Electronic Road Pricing: Public Transport Shifting?

“Inilah bukti visi pembangunan infrastruktur sistem kapitalisme yang kian menggurita di negeri ini, yakni hanya melayani kepentingan korporasi dan para pemilik modal. Sedangkan, penguasa dan rakyatnya terikat layaknya hubungan bisnis, yang memiliki korelasi kuat antara untung dan rugi, termasuk dalam penggunaan jalan.”

Oleh. Witta Saptarini, S.E
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Masih ingat dengan tokoh ikonis Pak Ogah dalam serial si Unyil? Ya, sosok dengan karakter pemalas alias ogah-ogahan yang memiliki jargon “cepek dulu dong”. Pasalnya, ia kerap meminta uang kepada orang-orang yang bertanya padanya, bahkan sekadar melintas di hadapannya. Bila digambarkan amat serupa dengan karakter kebijakan yang saat ini kian santer terdengar, di mana tengah menjadi salah satu fokus utama kajian Pemprov DKI Jakarta di tahun 2023 ini, yakni percepatan pembahasan terkait implementasi regulasi jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP). Sebab, banyak pihak menilai, bahwasanya kebijakan jalan berbayar elektronik ini terkesan memaksa alias memalak rakyat. Ya, bisa dikatakan pemalakan berbasis sistem, baik teknologi maupun ideologi yang diadopsi. Pasalnya, ERP merupakan alat memungut dana dari masyarakat secara instan dan otomatis, dari sejumlah kendaraan yang melintasi di area yang telah ditetapkan.

Perlu diketahui, sistem ERP telah diaplikasikan di beberapa negara maju dan berkembang, jadi bukanlah ide baru. Sebagaimana fokus kajian Bapemperda DPRD DKI Jakarta, Pemprov DKI berencana menerapkan sistem jalan berbayar elektronik alias electronic road pricing (ERP). Karena, ERP dinilai sebagai solusi untuk menekan kemacetan melalui pengendalian lalu lintas kendaraan bermotor, menekan angka kecelakaan lalu lintas, serta mengurangi polusi udara. Kemudian yang tak kalah penting, DPRD DKI Jakarta menilai bahwasanya ibu kota negara dapat meraup pemasukan daerah dari pemberlakuan ERP sebesar 30 miliar hingga 60 miliar rupiah per hari. Meskipun masih sebuah rancangan, namun telah menyulut pro dan kontra di berbagai kalangan.(cnnindonesia.com, 20/1/2023)

Mengenal ERP dan Mekanismenya

Apa itu ERP? Singkatnya, ERP adalah sistem jalan berbayar berbasis elektronik di ruas-ruas jalan padat ibu kota, dengan tarif progresif pada waktu yang ditetapkan. Dengan demikian, para pengguna jenis kendaraan yang terkategori tak kebal jalan berbayar mempunyai 2 pilihan, yakni melanjutkan perjalanan dengan membayar tarif atau memilih jalur lain. Berdasarkan usulan Dinas Perhubungan DKI Jakarta akan ada 25 ruas jalan dengan layanan berbayar, di mana tarif progresif berkisar Rp5000,00-19.000,00,- per kendaraan, berlaku pukul 05.00-22.00 WIB. Adapun jenis kendaraan yang bebas dari layanan jalan berbayar, di antaranya kendaraan dinas, mobil jenazah, ambulans, pemadam kebakaran, angkutan umum berpelat kuning, dan mobil tamu negara.

ERP merupakan konsep push atau pemaksaan dalam Transport Demand Management (manajemen permintaan transportasi). Sebenarnya sistem jalan berbayar ini bukanlah terobosan baru, serta membutuhkan proses implementasi yang panjang. Awalnya, ide ini didengungkan oleh salah satu pakar ekonomi Inggris pada tahun 1964 yaitu Robert Smith, dan faktanya proyek tersebut terealisasi di London pada tahun 2003. Sistem jalan berbayar berbasis elektronik ini memiliki korelasi erat dengan konsep shifting, artinya mendorong masyarakat beralih pada penggunaan public transport. Dengan catatan, secara makro melibatkan metode Transport Demand Management. Beberapa di antaranya yaitu, menyediakan sarana transportasi publik yang andal, kendaraan tidak bermotor, memiliki integrasi yang baik, mengakomodasi mobilitas masyarakat, serta sanksi hukum bagi pelanggaran.

Pun, dalam menerapkan sistem ERP ini tidak semudah menentukan ruas jalan saja, namun harus memahami konsep dari kriteria pendukung lainnya. Di antaranya, area yang digunakan, pembenahan transportasi publik, kemudian standardisasi teknologi ERP yang kenyataannya saat ini belum dimiliki. Maka, hal ini menjadi ‘big challenge’, pasalnya sistem ERP merupakan kebijakan komprehensif yang memerlukan sinergisme antara pemerintah pusat dan daerah -dalam hal ini DKI Jakarta- serta upaya menghindari polemik yang ditimbulkannya.

Sistem Electronic Road Pricing Menuai Pro dan Kontra

Selain memantik tanggapan negatif dari warga, tokoh publik, terkait rencana penerapan aturan jalan berbayar elektronik, pro dan kontra di kalangan DPRD DKI Jakarta pun tak terelakkan. Di antaranya, Ketua Fraksi PSI DPRD DKI, Anggara Wicitra Sastroamidjojo. Beliau menyatakan perihal wajib terpenuhinya regulasi hukum untuk mencegah adanya diskriminasi bagi warga, termasuk pengecualian bagi sepeda motor, serta kendaraan berbasis online. Sebab, kebijakan ini dinilai membebani masyarakat tanpa pandang bulu. Sementara itu, pernyataan kontra datang dari Anggota Komisi B DPRD Fraksi PDIP, Gilbert Simanjutak. Menurutnya, penerapan ERP bukan solusi mengatasi kemacetan ibu kota, justru merupakan beban bagi masyarakat yang wajib dihindari. Beliau memandang keberadaan negara ibarat tukang palak. Sebab, jalan dibangun dengan pajak yang dipungut dari rakyat, seharusnya dinikmati. Namun, masyarakat yang melintas dipajaki kembali.

Bukti Sistem Kapitalisme Kian Menggurita

Bila melihat fakta sederet solusi pemerintah terkait sistem pengendalian kemacetan di ibu kota yang pernah dan telah diberlakukan sebelumnya, mulai dari pembangunan jalan layang, Three in One, ganjil genap, LRT, MRT, tidaklah efektif. Alhasil, tidak membuat masyarakat beralih pada transportasi umum. Di Indonesia, proyek ERP ini sempat mangkrak belasan tahun lamanya alias tak pernah terealisasi dengan jelas. Lantas mengapa dipaksakan untuk saat ini ?

Di saat pemerintah belum bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang luas, meningkatnya PHK massal, dan situasi serba sulit. Tak heran, di tengah badai kekuasaan sistem kapitalis sekuler, para penguasa dan pemilik modal tak pernah kehabisan ide untuk terus menguras kocek rakyat. Pasalnya, harapan tak sekadar mengurai kemacetan dengan mendorong agar masyarakat shifting alias berpindah pada penggunaan transportasi publik. Namun, potensi mengantongi keuntungan yang mencapai angka fantastis, tampak menjadi sasaran utama bila sistem ERP ini berhasil diterapkan.

Di era Plt. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, pernah dilakukan uji coba dari segi alat meski belum berbayar di beberapa ruas jalan di Jakarta, pada tahun 2014. Namun, program ERP berhenti di tahun 2016, sebab KPPU menilai proses lelang proyek ERP berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Perlu diketahui, pada tahun 2018 Indonesia telah menggandeng Swedia dan Austria dalam proyek ERP ini. Inilah bukti visi pembangunan infrastruktur sistem kapitalisme yang kian menggurita di negeri ini, yakni hanya melayani kepentingan korporasi dan para pemilik modal. Sedangkan, penguasa dan rakyatnya terikat layaknya hubungan bisnis, yang memiliki korelasi kuat antara untung dan rugi, termasuk dalam penggunaan jalan. Tak heran, pengelolaan infrastruktur berorientasi demi menambah pundi-pundi kekayaan pengusaha dan penguasa negeri.

Pembiayaan Infrastruktur dan Fasilitas Jalan dalam Islam

Dalam sistem Islam, secara umum infrastruktur merupakan sarana yang diperlukan khalayak, serta identik dengan prasarana, yaitu segala sesuatu yang menjadi penyokong utama penyelenggaraan suatu proses. Sehingga, terkategori marafiq al-jama’ah seperti halnya listrik, air bersih, dan sejenisnya. Pun, sarana publik yang tidak mungkin diprivatisasi oleh individu seperti laut, udara, jalan raya dan sejenisnya. Maka, dalam konteks ini jalan raya terkategori infrastruktur keras yang dibutuhkan seluruh manusia, maka wajib difasilitasi oleh negara. Pun, dalam penggunaannya gratis alias tidak berbayar, sebab menjadi bagian dari sarana umum.

Islam memiliki mekanisme bagaimana membiayai proyek infrastruktur. Pertama, tidak berutang kepada negara asing termasuk lembaga keuangan global. Sebab, utang yang disertai bunga secara qath’i hukumnya haram. Pun, dengan berbagai syarat mengikat dan menjerat, yang menyebabkan negara asing atau lembaga keuangan global memiliki peluang untuk memegang kendali, mendikte, serta mengebiri kedaulatan negara, maka hal ini juga tidak dibenarkan syariat. Kedua, memungut pajak yang bersifat temporal. Artinya, dilakukan dalam keadaan genting ketika terjadi kekosongan kas di baitulmal, dan hanya dialamatkan kepada kaum muslim aghnia.

Ketiga, menutup celah praktik monopoli kepemilikan umum oleh individu, pengusaha atau segelintir elite. Artinya, hanya negara yang berhak melakukan proteksi atas kepemilikan umum seperti minyak, gas, dan tambang, di mana hasilnya khusus untuk mendanai jihad, fakir, miskin dan kemaslahatan umat. Sehingga, pemenuhan hajat rakyat termasuk dalam sarana dan prasarana publik menjadi kewajiban negara. Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, “Tiada hak untuk melakukan proteksi, kecuali hanya milik Allah dan Rasul-Nya.”

Penguasa dalam sistem Islam, yakni khalifah dalam sebuah institusi Khilafah bervisi akhirat, memiliki keseriusan, dan komitmen besar dalam menjalankan pembangunan infrastruktur sesuai mekanisme syariat. Sehingga, tak ragu menyiapkan dana berasal dari baitulmal, bukan mengandalkan utang. Sebab, rencana pembangunan didesain hingga sempurna, seraya ditopang dengan sistem ekonomi yang andal berdasarkan tuntunan wahyu Ilahi. Serta, menjamin kesejahteraan, keselamatan dan kenyamanan rakyat sebagai prioritas. Dengan mengelola kekayaan negeri secara mandiri, negara Khilafah laksana elang yang gagah berani terbang sendiri tak mudah dikebiri.

Wallahu a’lam bish-shawwab.[]