tidak akan pernah terwujud, terlebih di sektor desa wisata. Karena faktanya, banyak proyek desa wisata yang hasilnya tidak sesuai harapan akibat dari perencanaan yang tidak jelas, eksekusi proyek yang dijalankan kurang profesional, juga minimnya skill dalam pengembangan kepariwisataan.

Akibatnya, banyak desa wisata yang tidak terurus dan terbengkalai, yang pada akhirnya kurang bermanfaat bagi masyarakat lokal maupun umum, apalagi menjadi sumber pendapatan negara. Tentu, hal itu hanya memboroskan dana yang bersumber dari APBN dan APBD, yang selama ini diperoleh dari keringat masyarakat melalui kebijakan pajak dan sejumlah pungutan mencekik lainnya.

Pemasukan pendapatan negara saat ini memang diambil dari pajak dan sektor pariwisata. Padahal, banyak sumber pendapatan yang harusnya dikelola oleh negara. Seperti pengelolaan alam di darat dan lautan berupa bahan tambang, batu bara, nikel, tembaga, dan sumber-sumber energi.

Sistem kapitalisme yang diterapkan negeri ini malah menyerahkan sumber pendapatan negara yang besar, yakni SDA kepada swasta bahkan asing. Sehingga kekayaan negeri yang melimpah ruah tidak bisa dinikmati oleh masyarakat. Padahal, sejatinya itu milik umum yang hasilnya harus dinikmati seluruh warga negara.

Pengelolaan SDA oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu rakyat hanya bisa dilakukan ketika Islam yang menjadi landasan negara diterapkan dalam semua aspek kehidupan. Negara tidak akan membiarkan aset publik atau industri dalam negeri dikuasai sekelompok orang dengan maksud merusak pasar, memonopoli, atau menjegal usaha seseorang, demi kerakusan pribadi sebagaimana pengusaha kapitalis saat ini. Sebab, kepemilikan harta dalam Islam telah jelas peruntukkan serta pengelolaannya. Hal itu sesuai dengan sabda Nabi saw.,
"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Karena itu, penguasa tidak akan menjadikan pajak atau sektor pariwisata sebagai sumber pemasukan negara. SDA yang melimpah di negeri ini sudah lebih dari cukup untuk membiayai kepentingan rakyat, baik itu fasilitas umum atau pun kebutuhan individu. Sehingga, sektor pariwisata tidak akan dikomersialkan, namun dikembalikan kepada fungsinya.

Fungsi pariwisata dalam Islam, yakni sebagai sarana dakwah dalam mengokohkan keimanan umat. Objek wisata akan dibangun dan didesain untuk membuat manusia tunduk dan takjub ketika melihat keindahan alam juga kekhasan budayanya. Maka jelas, tujuannya bukan untuk mencari keuntungan.

Membangun kesejahteraan manusia membutuhkan sistem sahih, yakni Islam yang diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Karena dalam sejarah keemasannya, Islam terbukti mampu menghantarkan peradaban juga manusianya kepada kemuliaan.

Masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz misalnya. Dengan riayah yang luar biasa pada masanya, tak ada satu orang pun yang bersedia menerima zakat, termasuk tawaran biaya menikah untuk para pemuda yang hendak menikah. Tetapi, semuanya mampu memenuhinya sendiri. Kondisi ini tentu dikarenakan keuangan negara sangat melimpah, kesejahteraan merata, aset pengelolaan SDA terus bertumbuh, dan keamanan terjaga.

Maka, tak ada pilihan lain bagi umat selain memperjuangkan kembali tegaknya Islam di muka bumi ini, demi terwujudnya kesejahteraan yang hakiki. Bukan hanya itu, semua permasalahan kehidupan yang kini melanda kehidupan umat manusia, hanya bisa tuntas jika dikembalikan penyelesaiannya kepada Islam. Hal tersebut merupakan janji Allah yang tertera dalam kitab-Nya Al-Qur'an surah Al-Araf ayat 96 yang berbunyi:
"Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi."

Wallahu a'lam bish shawab.[]

Nestapa Muslim Uighur

”Bak dendam kesumat yang turun temurun. Untuk sekadar menjalankan ibadah saja dilarang. Kebebasan beragama hanya jargon yang tidak dapat dinikmati oleh muslim di sana.”

Oleh. Heni Rohmawati, S.E.I.
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Bulan Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam di seluruh dunia. Bulan yang disambut penuh sukacita dan momen bahagia bersama keluarga. Tapi tidak halnya dengan muslim di Uighur, Xinjiang.

Di saat kaum muslimin di berbagai negeri Islam bisa dengan khusuk menjalankan ibadah-ibadah di bulan Ramadan, muslim Uighur sebaliknya, mereka harus melaksanakan apa yang diminta oleh rezim komunis Cina. Dilansir dari Poskota pada Senin (27/3/2023) rezim Cina melarang muslim Uighur berpuasa.

Tak hanya itu, orang muslim yang bekerja untuk pemerintah pun dilarang berpuasa. Termasuk anak-anaknya dan anggota keluarga juga dilarang untuk berpuasa. Menurut muslim Kazakh yang bernama Kamima, jika ada yang berpuasa, maka akan dikenai sanksi. Maka, ada sebagian muslim yang meninggalkan puasanya karena takut, dan ada pula yang tetap melaksanakan puasa secara diam-diam.

Kekejaman tak hanya berhenti di sini, rezim Cina memerintahkan 1.811 desa di Xinjiang untuk dibuatkan sistem pemantauan setiap waktu, termasuk mendatangi rumah-rumah penduduk di Uighur. Kezaliman rezim komunis bertambah dengan menyeru umat Islam di Uighur untuk menghormati tradisi Cina dengan minum alkohol dan makan babi. Apakah ini rasional?

Rezim Tiongkok ini sejak dahulu memang tak henti-hentinya menebar permusuhan terhadap umat Islam. Apa pun alasannya. Hingga kini kondisi umat Islam di Uighur terus menjadi objek kesewenang-wenangan tanpa ada pembelaan dari saudara sesama muslim di seluruh dunia.

Permusuhan Keji Berbungkus Asimilasi Paksa

Sungguh nyata kebencian rezim Tiongkok kepada muslim Uighur di Xinjiang. Bak dendam kesumat yang turun temurun. Untuk sekadar menjalankan ibadah saja dilarang. Kebebasan beragama hanya jargon yang tidak dapat dinikmati oleh muslim di sana. Meskipun mereka tidak mengganggu rezim yang berkuasa, pun tidak otomatis membiarkan mereka melaksanakan agama yang diyakini. Bahkan, permusuhan sengitlah yang ditampakkan.

Sebagaimana yang diketahui, muslim Uighur berada di wilayah Turkistan Timur, barat laut Cina. Mereka adalah penduduk mayoritas yang tinggal dengan Suku Kazakh dan Han. Sudah bertahun-tahun mereka hidup di bawah kontrol ketat. Hal ini terlihat dari kamera pengintai yang ada di berbagai tempat, adanya tentara yang berpatroli di jalan-jalan. Selain itu, muslimah Uighur diminta menikahi pria dari suku Han, muslimnya diminta mencukur jenggot, dan penghilangan berbagai simbol-simbol Islam lainnya.

Bahkan, menurut pengakuan dua perempuan dari Uighur yang di penjara oleh rezim Cina, mereka menyaksikan kekejaman yang mereka alami di depan komite khusus kongres. Qelbinur dan Gulbahar Haitiwaji menceritakan tentang pemerkosaan beramai-ramai, disetrum listrik, kelas pencucian otak, dan berbagai macam penganiayaan secara psikologis juga fisik di dalam tahanan selama tiga tahun. Bukankah ini yang disebut asimilasi paksa. Pemaksaan penghilangan identitas muslim secara paksa dengan memberikan pemahaman komunisme?

Dunia bungkam. Sungguh mereka telah mengetahui hal ini, namun tak ada pembelaan sedikit pun terhadap kaum muslimin di Xinjiang. Sudah terputus urat kemanusiaan hingga berbagai fakta tragis kemanusiaan tak juga mengundang empati dan simpatinya. Hingga kini muslimin Uighur di Xinjiang masih dalam nestapa.

Omong Kosong Pembela HAM

Meskipun pada tahun 2022 sebanyak 50 negara telah mengecam pelanggaran berat Cina dan mendesak agar PBB menghentikan kesewenang-wenangannya terhadap muslim di Uighur. Namun hingga detik ini, penyiksaan itu juga belum usai. Muslim Uighur masih hidup tertekan di bawah bayang-bayang kekejaman rezim Cina. Dan sebagian muslimin lagi, masih mendekam di kamp konsentrasi alias kamp penyiksaan.

Sungguh, negara-negara di dunia ini hanya mampu mengecam tanpa mampu menghentikan kekejaman Cina walaupun hanya sekejap. Berbagai kemajuan teknologi dan alat tempur yang modern tak bisa menahan serangan Cina terhadap muslim Uighur. Yang lebih menyedihkan PBB yang dikenal dengan dewan keamanan masyarakat dunia tak bertaring menghadapinya. Umat Islam kembali harus menahan dan menelan ludah sembari berdoa menghadapi penjajahan brutal rezim Cina.

Umat Islam Uighur dan Dunia Butuh Khilafah

Islam hadir sebagai rahmat Allah kepada manusia. Hal itu ditunjukkan dengan syariat-Nya yang mulia, apabila diterapkan akan membawa kemaslahatan bagi manusia. Darah, harta, kehormatan, keselamatan, bahkan akal manusia akan dijaga.

Namun untuk bisa mencapai itu semua, perlu penerapan syariat Islam secara kaffah yang akan menjamin terwujudnya maqashidus syariah (tujuan diberlakukannya syariat) sehingga manusia yang hidup dalam naungan Islam akan merasakan secara nyata jaminan Islam bagi manusia.

Sayangnya, syariat Islam tidak akan pernah bisa diterapkan sempurna sebelum adanya pemimpin umat Islam yang disebut imam atau khalifah, Rasulullah shallallahu ‘alahihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya imam laksana perisai, di mana (orang-orang) yang akan berperang di belakangnya dan dia akan dijadikan sebagai pelindung.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, Ahmad dari Abu Hurairah).

Karena itu para ulama sepakat akan kewajiban mengangkat seorang khalifah atau imam beserta menegakkan Khilafah sebagai institusinya. Muhammad bin Awf bin Sufyan Al Hamasyi meriwayatkan bahwa Imam Ahmad mengatakan, “Fitnah akan terjadi manakala tidak ada imam yang melaksanakan urusan orang banyak.”

Ditegaskan lagi oleh kalamullah pada surah An-Nisa : 59, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul, serta orang-orang yang menjadi pemimpin di antara kalian.”

Jadi sudah menjadi ketetapan yang pasti, bahwa mengangkat imam/khalifah hukumnya wajib. Karena yang maksud pemimpin dari ayat di atas adalah pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta menerapkan syariat-Nya. Mari kita renungkan perkataan ulama kenamaan Imam Al Ghazali, “Segala sesuatu tanpa fondasi akan hancur. Segala sesuatu tanpa penjaga akan musnah.” Demikian kiranya hubungan agama Islam dan kekuasaan diibaratkan saudara kembar. Islam adalah fondasinya, sedangkan Khilafah adalah penjaganya. Sudah saatnya umat Islam memperjuangkan Khilafah agar terjaga seluruh darah dan kehormatan kaum muslimin di seluruh dunia. Wallahu a’lam bishowab.[]