Dunia Syirik, Kok Digandrungi?

"Syirik ini bakal membabat habis akidah dan amal kebaikan orang yang meyakini-Nya. Ngerinya lagi, jika syirik ini terus bercokol dan tertanam dalam segala aktivitas, bisa menjatuhkan pelakunya pada kekufuran."


Oleh. Choirin Fitri
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Sob, hafal dong bunyi kalimat syahadatain? Itu tuh syahadat tauhid dan syahadat rasul. Kalau kamu ngaku muslim mestinya hafal dong.

Syahadat tauhid berbunyi, "Asyhaduallaailaaha illallah". Artinya, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Syahadat rasul berbunyi, "Wa asyhaduanna muhammadarrusulullah". Artinya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Sip, kalau udah hafal berarti kita sudah memegang kunci agama Islam. Enggak sah dong ya, seseorang yang masuk agama Islam tanpa syahadat. Kecuali, kita yang sejak lahir berasal dari keluarga muslim, otomatis menjadi muslim meski saat bayi kita belum bersyahadat.

Sob, kalau kita memegang erat makna syahadat tauhid ini, kita enggak bakalan terjebak pada dunia syirik. Kok bisa? Iyalah.

Syirik itu berarti menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Orang yang berbuat syirik meyakini ada kekuatan yang lebih hebat, dahsyat, dan luar biasa selain Allah. Entah ia percaya pada benda-benda bertuah, jimat, atau lainnya.

Orang yang memegang erat makna syahadat tauhid dan mengamalkannya dalam keseharian enggak bakalan percaya pada dukun. Mau dukun itu pakai ajian aiueo, pakai model pengobatan begini dan begitu, atau memberikan ramalan ini-itu ia enggak bakalan percaya. Why? Karena, dalam jiwa raganya telah mantap dan bersaksi bahwa Allah satu-satunya Rabb yang disembah dan diyakini keberadaannya. Ditambah lagi kita pun harus meyakini keharaman syirik ini, Sob.

Mari sejenak kita renungi firman Allah dalam surah An-Nisa' ayat 48 yang berbunyi:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar."

Astagfirullah. Ngeri banget 'kan, Sob ancaman Allah ini? Jika kita berbuat syirik, Allah enggak akan mau mengampuni dosa ini. Allah mengategorikannya dalam jajaran dosa-dosa besar. Namun, Allah masih mau mengampuni dosa kita, jika kita berbuat dosa selain syirik karena Allah Maha Pengampun.

Sayang seribu sayang, ketika sekularisme menjadi asas kehidupan syirik alias menyekutukan Allah dipandang hal remeh. Pemisahan antara agama dan kehidupan seakan menjadi legalitas dibolehkannya perilaku syirik yang notabene merusak akidah ini. Enggak heran jika sekarang dunia syirik banyak digandrungi. Tak hanya kalangan yang sudah bau tanah alias tua, tetapi juga kawula muda.

Syirik ini bakal membabat habis akidah dan amal kebaikan orang yang meyakini-Nya. Ngerinya lagi, jika syirik ini terus bercokol dan tertanam dalam segala aktivitas, bisa menjatuhkan pelakunya pada kekufuran. Sedihnya, tentu Allah enggak bakalan mau mengampuni dosa-dosanya hingga neraka kelak yang jadi tempat berakhir. Astagfirullah, hanya Allah yang Maha Pengampun atas segala dosa-dosa kita.

So, kita sebagai seorang muslim sejati enggak boleh membiarkan sekularisme ini terus bercokol di benak-benak kaum muslimin apa pun generasinya. Kita harus berupaya untuk mencabut ide sesat ini karena merusak akidah dan amal seorang muslim.

Caranya bagaimana?

Pertama, tentu kita wajib menancapkan keyakinan dalam diri bahwa hanya Allah yang layak kita sembah dan ikuti segala aturan-Nya. Baik perintah ataupun larangan-Nya. Kita enggak boleh tebang pilih terhadap aturan Allah. Semua yang halal, kita ambil. Semua yang haram, kita buang jauh-jauh.

Kedua, sampaikan pada sahabat maupun kerabat bahwa syirik itu haram. Gunakan lisan, tulisan, atau video yang di-share di medsos untuk mendakwahkan keharaman syirik ini! Jangan sampai konten yang ada di medsos kita malah mendukung dunia syirik yang penuh dosa besar ini.

Terakhir, kita mesti mengajak para punggawa negeri ini untuk mengambil Islam secara totalitas dan mencampakkan sekularisme. Why? Karena, hanya dengan Islam kaffah sajalah negeri ini akan terbebas dari dunia syirik yang merusak akidah dan amal.

Gimana, Sob? Siap dong menghalau dunia syirik ini dan menghapusnya dari tiap sendi kehidupan?

Batu, 16 Agustus 2022[]


Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kulepas dengan Ikhlas

"Bukan tentang beban yang sekarang harus dipikul, tapi rasa kehilangan yang membuat mereka begitu terpukul. Tak ada orang yang benar-benar siap kehilangan orang tersayang. Meski ikhlas, tetap saja ada rasa pilu yang bersarang. Itulah yang kini Atuk, Ikhsan, dan keluarga rasakan. Belajar menerima ketetapan Allah Sang Pemilik kehidupan."

Oleh. Ulfatun Ni'mah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com- "Tumben sekarang kamu ngopi, San?" Mendengar pertanyaan itu, Ikhsan menghentikan gerakan tangannya. Tersadar dengan keanehan yang sudah sepekan ini ia lakukan. Matanya menatap dinding yang baru dua bulan lalu ia cat bersama sang ayah.

Sudah menjadi rutinitas di pagi hari bagi Ikhsan menyeduh secangkir kopi untuk lelaki kebanggaannya. Biasanya sang ayah akan meminum kopi buatannya sembari menunggunya berkemas untuk berangkat sekolah. Kata sang ayah, kopi buatannya begitu nikmat.

"Nak, ayahmu sering bilang kopi buatanmu begitu nikmat. Ibu jadi penasaran. Senikmat apa sih sampai-sampai ayahmu tak pernah meminta Ibu membuatkannya kopi lagi?" Mengerti akan perasaan sang anak, wanita 35 tahun itu mengambil alih gelas berisi cairan hitam pekat lalu menghirup aromanya yang khas.

"Masyaallah, nikmat sekali. Pantas saja ayahmu begitu menyukainya," ujar ibu Ikhsan setelah menyeruput kopi yang masih mengepulkan asapnya. Pandangannya menerawang, mengingat bagaimana cara sang suami menikmati minuman kesukaannya.

"Besok tolong buatkan lagi, ya. Sepertinya ini akan menjadi kebiasaan baru bagi Ibu." Ikhsan menatap wajah sang ibu lekat, lalu mengangguk seraya tersenyum.

"Bu, Ikhsan mau bantu Atuk ke kebun, ya!" izin Ikhsan.

"Boleh, asalkan tugas sekolahmu sudah beres." Hati ibu menghangat melihat putra sulungnya mau membantu sang kakek. Hal yang selalu ayah Ikhsan lakukan setiap hari.

"San, antar Ibu ke toko dulu, ya. Sudah sepekan lebih toko tidak buka. Kita harus kembali memulai kehidupan seperti biasa." Ikhsan mengangguk lalu bersiap mengantarkan ibu. Tak lupa adiknya, Nafa ikut serta menemani sang ibu menjaga toko.


"Buahnya kematangan, Le, makanya banyak jadi brondolan," ujar Atuk sembari membetulkan posisi karung yang hampir penuh oleh brondolan kelapa sawit. Harusnya buah dipanen seminggu lalu. Namun karena ayah Ikhsan tak dapat lagi memanen, buah pun dibiarkan saja hingga akhirnya banyak yang mbrondol (tanggal dari tandannya).

"Tuk, biar Ikhsan saja yang dorong angkong." Remaja berusia 15 tahun itu sigap mengambil alih angkong yang sudah berisi dua karung brondolan dari tangan sang Atuk.

"Memang kamu kuat, San?" tanya Atuk ragu. Pasalnya, selama ini cucu laki-laki satu-satunya itu tak pernah membantu pekerjaan di ladang. Bukan tak mau, tapi sang ayah yang selalu melarangnya. Kata ayah, Ikhsan harus fokus belajar.

"Insyaallah kuat, Tuk. Ikhsan pasti bisa seperti Ayah." Mantap Ikhsan berujar. Seketika pikirannya terbang pada masa lalu. Saat ayah menjadi satu-satunya tempat ia belajar selain sang ibu.

"San, jadi anak laki-laki harus kuat. Harus bisa memberikan kebahagiaan dan kebanggaan untuk keluarga. Salat harus dijaga, rajin belajar agar Allah mudahkan menggapai cita-cita dan jadikan Al-Qur'an sebagai pedoman dalam hidup. Insyaallah hidupmu akan bahagia," ujar ayah sembari mendorong angkong yang penuh dengan buah kelapa sawit. Saat itu, mengangkut buah masih menggunakan angkong. Tidak seperti sekarang, orang lebih memilih memakai sepeda motor karena lebih mudah dan cepat. Ikhsan yang saat itu masih berusia lima tahun mengangguk membenarkan ucapan sang ayah.

"Ayah, Ikhsan mau coba dorong angkong, boleh?" Kesekian kalinya Ikhsan meminta hal yang sama. Ingin mencoba mendorong barang yang menurutnya luar biasa. Tangan mungilnya mencoba meraih pegangan angkong. Namun tanpa menjawab, sang ayah malah mendudukkan tubuhnya ke dalam angkong yang kini sudah kosong.

"Ini tugas Ayah, Nak. Belum saatnya kamu belajar memegang benda ini. Bersiap ya, satu … dua … tiga …." Ayah berlari mendorong angkong sambil menirukan suara mobil berjalan. Ikhsan menikmatinya sambil berteriak girang. Sesederhana itu ayah menciptakan rasa bahagia. Masa yang begitu indah terpahat dalam ingatan.

"Malah ngelamun." Tepukan di bahu menyadarkan Ikhsan dari lamunan.

"Ikhsan teringat masa kecil, Tuk. Dulu Ayah sering mengajak Ikhsan ke ladang. Senang sekali bisa ikut Ayah. Apalagi saat Ayah jadikan angkong sebagai mobil-mobilan yang menyenangkan," Ikhsan bercerita.

"Jangan bilang kamu pengen mengulangnya. Atuk tidak kuat kalau harus ngangkong kamu, San." Kelakar Atuk berhasil mengukir tawa di wajah Ikhsan.

"Jika Atuk mau, Ikhsan kuat ngangkong Atuk sekarang." Keduanya kembali tertawa.

"Biasanya ayahmu selalu bantu Atuk mengelola kebun kelapa sawit. Ia yang selalu telaten mengurus semua yang berkaitan dengan kebun. Atuk tinggal terima beres saja selama ini." Atuk menghela napas dalam-dalam.

"Atuk merasa kewalahan sekarang, San." Tampak guratan kerinduan di wajah keriput Atuk. Selama ini ia memang begitu dekat dengan putra bungsunya. Sedangkan kedua anaknya yang lain tinggal di luar kota. Hampir setiap kesulitannya selalu ada ayah Ikhsan yang membantu.

"Ikhsan akan belajar seperti Ayah, Tuk. Kita harus belajar membiasakan diri tanpa beliau." Meskipun tak yakin pada kalimatnya sendiri, Ikhsan berharap ucapannya dapat memberikan sedikit kelegaan untuk Atuk.

Bukan tentang beban yang sekarang harus dipikul, tapi rasa kehilangan yang membuat mereka begitu terpukul. Tak ada orang yang benar-benar siap kehilangan orang tersayang. Meski ikhlas, tetap saja ada rasa pilu yang bersarang. Itulah yang kini Atuk, Ikhsan, dan keluarga rasakan. Belajar menerima ketetapan Allah Sang Pemilik kehidupan.

"Iya, Le. Kita harus membiasakan diri tanpanya. Dia anak Atuk yang baik. Atuk sangat bahagia memiliki ayahmu. Atuk pun ingin ia bahagia dengan belajar mengikhlaskannya." Kini embun bening menghiasi bola mata Atuk.

"Ikhsan juga. Bahagia dan bangga memilikinya. Ajari Ikhsan agar dapat menjadi seperti Ayah, Tuk." Keduanya berpelukan untuk saling menguatkan.

"Nanti sore temani Atuk ziarah ya, Le. Atuk rindu ayahmu," pinta Atuk.

"Baik, Tuk." Keduanya melangkah bersama menuju motor butut peninggalan ayah Ikhsan.

Kehidupan harus tetap berjalan dengan atau tanpa ia yang begitu kita sayang. Kehilangan adalah fase kita belajar keikhlasan dan kesabaran. Membuka kembali pelajaran bab qada dan kadar Allah yang harus kita terapkan dalam kehidupan.[]

Kapitalisme Liberal Ancaman Nyata Dunia Pendidikan

"Sungguh, umat harus menyadari bahwa ada upaya pengadangan terhadap kebangkitan Islam. Hal tersebut sejalan dengan kepentingan melanggengkan eksistensi ideologi kapitalisme liberal di atas muka bumi. Maka, ideologi Islam dianggap sebagai ancaman. Oleh karena itu, umat harus memahami ancaman sesungguhnya terhadap dunia pendidikan hari ini, bukan Islam melainkan kapitalisme liberal."

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com- Isu radikalisme tak pernah henti diembuskan oleh penguasa hari ini. Aparat kepolisian pun turut mengawal agar isu radikalisme tetap hangat di tengah masyarakat, salah satunya dengan terus mem- blow up tentangnya di berbagai momentum dan forum pertemuan. Salah satunya sebagaimana yang dilakukan oleh Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono yang dalam momentum tahun ajaran baru kemarin menyampaikan bahwa perguruan tinggi perlu meningkatkan kewaspadaan dari pemikiran dan gerakan berbasis kekerasan, terutama yang hendak menggulingkan pemerintahan. Menurutnya, gerakan tersebut lahir dari paham keagamaan yang salah, seperti ekstremisme, intoleransi, hingga terorisme. (Humaspolri.go.id/13-08-2022)

Persoalan radikalime seolah menjadi masalah serius di negeri ini, sehingga negara benar-benar menggalakkan opini deradikalisasi lewat berbagai lini, termasuk lewat kanal-kanal media massa. Radikalisme dianggap sebagai ancaman serius bagi masyarakat, terutama bagi dunia pendidikan. Benarkah demikian?

Meluruskan Persepsi

Sebelum menghakimi, sejatinya kita perlu kembali meluruskan persepsi soal makna radikalisme yang sebenarnya. Sebab, hari ini radikalisme seolah menjadi narasi paling jitu untuk memukul opini Islam kaffah dan gerakannya. Lihat saja, bagaimana Wakapolri menegaskan bahwa gerakan radikalisme menginfiltrasi dunia pendidikan lewat kegiatan-kegiatan keagamaan, masjid-masjid kampus, dan penyebaran buku-buku. Bahkan beliau menyampaikan kekhawatiranya atas hasil survei yang dilakukan oleh Alvara Research pada tahun 2020 silam bahwa 23,4% mahasiswa di Indonesia pro terhadap Khilafah.https://narasipost.com/2020/10/19/jaminan-pendidikan-dalam-sistem-islam/

Jelas semua itu mengarah pada sentimen agama (baca:Islam). Seolah-olah, radikalisme berkaitan erat dengan aktivitas dakwah dan masjid. Lebih jauh lagi, Khilafah yang notabenenya ajaran Islam, dianggap sebagai produk pemikiran radikalisme, maka ketika ada mahasiswa yang terindikasi prokhilafah langsung dianggap radikal dan layak diwaspadai.

Dengan masifnya opini radikalisme di tengah masyarakat, islamofobia pun menyeruak. Umat Islam sendiri takut dengan ajaran agamanya. Mereka akhirnya mengganggap cukup menjadi muslim yang biasa-biasa saja, tidak perlu kaffah, karena itu adalah ekstrem bin radikal. Bahkan mereka dibuat bangga dengan label moderat ketimbang radikal. Sebab moderat ditancapkan di dalam mindset umat sebagai muslim yang baik, ramah terhadap nilai-nilai Barat, dan toleran. Lain halnya dengan radikal, yang sengaja distigmakan negatif dan layak dijauhi.

Sangat disayangkan, jika isu radikalisme kerap kali disandingkan dengan agama, khususnya Islam. Karena jelas hal tersebut sangat menyesatkan pemikiran umat. Padahal memang sudah kewajiban setiap muslim untuk berislam secara kaffah, taat secara totalitas terhadap syariat Islam. Sebagaimana Allah Swt berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah dan janganlah ikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian." (TQS. Al-Baqarah:208)

Jadi, menganggap seruan menegakkan Khilafah sebagai seruan radikal merupakan fitnah yang sangat keji. Karena sesungguhnya Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, institusi warisan Rasulullah saw. Bahkan tegaknya Khilafah menjadi mahkota kewajiban bagi kaum muslimin. Mengapa? Karena hanya dengan Khilafah, syariat Islam dapat diterapkan secara sempurna. Misalnya, hukum potong tangan, qishas, membayar diyat, rajam, cambuk, dan lain sebagainya hanya tertera di dalam Al-Qur'an tanpa impelentasi nyata, sebab sistem Islam tidak ada di tengah-tengah kita. Padahal tidaklah Allah mewahyukan sebuah hukum kecuali untuk diterapkan bagi manusia.

Ingatlah firman Allah Swt;

”Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al Maidah: 50)

Oleh karena itu, tidaklah bijak menyematkan label radikal kepada kaum muslimin yang berupaya menerapkan syariat Islam secara totalitas dalam kehidupan dengan bingkai Khilafah Islamiah.

Sungguh, umat harus menyadari bahwa ada upaya pengadangan terhadap kebangkitan Islam. Hal tersebut sejalan dengan kepentingan melanggengkan eksistensi ideologi kapitalisme liberal di atas muka bumi. Maka, ideologi Islam dianggap sebagai ancaman. Oleh karena itu, umat harus memahami ancaman sesungguhnya terhadap dunia pendidikan hari ini, bukan Islam melainkan kapitalisme liberal.

Menilik Bahaya di Balik Wajah Manis Kapitalisme Liberal

Jika kita mau membuka mata terhadap fakta, sesungguhnya kita akan mendapati keyakinan bahwa yang menjadi ancaman nyata bagi dunia pendidikan adalah kapitalisme liberal. Karena sistem inilah, dunia pendidikan berselimutkan problematika. Betapa tidak, generasi muda yang semestinya dididik untuk menjadi generasi bertakwa, berkepribadian Islam, dan menguasai iptek, kini dikerdilkan sebatas menguasai iptek saja. Itu pun minimalis, karena yang menjadi orientasi sistem kapitalisme adalah menjadikan output oendidikan sebagai kaum pekerja yang menghamba kepada para kapitalis. Inovasi dan kreativitas mereka seolah dimandulkan, sejalan dengan masifnya arus liberalisme yang menerpa kehidupan para pemuda, seperti hedonisme, seks bebas, narkoba, dan lain sebagainya. Sejalan pula dengan kebijakan politik negara yang masih memberi karpet merah kepada korporat asing untuk menguasai aset-aset negeri ini. Akibatnya, nanti output pendidikan akan diarahkan sebagai buruh bagi perusahaan asing tersebut. Miris! idealisme generasi muda akan tergerus hanya dengan iming-iming materi, tak lagi visioner membangun peradaban, apalagi berkiprah untuk agamanya.https://narasipost.com/2021/09/09/mahasiswa-putus-kuliah-dan-cermin-pendidikan-dalam-islam/

Padahal sosok pemuda adalah tumpuan harapan bagi masa depan sebuah peradaban. Apa jadinya jika sistem hari ini justru membentuk para pemudanya menjadi generasi bermental matrealistik nan hedonis, bukan generasi faqih fiddin (memahami agama) dan ber syakhsiyah Islamiyyah (berkepribadian Islam)? Padahal sosok pemuda yang akan mampu menopang peradaban gemilang adalah mereka yang memahami hakikat dirinya sebagai seorang hamba Allah, karena dengannya ia akan mampu berpikir benar dan bersikap benar. Sebagaimana Rasulullah saw pernah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa kelak di Hari Kiamat, Allah akan menanungi para para pemuda yang menyibukkan dirinya untuk beribadah kepada Allah Swt dengan naungan-Nya.

Maka, kita harus bahu-membahu menyelamatkan dunia pendidikan dari ancaman kapitalisme liberal, yakni dengan menerapkan sistem pendidikan Islam yang terintegrasi dengan sistem Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah. Lantas, tunggu apa lagi?[]

Ironi Apresiasi IRRI di Tengah Gempuran Impor

“Sejatinya penghargaan IRRI tidak serta-merta membuktikan bahwa negeri ini telah bebas dari impor. Kemampuan pemerintah memproduksi satu produk, tetapi gagal mewujudkan produksi pangan lainnya, sejatinya belumlah dikatakan berhasil mewujudkan swasembada pangan.”

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Pemerintah Indonesia baru saja mendapat penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atas keberhasilannya mewujudkan swasembada pangan. Penghargaan untuk sistem pertanian dan pangan yang tangguh, serta swasembada beras tahun 2019-2021 melalui penerapan inovasi teknologi pertanian, diberikan langsung oleh IRRI kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Minggu, 14 Agustus 2022.

Dalam pidatonya, Jokowi mengatakan jika penghargaan tersebut diberikan karena Indonesia mampu membuktikan ketahanan pangannya di sektor beras. Tak hanya itu, Jokowi pun membeberkan capaiannya selama tujuh tahun terakhir dalam membangun infrastruktur penunjang pertanian.

Jokowi mengeklaim telah meresmikan 29 bendungan besar sejak tahun 2015. Jumlahnya akan bertambah 38 bendungan tahun ini, serta akan menyelesaikan 61 bendungan lagi sampai 2024. Ditambah pembangunan 4.500 embung dan 1,1 juta jaringan irigasi. Presiden menyebut, salah satu hasil dari pembangunan tersebut adalah berkurangnya impor jagung dari 3,5 juta ton turun menjadi 800 ribu ton saja. Termasuk sudah tidak lagi mengimpor beras selama tiga tahun berturut-turut. (detik.com, 15/08/2022)

Benarkah klaim Jokowi jika negeri ini tidak lagi mengimpor beras selama tiga tahun berturut-turut? Apakah infrastruktur pertanian yang dibangun memberi dampak signifikan terhadap nasib petani? Bagaimana pula Islam mewujudkan swasembada pangan tanpa bergantung impor?

Jejak Impor Beras

Presiden Jokowi dalam pidato penerimaan penghargaan IRRI mengatakan bahwa Indonesia tidak lagi melakukan impor beras sejak tiga tahun lalu. Menurutnya, hal ini terjadi karena Indonesia secara konsisten telah memproduksi beras sebanyak 31,3 juta ton per tahun sejak 2019 hingga 2021. Bahkan, dalam hitungan BPS di akhir April 2022, stok beras mencapai tingkat tertingginya yakni 100,2 juta ton.

Namun, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang diperbarui pada 12 Agustus 2022, Indonesia justru masih mengimpor beras dari beberapa negara. Di tahun 2021, jumlah impor bahkan mencapai 407.741 ton, naik dari tahun 2020 yang hanya sebesar 356.286,2 ton. Jumlah tersebut terbagi di beberapa negara yaitu India, Thailand, Vietnam, Pakistan, Myanmar, Jepang, Cina, dan sejumlah negara lainnya. Sedangkan di tahun 2020, impor beras RI terbesar berasal dari Pakistan yang mencapai 110.516,5 ton. Sementara di tahun 2019, impor berjumlah 444.508,8 ton yang berasal dari Myanmar dan Thailand. (detik.com, 15/08/2022)

Menanggapi data impor selama 2019 hingga 2021, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Setianto, menegaskan bahwa Indonesia memang tidak lagi melakukan impor beras selama beberapa tahun terakhir. Setianto menyebut, data impor di BPS bukanlah untuk beras medium yang dikonsumsi sehari-hari. Namun, beras khusus (beras merah, ketan, hitam) yang didistribusikan ke lokasi-lokasi tertentu seperti hotel, restoran, dan bisnis katering.

Jika pemerintah beralasan bahwa yang diimpor bukanlah beras untuk konsumsi masyarakat, melainkan beras khusus yang tidak bisa ditanam di Indonesia, lantas mengapa pemerintah tidak menaman sendiri seluruh jenis padi yang ada? Bukankah Indonesia adalah negara tropis yang memiliki potensi pertanian yang menjanjikan?

Negeri ini memiliki setidaknya 26 juta hektare lahan pertanian dan sekitar 68,3 juta hektare lahan agrikultur. Jumlah tersebut merupakan 33 persen dari total wilayah daratan Indonesia. Jika saja pemerintah mau bersusah payah dan mengerahkan daya upaya serta sarana dan prasarana yang dimiliki untuk meningkatkan produktivitas lahan, niscaya negeri ini mampu mewujudkan lumbung pangannya sendiri tanpa harus bergantung pada impor. Sayangnya hal itu tidak dilakukan pemerintah.

Suramnya Nasib Petani

Di tengah masifnya pembangunan infrastruktur pertanian yang diklaim pemerintah, nasib suram justru dialami para petani. Mereka masih saja bergelut dengan berbagai problematik klasik dalam bidang pertanian. Pertama, kian menyempitnya areal pertanian di beberapa wilayah. Hal ini terjadi bukan hanya disebabkan oleh maraknya bisnis perumahan, tetapi juga akibat ekspansi pertambangan dan perkebunan.

Kedua, terbatasnya jumlah penyuluh pertanian. Akibatnya, sebagian masyarakat masih bertani dengan cara konvensional dan menggunakan bibit yang sudah tidak disarankan. Padahal, varietas unggul sudah disediakan oleh dinas pertanian yang membuat hasil lebih banyak dan jangka waktu tanam yang lebih singkat.

Ketiga, mahalnya harga pupuk, pestisida, dan lain-lain. Petani jelas mengalami dilema. Sebab, pupuk nonsubsidi mahal, sedangkan pupuk subsidi dibatasi oleh pemerintah. Sebagian petani memaksa membeli pupuk nonsubsidi karena pupuk subsidi tidak mencukupi kebutuhan lahan. Namun, sebagian lainnya tetap memilih bertahan dengan pupuk subsidi, meskipun hasil panen berpotensi menyusut hingga lima puluh persen.

Keempat, anjloknya harga gabah saat panen. Murahnya harga gabah saat panen raya membuat petani kelimpungan. Pasalnya, harga tersebut sering kali tak sebanding dengan biaya operasional. Belum lagi, serapan gabah oleh Bulog terbilang rendah, sehingga petani terpaksa menjual sebagian gabahnya kepada tengkulak dengan harga yang lebih rendah.

Para petani seperti ‘sudah jatuh tertimpa tangga’. Sudahlah lahan dan permodalan terbatas, namun masih harus menerima kenyataan pahit diserbu dengan pangan impor yang meluluhlantakkan harga gabah. Meski pemerintah berdalih tidak lagi mengimpor beras konsumsi masyarakat, tetapi komoditas lain pun masih dipenuhi dari impor. Lantas, layakkah negeri ini disebut telah berhasil mewujudkan swasembada, jika berbagai komoditas pangan lainnya pun masih diperoleh dari impor?

Logika Neoliberalisme

Ketidakmampuan pemerintah menyediakan komoditas nasional secara mandiri, bukan hanya disebabkan oleh adanya faktor alam, misalnya tanah yang kurang subur. Namun hal ini tidak lepas dari logika neoliberalisme. Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator, operator, unit pelaksana teknis, dan otonomi daerah atau desentralisasi kekuasaan.

Dengan fungsi tersebut, pemerintah hanya membuat aturan yang justru mendatangkan kemaslahatan bagi korporasi. Kehadiran pemerintah sebagai regulator juga terlihat pada liberalisasi pengaturan beras yang banyak dikendalikan oleh produsen atau investor besar, importir, dan distributor. Inilah sejatinya yang menjadi persoalan utama.

Ditambah pula dengan jebakan perjanjian internasional yang menjadikan negeri ini semakin kehilangan kedaulatan pangan. Sebut saja ketika pemerintah meratifikasi The Agreement on Agriculture (AoA) melalui Undang-Undan Nomor 7 Tahun 1994, sekaligus menyetujui pembentukan World Trade Organization (WTO) bersama 125 negara lain pada 1995 lalu, yang menandai diberlakukannya sistem perdagangan bebas. Kesepakatan tersebut membuat para anggotanya harus mengurangi dukungan terhadap sektor pertanian.

Cara Khilafah Mewujudkan Swasembada Pangan

Paradigma kapitalisme dalam mengelola kebutuhan pangan jelas berbeda dengan Islam. Sistem Islam di bawah naungan Khilafah menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan basis syariat. Sistem Khilafah ditopang oleh sistem ekonomi, politik ekonomi, sistem politik, termasuk politik pemerintahan Islam.

Penyatuan seluruh perangkat tersebut telah mampu mewujudkan peran negara sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (perisai) yang akan melindungi seluruh rakyat. Sebagaimana tertuang dalam hadis Ahmad dan Bukhari, ,“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus) rakyat dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.”

Apabila negeri ini ingin menjadikan lumbung pangannya berhasil dan tidak terus menerus mengalami kegagalan, seharusnya sedari awal menerapkan program ketahanan pangan sebagaimana yang telah ditempuh oleh Khilafah. Setidaknya ada lima prinsip pokok yang harus ditempuh untuk mewujudkan ketahanan pangan, yaitu:

Pertama, negara melakukan optimalisasi produksi. Yakni dengan mengoptimalkan seluruh potensi lahan guna melakukan usaha pertanian berkelanjutan sehingga dapat menghasilkan bahan pangan pokok. Negara dapat memanfaatkan berbagai aplikasi sains dan teknologi sebagai sarana memaksimalkan hasil pertanian. Seperti mencari lahan yang optimal untuk benih tanaman tertentu, pemupukan, teknik irigasi, penanganan hama hingga pemanenan, termasuk pengolahan pascapanen.

Kedua, mengadaptasi gaya hidup. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak berlebih-lebihan dalam mengonsumsi pangan. Sebab, berlebihan dalam mengonsumsi makanan dapat mengganggu kesehatan juga berpotensi menambah persoalan limbah.

Ketiga, menerapkan manajemen logistik. Karena itu, masalah pangan dan semua yang menyertainya (irigasi, pupuk, antihama) akan dikendalikan oleh negara. Caranya dengan memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah, kemudian mendistribusikannya secara selektif saat persediaan mulai berkurang. Pada saat ini peran teknologi pascapanen sangat dibutuhkan demi pemerataan distribusi.

Keempat, melakukan prediksi terhadap iklim. Yaitu menganalisis segala kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrem, yang dilakukan dengan cara mempelajari fenomena alam. Seperti curah hujan, penguapan air permukaan, kelembapan udara, termasuk intensitas sinar matahari yang diterima bumi.

Kelima, membuat mitigasi bencana kerawanan pangan. Yakni mengantisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang terjadi karena perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan.

Langkah-langkah tersebut juga pernah diterapkan saat Nabi Yusuf a.s. membangun ketahanan pangan di Mesir dahulu. Nabi Yusuf yang berhasil menerjemahkan mimpi raja Mesir tentang tujuh sapi kurus dan tujuh sapi gemuk, dengan tafsiran siklus ekonomi tujuh tahunan negeri Mesir. Yaitu akan terjadi tujuh tahunan masa panen yang subur, kemudian disusul tujuh tahun masa paceklik, dan kemudian subur kembali. Saat itu Nabi Yusuf tidak mengonsumsi semua makanan pada masa subur, tetapi menyimpannya sebagian untuk cadangan.

Khatimah

Sejatinya penghargaan IRRI tidak serta-merta membuktikan bahwa negeri ini telah bebas dari impor. Kemampuan pemerintah memproduksi satu produk, tetapi gagal mewujudkan produksi pangan lainnya, sejatinya belumlah dikatakan berhasil mewujudkan swasembada pangan. Apalagi jika komoditas pangan lainnya masih sangat bergantung pada impor. Saatnya mengubah paradigma kapitalisme dengan Islam yang akan membawa negeri ini pada kesejahteraan hakiki. Di bawah naungan Khilafah, negara benar-benar mampu mewujudkan swasembada pangan tanpa impor.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Menelaah Beragam Problematik yang Menimpa Negeri Dua Nil

”Sistem kapitalismelah yang menjadikan para pemimpin tidak amanah dalam mengurusi urusan rakyatnya, sementara di sisi lain para penjajah asing berhasil memecah belah persatuan rakyat lewat isu-isu sektarian.”

Oleh. Rahmiani. Tiflen, Skep
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Sudan atau biasa dikenal juga dengan sebutan ”Negeri Dua Nil” merupakan wilayah yang terletak di timur laut Afrika dan juga termasuk salah satu negara termiskin di dunia. Padahal, sebenarnya negara ini memiliki sumber daya melimpah yang dapat digunakan dalam mengelola negara. Sumber kekayaan itu di antaranya adalah komoditas pertanian, perkebunan, peternakan, termasuk mineral dan minyak bumi. Namun ternyata semua kekayaan alam tersebut tak mampu memberi kesejahteraan pada penduduk Sudan, bahkan pembangunan di negara tersebut masih menyisakan berbagai permasalahan termasuk banjir, bandang yang terus berulang setiap tahunnya.

Anomali Iklim sebabkan Banjir Bandang?

Menurut berita yang disampaikan SUNA melalui Abdel Jalil Abdelreheem selaku juru bicara Dewan Nasional Pertahanan Sipil Sudan, bahwa telah terjadi banjir bandang besar di negara itu yang mengakibatkan tewasnya 52 orang warga sipil dan 25 lainnya luka-luka. Kondisi tersebut diakibatkan hujan lebat sejak awal musim gugur lalu. Tidak hanya itu, banjir pun merusak ribuan rumah serta fasilitas umum, pertokoan, hingga lahan pertanian. Abdelreheem melaporkan sedikitnya 5.345 rumah telah hancur dan 2.862 lainnya mengalami rusak parah (CNN Indonesia, 14/08/22)

Sementara itu dalam unggahan video 20D detikNews 14/08/22, Pejabat Direktur Negara Sudan Selatan Adeyinka Badejo Sanogo, menyampaikan bahwa PBB terpaksa mengambil langkah ekstrem dengan menyetop suplai bantuan makanan ke Sudan pasca bencana banjir. Katanya saat ini PBB mengalami kekurangan anggaran, sehingga terpaksa menyetop suplai makanan kepada sebanyak 1,7 juta orang di wilayah bencana. Mirisnya penghentian tersebut dilakukan saat Sudan, baik utara maupun selatan mengalami paceklik parah. Para pakar pun ikut memprediksi bahwa, akan ada sekitar 1,4 juta anak yang mengalami kekurangan gizi hingga kelaparan akut, selama masa paceklik. Maka dipastikan, akan lebih banyak lagi jatuh korban baik itu orang dewasa terlebih anak-anak.

Agaknya persoalan banjir bandang yang dialami Sudan bukanlah masalah baru, sebab hampir tiap tahun negara tersebut harus menanggung akibat dari besarnya curah hujan. Persoalannya terletak pada perubahan iklim yang cenderung ekstrem, begitu penuturan para pakar. Namun benarkah demikian? Bukankah Sudan memiliki berbagai kekayaan alam yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan, serta mengatur tata kelola negara sehingga dapat mengantisipasi banjir yang katanya disebabkan oleh anomali iklim? Tentu hal ini patut ditelaah secara mendalam.

Menelusuri Sumber Kelemahan Sudan

Nyatanya wilayah Sudan terbilang subur, pun memiliki komoditas yang bisa diandalkan di bidang pertanian, perkebunan, maupun peternakan. Di samping itu banyak potensi bahan tambang seperti emas, biji besi, dan tembaga, termasuk cadangan minyak bumi dan gas alam yang mencapai 631 juta barel dan pertama kali ditemukan di wilayah selatan yaitu pada tahun 1979. Namun potensi yang besar itu belum mampu memberi kesejahteraan masyarakat, serta menjalankan roda pembangunan. Sebab berbagai konflik dan pertikaian internal sering terjadi di sana.

Sebagaimana diketahui Sudan memiliki latar belakang konflik yang cukup panjang. Hal itu dijabarkan secara panjang lebar dalam sebuah jurnal terkait krisis yang terjadi di negara tersebut. Bahwa Perang saudara di Sudan sudah berlangsung dari tahun 1956 hingga 2011. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik di antaranya; perbedaan etnis, agama, dan budaya yang sangat mencolok antara Sudan Utara dan Sudan Selatan. Diketahui bahwa masyarakat di wilayah selatan, melakukan penolakan terhadap penerapan hukum Islam di Sudan. Kesenjangan itu menjalar hingga persoalan ekonomi yang dipicu oleh korupsi, politik, dan pendidikan antara Sudan Utara dan Sudan Selatan.

Konflik dalam negeri telah menjadikan pemerintahan tak kunjung stabil. Salah satu pertikaian paling hebat yaitu yang terjadi antara pemerintah pusat di Khartoum Sudan Utara, dengan kelompok etnis di selatan. Diketahui bahwa Sudan Utara merupakan wilayah mayoritas muslim, di mana Sebagian penduduknya keturunan Arab. Sementara selatan, didominasi etnis kulit hitam, dari beragam suku yang sebagiannya adalah nonmuslim.

Seperti halnya negara-negara Afrika, Sudan pun terdiri dari beragam etnis, suku, budaya, wilayah, agama dan kepercayaan. Tidak ada etnis yang dominan, oleh sebab itu pemerintah menetapkan untuk mempersatukan perbedaan tersebut dengan diberlakukannya penerapan syariat Islam karena dianggap mampu menghadirkan stabilitas, tata kelola, serta pertumbuhan.

Hanya saja dipicu adanya pengaruh negara asing seperti Israel dan USA (sebagai penguasa peradaban), sehingga memunculkan benih-benih konflik, terutama terkait pengelolaan sumber daya alam hingga motif-motif berbau sektarian. Untuk itulah, Sudan terus berusaha dilemahkan baik itu melalui kekuatan militer, hingga menciptakan adu domba internal berdasarkan isu sara.

Kompleksitas problematik inilah yang menyebabkan Sudan terpuruk menjadi negara dunia ketiga, negara miskin yang bahkan untuk mengatasi permasalahan banjir langganan setiap tahun pun tak mampu.

Tak Cukup Hanya Bantuan Pangan

Untuk itu, tak cukup rasanya jika hanya memberikan bantuan pangan. Sebab yang paling mendasar dibutuhkan oleh Sudan adalah penyelesaian mendasar atas segala permasalahan yang dialami. Dimulai dari melepaskan diri atas cengkeraman hegemoni asing, kemudian melakukan stabilisasi negara lewat para pemimpin amanah yang bertindak sebagai (ra’in) atau pengurus urusan rakyat. Sehingga dari sana akan terwujud kemandirian dalam negeri baik itu secara ekonomi, sosial kemasyarakatan, pendidikan, hingga pemerintahan. Yang kelak dapat menciptakan terobosan-terobosan dalam bidang teknologi dan sains dan mampu mengatasi beragam permasalahan termasuk banjir tahunan.

Hanya saja, cita-cita itu sulit diwujudkan apabila Sudan masih menggunakan sistem buatan manusia sebagai landasan negaranya. Sebab akar dari segala macam kerusakan yang terjadi di negara tersebut, merupakan efek dari diterapkannya sistem sekuler kapitalisme. Sistem itulah yang menjadikan para pemimpin tidak amanah dalam mengurusi urusan rakyatnya, sementara di sisi lain para penjajah asing berhasil memecah belah persatuan rakyat lewat isu-isu sektarian.

Tak sampai di situ, adanya paham nasionalisme mengakibatkan negeri-negeri Islam lainnya, tak mampu memberi bantuan secara nyata atas dasar persatuan akidah. Yang dengannya dapat membentuk kekuatan global, sehingga mampu mengirimkan bantuan pangan, pengobatan, dan mengerahkan pasukan serta persenjataan guna stabilisasi keamanan di negara Sudan. Lagi-lagi nasionalisme telah melunturkan rasa persatuan dalam tubuh umat Islam, sebab menganggap bahwa permasalahan yang dialami negara lain itu bukan urusan negara kita. Jika pun ada yang memberi bantuan, itu hanya sebatas bantuan pangan saja, sementara pengaruh asing tak dapat dihilangkan sama sekali. Padahal, hegemoni asinglah yang menjadi sebab keterpurukan atas negara Sudan.

Mengatasi Banjir dengan Cara Islam

Menyoal peradaban manusia, hanya peradaban Islamlah dengan sistemnya yang agung yakni Khilafah Islamiah yang mampu memberi perlindungan terbaik atas seluruh warganya. Nyawa manusia adalah prioritas utama bagi Islam dalam menetapkan dan memutuskan suatu kebijakan. Sebab hal itu adalah merupakan bagian dari penjagaan terhadap nyawa manusia (hifdzu an nafs) yang menjadi bagian dari maqashidu asy syariah. Terlebih lagi perspektif negara dalam Islam adalah sebagai institusi yang meriayah (mengurusi) keperluan rakyat.

Paradigma inilah yang menjadi dasar perbedaan antara pemimpin dalam Islam dan kapitalisme. Pemimpin dalam Islam (Khalifah) tidak akan berpikir dua kali untuk merealisasikan tindakan teknis terkait mitigasi bencana. Ditambah lagi dengan sistem keuangan Islam yang berbasis pada Baitulmal, sehingga menjadikan negara memiliki penopang keuangan yang kuat dan stabil sehingga kuat pula dalam menghadapi bencana.https://narasipost.com/2020/10/31/akhiri-pengkhianatan-berkedok-normalisasi-dengan-khilafah-dan-jihad/

Negara dapat mengambil anggaran dari pos kepemilikan umum dan juga pos kepemilikan negara dari lembaga Baitulmal, maka permasalahan banjir akan lebih mudah teratasi dalam sistem Khilafah. Dalam rangka mencegah banjir, negara akan meneliti penyebabnya terlebih dahulu kemudian memetakan kawasan. Jika banjir disebabkan karena keterbatasan tanah dalam menampung air baik atas curahan hujan, gletser, rob, dan lain-lain. Maka Khilafah akan membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari sungai kemudian hujan, dan lain sebagainya. Bahkan, masih terdapat bukti-bukti fisik atas pembangunan bendungan yang pernah dilakukan semasa Khilafah Islamiah yang hingga kini masih terlihat. Adapun bentukan bendungan-bendungan itu dapat dibangun dengan berbagai tipe, yaitu ada yang digunakan untuk mencegah banjir atau keperluan irigasi. Salah satu di antaranya adalah Shadravan, kanal Darian, dan bendungan Jareh, kanal Gargar, serta bendungan Mizan yang terletak di Khuzestan daerah Iran selatan. Bendungan yang masih berdiri kokoh itu, dibangun demi kepentingan irigasi dan juga pencegahan banjir.

Adapun di daerah Spanyol, Khilafah pun berhasil membangun bendungan di sungai Turia. Yang mana kehebatan konstruksi bangunan itu masih bertahan hingga kini. Bendungan tersebut mampu memenuhi kebutuhan irigasi di Valencia Spanyol tanpa perlu ada penambahan sistem. Selain itu, Khilafah akan memetakan daerah rendah yang rawan terkena genangan air baik akibat rob, kapasitas resapan tanah yang minim dan lain-lain. Selanjutnya, Khilafah akan menetapkan kebijakan yang melarang masyarakat untuk membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut.

Bisa juga bila ada pendanaan yang cukup, maka Khilafah akan membangun kanal-kanal baru atau membuat resapan. Sehingga air yang mengalir di daerah tersebut dapat dialihkan alirannya, atau dapat diserap oleh tanah secara maksimal. Dengan cara ini maka, daerah dataran rendah dapat terhindar dari banjir atau genangan. Adapun daerah-daerah pemukiman yang awalnya aman dari banjir dan genangan akan tetapi disebabkan sesuatu dan lain hal sehingga mengakibatkan penurunan tanah, hingga terkena genangan atau banjir, maka Khilafah akan berusaha semaksimal mungkin untuk menangani genangan itu. Jika pun tidak memungkinkan maka Khilafah akan melakukan evakuasi pada penduduk di daerah tersebut kemudian dipindahkan ke daerah lain dan memberikan ganti rugi (kompensasi) kepada mereka.

Langkah selanjutnya, Khilafah akan mengeruk lumpur-lumpur di sungai atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan. Tak hanya sampai di situ, Khilafah pun akan melakukan penjagaan yang ketat atas kebersihan sungai, danau, dan kanal dengan cara memberi sanksi kepada siapa saja yang mengotori atau mencemarinya. Khilafah juga akan membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu, yang digunakan selain untuk resapan, juga sebagai tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan terutama pada musim kemarau atau paceklik air. Upaya mitigasi bencana banjir lainnya adalah Khilafah akan membuat kebijakan terkait master plan agar pembukaan pemukiman atau kawasan baru harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah resapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik dan topografinya.https://narasipost.com/2021/01/20/banjir-melanda-akibat-keserakahan-manusia-rakyat-jadi-korban/

Khilafah juga akan menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai wilayah hima atau cagar alam, yang wajib dilindungi. Terakhir, Khilafah akan menetapkan sanksi berat bagi siapa saja yang merusak lingkungan hidup tanpa pandang bulu. Cara-cara tersebut diakui sangat ampuh dalam mengatasi persoalan banjir. Misalnya pun ketika terjadi banjir maka, Khilafah memiliki badan khusus yang senantiasa sigap mengatasi bencana yaitu biro At-Thawari. Yang mana mereka akan dilengkapi dengan peralatan berat dalam rangka evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana.

Dengan demikian, persoalan yang dihadapi negara Sudan akan dapat teratasi secara komprehensif dan mendasar, jika para pemimpin negara tersebut mencampakkan sistem kapitalisme dan menggantinya dengan Khilafah Islamiah. Agar kehormatan, kesejahteraan, dan keamanan seluruh rakyat dapat terpenuhi.

Khatimah

Rasulullah shalallahu alaihi wassalam pernah bersabda:

تَكُوْنُ النُّبُوَّة فِيْكُمْ مَا شَاء اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُم يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاء أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّة فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا فَيَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُم تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

”Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian. Ia ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Lalu Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Lalu Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang zalim. Ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Kemudian Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan. Ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud ath-Thayalisi dan al-Bazzar)

Untuk itu bersabarlah wahai kaum muslimin, baik yang ada di negara Sudan maupun negeri-negeri Islam lainnya. Kuatkan serta rapatkan barisan kalian berdasarkan persatuan akidah. Teruslah mendakwahkan Islam kaffah di tengah-tengah umat, sebab tak lama lagi bisyarah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam akan menjadi nyata. Allahu Akbar![]

Merdeka itu Menghamba hanya pada-Nya

"Kondisi umat Islam saat ini belum benar-benar merdeka. Karena kemerdekan yang hakiki ialah ketika seorang hamba hanya menghamba pada Allah saja. Lalu, ingin diatur oleh syariat Allah karena syariat ada untuk kemaslahatan dunia secara global."

Oleh. Sherly Agustina, M.Ag.
(Kontributor NarasiPost.Com dan pemerhati kebijakan publik)

NarasiPost.com-Bulan Agustus identik dengan hari kemerdekaan, kata merdeka banyak diucapkan oleh warga negara tepatnya di tanggal 17 Agustus. Menarik apa yang diungkapkan oleh ulama hebat negeri ini tentang merdeka. “Mari kita berpahit-pahit, kaum muslimin belum pernah merasa puas dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban menjalankan syariat Islam dalam kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi kenyataan.” (Buya Hamka, Islampos, 2017).

Ya, merdeka yang sebenarnya belum dirasakan oleh umat Islam. Kata merdeka menurut KBBI yaitu bebas dari penghambaan. Merdeka sesungguhnya yang dimaksud adalah bebas dari penghambaan apa pun selain Allah. Merdeka itu tak terpenjara aturan selain-Nya. Karena bagi seorang muslim, menghamba itu hanya kepada Allah saja bukan yang lain. Allah Swt. berfirman yang artinya:

"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku." (TQS. Adz-Dzariyat: 56)

Kata ya'budun berasal dari kata 'abdun yang secara bahasa artinya hamba. Ya'budun bentuk fi'il mudhari (kata kerja sedang/akan), artinya menghamba atau seorang hamba beribadah. Beribadah yang dimaksud tentu kepada Allah bukan yang lain. Menjadikan hanya Allah saja yang layak disembah.https://narasipost.com/2021/01/04/puncak-bahagia-adalah-menghamba/

Di dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.: melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Adz-Dzariyat: 56) Yaitu agar mereka mengakui kehambaan mereka kepada-Ku, baik dengan sukarela maupun terpaksa. Demikianlah menurut apa yang dipilih oleh Ibnu Jarir.

Beribadah adalah aktivitas seorang hamba kepada Rabb-Nya. Menyembah, patuh dan taat hanya kepada Sang Pencipta. Manusia diciptakan oleh Allah memiliki misi agar beribadah, menyembah, dan menghamba hanya kepada Allah. Realitasnya, manusia banyak diperbudak dunia dan menghamba selain kepada Allah.

Terlena dengan dunia, menghalalkan segala cara hingga berbuat syirik demi meraih materi dunia yang kenikmatannya hanya sesaat. Tak sedikit yang akhirnya terjebak menghamba pada materi, dukun, jin, dan makhluk gaib lainnya. Pikirannya hanya tertuju pada pemuasan nafsu syahwat saja. Hingga melupakan misi utama diciptakannya manusia di dunia.https://narasipost.com/2020/12/25/ketika-inginku-tak-sesuai-takdirnya/

Tahukah jika kondisi ini seakan terkondisikan secara sistematis? Agar umat Islam khususnya, ternoda keimanannya tidak lagi menghamba hanya pada-Nya. Sekularisme telah membuat manusia menghamba pada dunia dan materi. Mengejar dunia yang begitu melenakan. Bahkan jika manusia menjadikan dunia di hatinya diperbudak dunia. Akhirnya, lupa pada tujuan hidupnya di dunia dan kewajiban berdakwah seperti yang pernah dicontohkan Baginda Nabi saw. dan para ulama setelahnya.

Maka, harus ada umat Islam yang sadar akan realitas yang buruk ini lalu berupaya untuk mengubahnya. Paling tidak secara pribadi jangan terjebak oleh sistem yang merusak akidah umat. Wahai umat Islam, sadarlah dengan segala tipu daya dunia yang melenakan. Kita punya tujuan, berharap suatu saat bisa bertemu dengan Allah.

Oleh karenanya, di dunia harus benar dalam beribadah dan menghamba. Menghamba yang sebenarnya hanya akan terwujud jika syariat-Nya diterapkan. Suasana yang ada yaitu suasana keimanan dan saling mengingatkan di jalan Allah.

Jika dikaitkan dengan kata 'merdeka', kondisi umat Islam saat ini belum benar-benar merdeka. Karena kemerdekan yang hakiki ialah ketika seorang hamba hanya menghamba pada Allah saja. Lalu, ingin diatur oleh syariat Allah karena syariat ada untuk kemaslahatan dunia secara global. Jika faktanya syariat belum diterapkan, maka berupaya agar penerapan syariat segera terwujud di muka bumi.

Bukankah memang dunia itu tempat berlelah-lelah bagi seorang mukmin? Maka jangan merasa lelah untuk terus berjuang mewujudkan kemerdekaan hakiki yaitu menghamba hanya pada-Nya dengan penerapan syariat-Nya. Sejatinya tempat istirahat yang paling indah bagi seorang mukmin adalah di surga-Nya. Tempat yang Allah janjikan bagi hamba-Nya yang patuh dan taat pada syariat-Nya.

Dakwah adalah aktivitas untuk mewujudkan penerapan syariat agar kemerdekaan hakiki bisa diraih. Dakwah yang mengingatkan kita pada jalan pulang ke kampung halaman, akhirat yang kekal abadi. Dalam perjalanan ini pastilah tidak mudah, penuh onak, duri, dan melelahkan. Benarlah apa yang diungkapkan oleh seorang ulama besar, Ibnul Qayyim rahimahullah: “Semua orang yang berakal bersepakat, bahwa kenikmatan tidak dapat diraih dengan kenikmatan.”

Allahua'lam bishawab.[]

Sandaran Ternyaman

"Sandaran ternyaman itu ada pada tali-Nya. Dialah yang menjanjikan jalan keluar untuk setiap permasalahan. Dialah yang menjanjikan kemudahan bagi setiap urusan. Dialah yang memberikan perlindungan dan pertolongan. Dialah yang memberikan kebaikan-kebaikan. Dialah yang menghapus kesalahan-kesalahan dan pahala dilipatgandakan. Dialah yang menjadikan surga sebagai balasan."

Oleh. Deena Noor
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.com-Ada di sampingku setiap hari
Jadi sandaran ternyaman
Saat kulelah, saat kulemah

Sayup kudengar syair lagu yang berasal dari gerai ponsel di sudut jalan itu. Liriknya menyentuhku. Tepat sekali menggambarkan diriku saat ini. Diam-diam kuseka air mata di balik debu jalanan yang kering.

Langkahku terasa melayang sesaat. Penat ini siapa yang bisa melenyapkan? Pedih hati siapa yang mampu mengobati? Kecewa yang meraja siapa yang kuasa mengubahnya menjadi asa? Tanyaku pada diri sendiri. Angin pun tahu jawabannya.

Kuperiksa kembali hatiku. Gerangan apa yang meniatinya selama ini hingga gulana sering bertandang. Aku tinggalkan jalanan yang ramai dan sibuk itu. Dengan damai yang mulai mengaliri jiwa, aku susuri setapak yang lengang. Kini, saatnya menepi. Bukan. Bukan untuk lari atau sembunyi, tetapi berintrospeksi.

Tak perlu banyak tanya untuk membuat hati lega. Cukup dengan menyadari siapa sesungguhnya kita di dunia. Kita tak lebih dari tamu yang singgah sementara waktu. Menetap sesaat lantas kembali pulang.

Di waktu yang singkat itu akan banyak episode yang harus dijalani. Suka dan duka, ujian dan cobaan, semua hanya satu bermuara. Kepada siapa kita meletakkan rasa? Untuk siapa kita merajut asa?

Mengisinya dengan hura-hura atau berupaya taat dengan segala coba? Pilihan kembali pada masing-masing diri. Namun, Dia telah menyebutkan siapa-siapa saja yang sungguh beruntung dan menuai bahagia sebenarnya. Dan, Dia tak pernah mengingkarinya.

Surga-Nya menjadi balasan terbaik bagi hamba beriman. Surga-Nya menjadi tempat impian. Di sanalah sebaik-baik tujuan.

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.
Surga yang dituju, tak cukup diraih dengan hanya berangan-angan.

Tempat terindah itu hanya bisa dicapai dengan tekad dan kesungguhan. Wajar bila perjalanan ke sana meniscayakan banyak aral rintangan. Hal yang telah ditegaskan oleh-Nya dalam surah Al-Ankabut ayat 2: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?”

Dalam perjalanan kita masing-masing akan ditemui beragam batu ujian. Ada yang besar menghalangi pandangan dan membuat hati gentar. Ada kerikil kecil yang membuat kaki tergelincir jika tak mawas diri. Akankah kita mampu menjadikannya pijakan untuk melompat lebih tinggi atau justru membenamkan diri dalam lumpur nestapa?

Perjalanan itu yang akan menghadirkan bermacam warna. Ada rona-rona ria yang mengguratkan senyum. Ada selaput hitam yang merundung menimpakan duka. Semua atas kehendak-Nya. Bagaimana melaluinya terserah kita. Setiap pilihan mengandung konsekuensi.

Lelah itu pasti. Lemah tak bisa dihindari. Seolah raga ingin berhenti, namun hati enggan mengikuti. Ada janji yang begitu diniati. Ada cita-cita agung yang menanti afirmasi. Saat itulah, di mana diri bersandar akan menentukan akhir posisi.

Siapakah sebaik-baik penolong dan tempat bersandar? Hasbunallah wa ni’mal wakiil. Tertulis dengan jelas dalam Kitabullah. “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan” merupakan sebuah pengakuan yang terpampang dalam Ummul Kitab. Begitulah ikrar yang kita baca setidaknya sehari lima kali dalam sujud. Sayangnya, kita tak benar-benar meresapinya. Kita sering terlupa.

Siapa yang berjanji dan tak pernah sekali pun mengingkari? Siapa yang mampu menggembirakan di saat kita benar-benar terpuruk? Kepada siapa kita mencurahkan segenap perasaan, bahkan saat lidah kelu? Siapa yang benar-benar mengenali diri kita dan tahu yang terbaik? Hanya satu jawabannya. Bintang dan bulan tahu benar siapa Dia sesungguhnya.

Sandaran ternyaman itu ada pada tali-Nya. Dialah yang menjanjikan jalan keluar untuk setiap permasalahan. Dialah yang menjanjikan kemudahan bagi setiap urusan. Dialah yang mencukupkan setiap keperluan. Dialah yang memberikan perlindungan dan pertolongan. Dialah yang memberikan kebaikan-kebaikan. Dialah yang menghapus kesalahan-kesalahan dan pahala dilipatgandakan. Dialah yang menjadikan surga sebagai balasan.

Bait-bait janji itu bertaburan dalam kalam suci. Bukan janji yang manis di bibir semata, melainkan diliputi dengan kebenaran. Beningnya hati pasti membenarkan.

Kita kelak bagai anai-anai yang bertebaran tak tahu arah saat sangkakala Israfil bergema. Tak secuil pun kekuatan yang kita miliki akan bertahan selamanya. Untuk apa menyombongkan hal yang tak benar-benar kita punya? Untuk apa menggenggam erat sesuatu yang pada akhirnya akan lepas jua? Begitu pula, untuk apa terlarut dalam kedukaan yang pasti ada pudarnya? Sama halnya tak perlu menjebakkan diri dalam euforia dunia.

Bila lelah, bila lemah, segera carilah tempat bersandar. Jangan menunggu hingga semuanya menjadi terlambat dan sulit untuk kembali menemukan jalan pulang. Ada rumah bahagia yang menanti di sana. Tempat orang-orang beriman berkumpul di surga-Nya. Wallahu a’lam bish-shawwab.[]

Macet Lagi, Bete!

"Masa kekhilafahan Islam bisa dijadikan contoh bagaimana prinsip perencanaan wilayah yang baik. Sebab, menangani macet bukan lagi sekadar persoalan teknis tapi butuh perombakan sistematis. Mulai dari perubahan cara pandang tentang kepengurusan umat sampai kemauan sungguh-sungguh untuk menerapkannya."

Oleh. Irma Sari Rahayu
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.com-Macet lagi jalanan macet
Gara-gara si Komo lewat
Pak Polisi jadi bingung
Orang-orang ikut bingung

Hai, Guys! Tau lagu "Si Komo" gak? Lagu anak-anak ini ngehits banget lho di tahun 90-an. Dengan musik yang ceria, Kak Seto, sang pencipta lagu dan karakter Si Komo mau menyampaikan tentang kondisi jalan yang suka macet.

By the way, masalah macet, kayaknya identik deh dengan negara kita, terutama di Jakarta. Hampir setiap hari terutama jam berangkat dan pulang kerja, jalanan penuh dengan kendaraan. Kalau sudah macet, Guys, bisa berkilo-kilo meter panjangnya dan stuck berjam-jam. Duh, nyebelin banget gak sih? Sudah gerah, capek, bete banget pokoknya!

Berbagai solusi sudah dilakukan. Mulai dari pelebaran jalan, jalan layang, underpass sampai aturan ganjil genap, tapi kayaknya belum keliatan deh kesaktiannya untuk mengurai macet. Hadeeh!

Baru-baru ini ada usulan dari Polda Metro Jaya untuk mengubah jam kerja kantor. Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Latif Usman mengusulkan jam keberangkatan pekerja di DKI Jakarta diatur agar gak menumpuk di waktu yang sama. Usulan Polda Metro Jaya ini diapresiasi dong sama Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria. Pak Wagub bilang mau dipertimbangkan sih usulan ini (cnnindonesia.com, 23/7/2022). Hmmm, efektif gak ya?

Tapi Guys, ternyata para pekerja di DKI Jakarta gak satu suara lho sama wacana ini. Biasalah, namanya juga usul, pasti ada yang pro dan kontra. Iya kan? Pengusaha pun angkat bicara. Ketua Umum Asoasiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani mengatakan, wacana pengubahan jam kerja itu gak efektif, karena kemacetan parah di Jakarta diakibatkan belum memadainya transportasi (CNBC.com, 12/8/2022).

Kenapa Jakarta Macet Terus?

Guys, kemacetan di Jakarta adalah salah satu persoalan serius di Jakarta selain banjir. Sudah beberapa kali ganti pemimpin, nyatanya Jakarta masih aja macet. FYI di tahun 2017, Jakarta pernah menduduki posisi ke-4 kota termacet di dunia lho. Parah gak tuh. Waktu itu, tingkat kemacetannya sebesar 61%. Peringkat ini makin membaik di tahun berikutnya sebesar 53% dan predikat kota termacet sedunia melorot ke peringkat 7.

Pada 2019 kemacetan Jakarta masih sama nih dengan tahun sebelumnya, yaitu 53%. Nah, perubahan signifikan terjadi pada 2020, di mana persentase kemacetan Jakarta turun jadi 36% dan tahun 2021 34%. Itu juga karena selama dua tahun kita mengalami pandemi dan adanya pembatasan mobilitas dengan aturan PPKM dsb. Perusahaan pun mengadakan sistem Work From Home dan pendidikan dilakukan secara daring. Kalau sekarang, Tom Tom Traffic Index mencatat, Jakarta ada di peringkat ke- 46 dunia (katadata.co.id, 2/3/2022).

Dirangkum dari berbagai sumber, coba kita urai nih, apa aja sih yang bikin jalan di Jakarta macet terus? Yuk chek this out!

1. Banyak kendaraan pribadi.
Dilansir dari Liputan6.com (26/1/2021), negara kita ada di urutan ketiga dalam jumlah kendaraan bermotor terbanyak di dunia setelah Cina dan Amerika Serikat. Jumlahnya fantastik lho, Guys mencapai 107.226.572 unit. Ck..Ck..Ck..Ck. Banyak banget!

Setiap hari, Jakarta kebanjiran 1130 unit kendaraan baru terdiri atas 240 mobil dan 890 sepeda motor. Wiihh, gak heran ya kalau jalan-jalan di Jakarta dan sekitarnya didominasi oleh sepeda motor.

Well, sebenarnya Islam juga gak melarang sih punya kendaraan pribadi lebih dari satu. Tapi kalau gak diatur ya bisa semrawut juga 'kan. Nah, upaya meminimalisasi banyaknya kendaraan pribadi di jalan raya, pemerintah seharusnya menyediakan transportasi massal yang aman, nyaman dan terjangkau untuk masyarakat. Memang sih, sudah ada Trans Jakarta, MRT atau KRL comutter line, tapi ternyata masih dirasa kurang memadai, Guys.

2. Jakarta pusat pusaran ekonomi.
Guys, harus diakui ya kalau Jakarta masih menjadi daya tarik penduduk kota penyangga untuk mengadu nasib. Beberapa kawasan bisnis dan ekonomi ada di Kota Jakarta. Sebut saja perkantoran di Jalan Sudirman, Kuningan, kawasan industri Pulo Gadung dsb. Nah, penduduk kota penyangga seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor banyak yang kerja di Jakarta. Alhasil, tiap pagi dan sore rame banget dengan mobilisasi pekerja keluar masuk kota Jakarta.

Nah, kondisi ini harusnya jadi perhatian serius pemerintah. Harus diupayakan supaya kegiatan ekonomi bisa tersebar rata di seluruh kota. Jadi masyarakat gak perlu jauh lagi untuk berangkat kerja.

3. Pengendara gak disiplin.
Ini nih yang suka bikin darting alias darah tinggi. Banyak banget kejadian macet justru gegara pengendara yang gak disiplin. Sudah tau lagi macet di satu jalur, eh gak sabar terus nerobos keluar antrean. Akhirnya malah nutup jalur yang lain. Apalagi kalau lampu lalu lintas mati, semua maunya duluan. Jadi tambah macet deh.

Benahi Tata Kota!

Guys, perencanaan sebuah kota harus benar-benar diperhitungkan dengan cermat dan sangat dipengaruhi dengan ideologi yang diemban sebuah negara lho. Kok bisa? Apa hubungannya? Tentu ada dong.

Prinsip ideologi kapitalisme yang saat ini kuat banget mencengkeram kita adalah dapat untung sebanyak-banyaknya. Asal bisa menghasilkan duit, ya do it. Pemerintah cuma dibutuhkan sebagai pihak legislator atau pembuat kebijakan, sementara yang berkuasa sebenarnya adalah pihak yang punya duit. Jadi gak heran kalau pembangunan infrastruktur terkesan cuma buat menguntungkan segelintir orang tapi gak bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Sementara sebuah negara yang mengambil semua kebijakannya berdasarkan perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya, punya prinsip memudahkan urusan rakyatnya sebagai bentuk tanggung jawab kepada Allah Swt. Sebagaimana doa Baginda Nabi saw.

"Ya Allah, barang siapa yang diberi tanggung jawab untuk menangani urusan umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah hidupnya. Dan barang siapa yang diberi tanggung jawab untuk mengurusi umatku, lalu ia memudahkan urusan mereka, maka mudahkanlah hidupnya." (HR Muslim)

Masa kekhilafahan Islam bisa dijadikan contoh lho bagaimana prinsip perencanaan wilayah yang baik bisa mengurangi kebutuhan transportasi. Dikutip dari laman Fahmi Amhar.com, ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan di situ dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.

Nah, berarti terbukti dong kalau pembangunan sebuah kota direncanakan dengan rapi maka gak akan terjadi mobilitas besar-besaran masyarakat yang akhirnya bikin crowded. Jadi, bagaimana menangani macet bukan lagi sekadar teknis tapi butuh perombakan sistematis. Mulai dari perubahan cara pandang tentang kepengurusan umat sampai kemauan sungguh-sungguh untuk menerapkannya. Masih mau bermacet-macet? Wallahu a'lam bishawab.[]