Turki: Antara Realita Sekularisme dan Masa Depan Dunia Islam

"Siapa pun yang berkuasa tak akan mampu memisahkan Turki dari sosok Ataturk. Turki hanya berganti nama menjadi negara sekuler modern. Turki tetap menerapkan konstitusi dan hukum sekuler yang mendominasi kehidupan masyarakat Turki saat ini."

Oleh. Miladiah al-Qibthiyah
(Wakil RedPel NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Tok! Akhirnya Turki resmi berganti nama dan dikenal dengan nama "Turkiye" di markas besar badan dunia PBB di New York. Menurut wartawan BBC News, Tiffany Wertheimer, PBB menyetujui perubahan nama yang diajukan pihak Ankara dalam pekan ini.

Kampanye yang diluncurkan presiden Recep Tayyip Erdogan pada 2021 akhirnya membuat sejumlah badan internasional diminta untuk mengubah nama negara itu. Ada dua alasan perubahan nama itu dilakukan. Pertama, karena nama itu diasosiasikan dengan burung turkey, kalkun, yang biasanya disajikan dalam hari-hari besar seperti Natal, Tahun Baru atau Thanksgiving.

Kedua, adalah merujuk pada definisi kamus bahasa Inggris Cambridge, bahwa kata itu memiliki arti "sesuatu yang sangat gagal" atau "orang bodoh atau konyol". Erdogan berpandangan bahwa perubahan nama menjadi Turkiye dapat menjadi perwakilan peradaban, budaya, ekspresi, dan nilai-nilai Negeri Anatolia itu.

Turki yang merupakan negara jejak peninggalan Kekaisaran Ottoman mengalami puncak kejayaan di masanya pada belasan abad silam. Bahkan para raja yang telah berjaya di tangan Ottoman menjadikan Istanbul sebagai kota idaman. Akankah perubahan nama Turki saat ini mampu mengembalikan kejayaan peradaban Islam sebagaimana moyangnya dahulu ataukah tetap kokoh dengan predikatnya sebagai "satu-satunya negara mayoritas muslim berbasis sekuler modern"?

Sejarah Singkat

Ditinjau dari aspek historis, peradaban Romawi di Anatolia, peradaban Islam di Arab dan Persia, serta pengaruh negara-negara Barat modern telah diwariskan bangsa Turki. Warisan-warisan tersebut hingga saat ini dapat ditemukan di Istanbul dan kota-kota lainnya di Turki. Yang paling terkenal adalah Hagia Sophia, sebuah gereja di masa Byzantium yang berubah fungsinya menjadi masjid pada masa Turki Utsmani dan sejak rezim Ataturk berkuasa dijadikan museum. Namun, per 24 Juli tahun lalu, Hagia Sophia resmi dibuka kembali menjadi masjid untuk penduduk muslim menjalankan salat. Sekitar 2.000 muslim, termasuk Presiden Erdogan hadir saat salat Jumat pertama yang dilakukan kala itu.

Flashback pada sejarah, Romawi rupanya bukanlah pewaris utama negara Turki, melainkan pengaruh Arab dan Persia yang menjadi warisan paling mendalam bagi masyarakat Turki. Islam telah mulai menjalar di wilayah kekuasaan kekhilafahan Turki Utsmani dengan membawa peradaban dua bangsa tersebut hingga kemudian berkembang lama di wilayah Persia.

Bisa dibilang Turki Utsmani telah bangkit dan berdiri mengangkang di Bosporus. Ibarat kata satu kakinya berada di Asia, sedang kaki lainnya di Eropa. Perluasan wilayah yang dilakukan tidak hanya menjadi pewaris kekaisaran Byzantium, tetapi juga mewarisi peradaban Islam bangsa Arab.

Namun, kejayaan Turki Utsmani lambat laun mulai meredup tak lama setelah wafatnya Khalifah Sulaiman. Sehingga kekuatan internal semakin lemah, disertai dengan keterbelakangan Turki di bidang militer,teknologi, dan administrasi karena memang saat itu kekhilafahan Turki Utsmani fokus pada ekspansi wilayah hingga lupa pada bagian integral dan krusial yang menunjang keberlangsungan peradabannya. Sejalan dengan itu, berbagai gangguan muncul dari luar, yaitu ketika Prancis, Inggris, Austria dan Rusia mulai melebarkan pengaruh mereka hingga menjadi tanda-tanda awal berakhirnya kejayaan peradaban ini.

Singkat cerita, lahir seorang tokoh pembaru yang hingga saat ini dikenal sebagai "Bapak Turki" di mata dunia karena keberhasilannya menyingkirkan kekhilafahan Turki Utsmani. Dia adalah Mustafa Kemal Ataturk. Ataturk dikenal sebagai sosok berpengaruh dan menjadi peletak dasar sekularisme di Turki, hingga kebijakan politik Ataturk ingin memutuskan hubungan Turki dengan sejarahnya yang lalu agar Turki dapat masuk ke dalam peradaban Barat.

Realita Sekularisme

Ketika rezim Kemal Ataturk memimpin, sekularisasi dan modernisasi berkembang di Turki. Ataturk begitu mendukung budaya westernisasi dan modernisasi bagi bangsa Turki. Ataturk adalah sosok pendukung sejati sekularisme yang sangat membenci bilamana ada pengaruh agama (Islam) dalam politik dan kehidupan sehari-hari. Sejumlah perubahan hukum dan konstitusi dibuat di masa awal jabatannya.

Pada 2 Maret 1924 silam, Ataturk mendorong beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) melalui parlemen baru. Dia mengakhiri kode hukum berdasarkan agama, membentuk satu sistem pendidikan umum, mengakhiri sekolah-sekolah agama, dan menghapuskan sistem kekhilafahan. Pergolakan perubahan yang terjadi ditantang oleh ulama Islam. Namun nahas, beberapa di antaranya dapat disahkan dengan mudah.

Parlemen kembali mengesahkan lebih banyak undang-undang yang terkait dengan agama, seperti mencabut larangan mengonsumsi alkohol dan mengurangi undang-undang tentang perceraian dan warisan. Ataturk membangun pemerintahan negara Turki dengan mengolaborasi kekuasaan kepresidenan yang berkiblat pada Amerika dengan sistem parlementer bergaya Eropa.

Ini adalah awal dari realita sekularisme yang mengaruskan hukum sekularisasi yang begitu luas dan mengubah Turki menjadi negara Eropa. Ataturk melarang pemakaian jilbab bagi wanita, mengakhiri poligami, dan mewajibkan pernikahan sipil. Ini adalah serangkaian perubahan politik yang mengarah pada perubahan sosial dan mengubah cara berkehidupan orang Turki.  

Tak bisa dimungkiri, realita sekularisme tersebut merupakan suatu bentuk pemaksaan dari rezim Ataturk. Sadar atau tidak, arus sekularisasi ditandai dengan peniruan pola perilaku masyarakat Eropa yang dianggap modern dan lebih maju menurutnya. Doktrin sekularisme diterapkan sebagai satu kebijakan politik, konstitusi, pendidikan, agama dan budaya. Meskipun saat itu tidak sepenuhnya mendapat persetujuan dari semua masyarakat muslim sebab dinilai sebagai upaya berbahaya untuk memisahkan berbagai bidang dari agama, namun kuatnya pemikiran fundamental Ataturk memaksa agar Turki saat itu berganti ideologi.

Hingga saat ini, baik budaya maupun peradaban Turki meniru gaya Eropa. Tata cara berperilaku dan berpakaian pun tak luput dari budaya Eropa. Rezim Turki tidak lagi menganggap Islam sebagai peradaban. Padahal Islam diturunkan sebagai din, yang sejatinya telah memiliki konsep menyeluruh sebagai sebuah peradaban.

Tak Ada Perubahan Signifikan

Perubahan nama Turki di markas besar PBB sejatinya tidak akan mampu mengembalikannya menjadi negara yang berbasis pada struktur hukum/pemerintahan Islam. Melihat sepak terjang Ataturk mereformasi nagara Turki menjadi negara sekuler, pun Erdogan menyampaikan pidato yang sama saat berkunjung ke Mesir ketika Ikhwanul Muslimin berkuasa setelah tumbangnya rezim Husni Mubarak. Dalam pidatonya disampaikan, "Jika Mesir mau maju hendaknya memilih jalan sekularisme."

Siapa pun yang berkuasa tak akan mampu memisahkan Turki dari sosok Ataturk. Turki hanya berganti nama menjadi negara sekuler modern. Turki tetap menerapkan konstitusi dan hukum sekuler yang mendominasi kehidupan masyarakat Turki yang ada saat ini.

Instrumen politik Turki tetap menginginkan Turki ramah terhadap semua agama dan kelompok dan tidak menjadikan agama sebagai alat justifikasi politik. Meski rezim Erdogan tetap mendapatkan dukungan kuat dari basis muslim konservatif, akan tetapi di lain sisi Erdogan juga menunjukkan loyalitasnya pada sekularisme. Hal ini terbukti dari kebijakan rezim Erdogan tidak pernah mengotak-atik konstitusi Turki yang masih berpedoman pada rezim Ataturk.

Turki diharapkan mampu menjadi contoh bagi negara mayoritas muslim yang lain dalam menampakkan keserasian antara Islam, demokrasi, dan negara sekuler. Sampai hari ini konstitusi dan perundang-undangannya pun masih sekuler. Bahkan untuk melakukan demokratisasi, reformasi di Turki perlu melembagakan pemisahan yang jelas antara Islam dan negara.

Begitu kuatnya pengaruh sekularisme hingga memberi kebebasan pada muslim, bahkan memperkuat kebebasan beragama di Turki. Turki masih berupaya merelasi Islam, sekularisme, dan demokrasi. Sekularisme ala Turki adalah yang berjalan dengan modernisasi agama yang diartikan sebagai paham di mana negara memosisiskan secara adil agama yang ada. Negara tetap akan menjaga netralitas terhadap agama dan memberi kesempatan yang sama kepada agama-agama yang ada untuk berpartisipasi dalam urusan publik.

Upaya Menghapus Bayang Sekularisme

Akar persoalan yang menyerang sendi-sendi kehidupan umat Islam adalah terkaman paham sekularisme yang begitu kuat menancap dalam sistem demokrasi. Menghapus paham sekularisme hanya bisa dilakukan ketika umat Islam menumbuhkan kepekaan terhadap problematika kehidupan. Umat Islam tidak boleh diam. Mereka harus mengambil peran untuk mengajari umat agar selalu melakukan amar makruf nahi mungkar dalam kondisi apa pun. Rasulullah Muhammad saw., berkata dalam hadisnya,

"Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu, dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman." (HR Muslim).

Salah satu aktivitas amar makruf adalah menanamkan pemahaman Islam kaffah kepada umat manusia, khususnya umat Islam. Dari sini umat Islam tidak terjebak hanya sekadar mengamalkan sebagian ajaran Islam saja, namun mengamalkan seluruh ajaran Islam di setiap aspek kehidupan. Termasuk menjadikan Islam sebagai konsep dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadikan Islam sebagai landasan dalam merumuskan berbagai kebijakan dan kemaslahatan bagi masyarakat.

Umat harus mulai membangun kesadaran politik dengan menanamkan akidah Islam yang kokoh di benaknya. Mereka harus paham ke mana arah perjuangan politik Islam, mengkaji dan menelaah setiap peristiwa politik yang terjadi baik dalam negeri maupun luar negeri, tentunya berangkat dari analisis mendalam dengan sudut pandang Islam. Dari sini umat secara sadar mampu mengindra pergolakan politik yang terjadi, hingga memahami adanya campur tangan Barat yang sedang bermain di tubuh umat Islam.

Tidak ada lagi cara yang patut dilakukan untuk menghapus paham sekularisme dalam sistem demokrasi selain menerapkan sistem Islam yang datangnya dari Sang Pemilik Kehidupan. Penerapan syariat Islam adalah satu-satunya jalan untuk menghentikan berbagai bentuk serangan pemikiran sekuler Barat terhadap Islam. Syariat Islam akan menindak tegas apa pun bentuk serangan terhadap Islam. Dengan ini, bayang-bayang sekularisme yang mencengkeram di sebagian wilayah negeri mayoritas muslim di dunia akan lenyap.

Masa Depan Dunia Islam

Sesungguhnya masa depan dunia Islam akan terwujud jika ada kesadaran di dalam diri umat bahwa di tengah-tengah mereka telah terjadi kerusakan. Kesadaran yang dimaksud di sini adalah kesadaran ideologis. Bahwa ketika terjadi kesalahan berulang maka tidak lain yang dibutuhkan adalah solusi mendasar yang bersifat fundamental. Solusi mendasar ini bukan hanya sekadar pergantian rezim, akan tetapi mesti ada perubahan sistem yang akarnya berasal dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.
 
Keruntuhan Khilafah Utsmani oleh Mustafa Kemal Atarturk pada 3 Maret 1924 silam, membuat umat Islam di berbagai belahan dunia mengalami penindasan demi penindasan. Hal ini terjadi lantaran lemahnya kekuatan umat Islam saat itu. Maka tugas kaum muslimin di seluruh dunia hari ini adalah membangkitkan kembali ghirah perjuangan umat Islam. Ghirah perjuangan umat Islam ini harus sampai pada keberhasilannya membangun peradaban dunia yang tegak di atas ideologi Islam.

Ketika itu terwujud, maka tak ada lagi sikap umat Islam yang bergantung pada Barat. Produk-produk pemikiran Barat sepert HAM (Hak Asasi Manusia), sekularisme, demokrasi, dan lainnya tidak akan lagi mampu merasuki pemikiran umat Islam. Umat Islam kaya akan tsaqafah Islam. Kekayaan ini tidak pernah dimiliki oleh agama dan ideologi mana pun selain Islam. Kekayaan tsaqafah inilah yang akan menjadikan Islam kembali menjadi mercusuar peradaban di dunia. Wallaahu a'lam bi ash-shawab.[]

Agar Lansia Bahagia

"Memang saat ini banyak sekali lansia yang merana. Mereka tidak merasakan kebahagiaan di hari tua. Padahal, mereka telah berkorban untuk anak-anak mereka dalam menggapai cita-cita."


Oleh. Mariyatul Qibtiyah, S.Pd.
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Dahulu mungkin kita berdaya
Memaculi bumi dan menoreh semesta
Menjadi pribadi beradab dan berkharisma
Tetapi kini ketika kerapuhan mendera rangka-rangka
Garis lintasan waktu pun tidak selurus pada awalnya

Puisi karya Panji Bhuana ini menggambarkan bagaimana kiprah para lansia di masa muda. Namun, ketika usia senja mulai menyapa, tubuh mereka pun lemah tak berdaya. Jangankan untuk mencangkul, untuk menopang tubuh renta mereka saja, mereka tak mampu.

Namun, bukan berarti mereka kemudian ditinggalkan. Betapa pun, merekalah yang telah membuka jalan bagi kesuksesan kita. Mereka adalah orang-orang yang telah berjuang untuk generasi yang sekarang.

Sejarah Hari Lansia

Agar jasa para lansia itu tak dilupakan, pemerintah pun berinisiatif untuk memberikan perhatian pada para lansia dengan menetapkan tanggal 29 Mei sebagai HLUN (Hari Lanjut Usia Nasional). HLUN diperingati pertama kali pada tahun 1996 di Semarang. Hal ini ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan. Perpres ini menjadi landasan bagi pemerintah untuk memberikan perhatian khusus kepada para lansia agar mereka mandiri, sejahtera, dan bermartabat.

Tujuan dari diperingatinya hari lansia adalah untuk mengapresiasi semangat serta peran para lansia dalam mempertahankan kemerdekaan. Demikian pula dengan peran mereka dalam mengisi kemerdekaan serta memajukan bangsa.

Semangat untuk mempertahankan kemerdekaan itu salah satunya ditunjukkan oleh Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat yang memimpin sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945. Saat itu, ia menjadi anggota yang paling sepuh, yang dengan kearifannya memandang pentingnya filosofi dasar negara.

Peringatan HLUN tahun ini diadakan di Kabupaten Tasikmalaya. Ada banyak kegiatan yang dilakukan dalam memperingati HLUN tahun ini. Kegiatan-kegiatan itu adalah layanan kesehatan, renovasi rumah lansia, operasi katarak, pemberian bantuan kursi roda, kacamata, alat bantu dengar, serta tongkat pintar, bantuan sembako, obat-obatan, dan sebagainya. (detik.com, 27/5/2022)

Dalam HLUN ke-26 tahun ini, tema yang diangkat adalah "Lansia Sehat, Indonesia Kuat". Tema ini diangkat karena lansia cenderung mengalami penurunan kualitas kesehatan. Hal ini dapat terjadi karena faktor alamiah, maupun penyakit yang mereka derita.

Dengan meningkatkan layanan kesehatan bagi lansia, diharapkan akan memperbaiki kualitas kesehatan mereka. Dengan demikian akan meningkatkan angka harapan hidup mereka. Peningkatan layanan kesehatan ini ditandai dengan kemudahan dalam mengakses sarana dan prasarana kesehatan, peningkatan asupan gizi, serta berkurangnya angka kesakitan.

Di samping itu, pada umumnya, lansia merupakan kelompok tidak produktif. Mereka tidak lagi bekerja sehingga tidak mampu membiayai hidup mereka. Karena itu, mereka pun bergantung kepada anaknya atau orang yang lebih muda.

Kapitalisme Penyebab Penderitaan Lansia

Pada tahun 2020, jumlah lansia di Indonesia mencapai 28 juta jiwa atau sekitar 10,7 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat karena saat ini Indonesia berada pada fase penuaan penduduk (ageing population). Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. (umg.ac.id, 29/5/2022)

Pada tahun 2024, Badan Pusat Statistik memprediksi, jumlah lansia di Indonesia akan meningkat menjadi 20%. Kemudian pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 25%. Ini berarti dari empat orang akan ada satu orang lansia.

Sayangnya, sebagian besar dari mereka berada di bawah garis kemiskinan. Di samping itu, banyak juga yang mengalami tindak kekerasan. Mulai dari kekerasan fisik, ekonomi, hingga kekerasan seksual. Data SPHNP (Survei Pengalaman Hidup Nasional Perempuan) menunjukkan bahwa pada tahun 2016, perempuan yang berusia 50-64 tahun yang mengalami kekerasan ekonomi sebesar 17,25%. Sedangkan yang mengalami kekerasan seksual mencapai 24,43%.

Lansia yang bekerja pun tidak sepenuhnya sejahtera. Sebesar 84,29% bekerja di sektor informal. Mayoritas dari mereka mendapat imbalan yang kurang layak. Mereka juga kurang mendapat perlindungan sosial dan tidak terpenuhi hak-hak mereka sebagai pekerja. (blog.jangkau.id, 23/10/2021)

Memang saat ini banyak sekali lansia yang merana. Mereka tidak merasakan kebahagiaan di hari tua. Padahal, mereka telah berkorban untuk anak-anak mereka dalam menggapai cita-cita. Rendahnya kesejahteraan lansia ini tidak terlepas dari sistem yang diterapkan saat ini. Sistem kapitalis telah menjadikan manusia kehilangan nurani. Hanya materi yang menjadi satu-satunya tujuan.

Karena itu, segala sesuatu pun diukur berdasarkan manfaat, yaitu seberapa banyak materi yang akan mereka peroleh. Tidak ada nilai moral maupun spiritual dalam konsep mereka. Padahal, tidak setiap yang dilakukan oleh manusia bertujuan untuk mendapatkan materi. Ada kalanya manusia ingin menunjukkan eksistensi dirinya, sehingga ia berbangga dengan hasil jerih payahnya. Ada pula yang melakukan sesuatu karena aspek sosial ataupun ruhiyah yang tidak mempertimbangkan perolehan materi.

Di samping itu, kapitalisme juga menjadikan distribusi kekayaan berdasarkan harga. Artinya, harga baranglah yang akan menentukan apakah seseorang berhak untuk mendapatkan kekayaan atau tidak. Harga juga yang menentukan
seberapa besar kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya. Karena itu, akan ada anggota masyarakat yang tidak mendapatkan kekayaan karena ketidakmampuannya membeli barang akibat tingginya harga. Hal itu sebagai akibat dari kecilnya pendapatan atau tidak adanya pendapatan sama sekali.

Wajarlah, jika para lansia yang tidak mampu bekerja harus pasrah menerima nasib mereka. Sebab, mereka tidak berinvestasi apa pun dalam proses produksi barang dan jasa. Karena itu, mereka tidak berhak untuk memperoleh kekayaan dalam rangka memenuhi kebutuhan.

Maka, banyak kita jumpai orang tua yang ditinggalkan oleh anak-anaknya di masa tuanya. Ada yang merana sendiri di rumah. Ada pula yang dititipkan di panti jompo. Hal itu karena orang tua dianggap tidak berguna lagi karena tidak menghasilkan apa pun. Bahkan, keberadaan mereka dianggap sebagai beban oleh anak-anaknya.

Di sisi lain, sistem kapitalis juga memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki kekuatan untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Para pemilik modal akan memproduksi barang yang mendatangkan banyak keuntungan dan memaksa masyarakat untuk membeli produk mereka dengan harga tertentu. Mereka tidak akan memperhatikan apakah hal itu akan menyulitkan masyarakat ataukah tidak. Hal ini dapat kita lihat dari mahalnya harga minyak goreng, BBM, dan sebagainya.

Adanya kekurangan dalam sistem ini, membuat para penguasa berusaha untuk menambalnya. Di antaranya dengan menetapkan harga, memberikan subsidi, memberikan bantuan sosial, dan sebagainya. Misalnya penetapan harga minyak goreng, subsidi pada BBM, serta pemberian bantuan langsung tunai kepada masyarakat yang kurang mampu.

Hal ini jelas tidak menyelesaikan persoalan. Sebab, akar masalahnya belum tersentuh. Akibatnya, solusi yang diberikan tidak pernah benar-benar menyelesaikan masalah.

Islam Menyejahterakan Lansia

Islam mewajibkan kita untuk memenuhi hak-hak para lanjut usia. Hal ini tidak terbatas pada lansia di keluarga kita, tetapi juga semua lansia. Baik mereka termasuk keluarga atau bukan. Ada beberapa kewajiban kita terhadap mereka, yaitu:

Pertama, menghormati dan memuliakan mereka. Rasulullah saw. bersabda dalam hadis riwayat Imam Ahmad dan Tirmidzi,

إن من إجلال الله إكرامَ ذي الشيْبَة المسلم

"Sesungguhnya termasuk pengagungan terhadap Allah adalah memuliakan orang-orang lanjut usia yang muslim."

Bentuk penghormatan itu misalnya berupa ucapan yang baik dan lembut, sapaan yang baik, bersabar mendengarkan cerita mereka, dan sebagainya.

Kedua, mengucapkan salam terlebih dahulu dan mendahulukan mereka.

Ketiga, memperhatikan kondisi kesehatan dan merawat mereka. Semakin tua seseorang, akan semakin lemah kondisi tubuhnya. Hal itu akan memengaruhi kesehatan mereka. Allah Swt. telah mengabarkan hal ini melalui firman-Nya dalam Surah Ar-Rum [30] ayat 54 dan Surah Al-Hajj [22] ayat 5.

Karena itu, kita diperintahkan untuk merawat dan melayani mereka. Tanpa mereka, kita tidak akan pernah lahir ke dunia. Tanpa mereka pula, kita tidak akan berarti apa-apa. Jasa mereka, terutama ibu, tidak akan pernah mampu kita balas, meskipun kita telah merawat mereka di hari tua. Karena itu, dalam surat Luqman [31] ayat 14, Allah Swt. memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik kepada orang tua. Termasuk dalam hal ini adalah memberi nafkah kepada orang tua yang tidak mampu lagi untuk bekerja.

Keempat, mendoakan dan memohonkan ampun untuk mereka.

Ini adalah kewajiban individu terhadap para orang tua yang telah ditetapkan oleh Islam. Kewajiban ini tidak akan dilaksanakan dengan baik jika tidak didukung oleh negara. Misalnya, kewajiban merawat orang tua tidak akan terlaksana jika si anak tidak memiliki pekerjaan. Demikian pula, jika fasilitas kesehatan tidak memadai.

Karena itu, kewajiban negaralah untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang harus menanggung nafkah. Jika ternyata mereka yang berkewajiban tidak mampu menafkahi orang tua, maka negara yang harus menanggung nafkahnya. Dana untuk itu dapat diambilkan dari Baitulmal.

Demikian pula, negara harus memberikan layanan kesehatan yang lengkap dan gratis. Layanan kesehatan yang lengkap akan memudahkan anak-anak dalam merawat orang tua mereka. Di samping itu, sarana dan prasarana kesehatan itu harus mudah dijangkau oleh masyarakat.

Demikianlah, Islam telah mengatur berbagai hal agar para lansia dapat hidup bahagia. Dengan dijalankannya hukum syarak yang berkaitan dengan ini, maka membahagiakan orang tua tidaklah sesulit yang dilakukan seperti saat ini. Dengan demikian, negara akan siap menghadapi ageing population. Pada saat yang sama, para para lansia akan berbahagia menikmati hari tua mereka.

Wallaahu a'lam bishshawaab.[]


Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirm tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Sandiwara Politik di Panggung Pemilu, Benarkah Menuju Indonesia Lebih Maju?

"Seharusnya sudah saatnya rakyat membuka mata, membaca kebenaran dan kejanggalan yang ada. Sudah saatnya kita mencium aroma kepentingan berbalut politik licik para pemain sandiwara politik di panggung pemilu. Sudah saatnya rakyat bangkit dari keterpurukan, bebas dari kepentingan penguasa serakah dan terlepas dari belenggu sistem batil yang tidak memanusiakan manusia."

Oleh. Ati Nurmala
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Partai politik layaknya perahu bagi pasangan calon yang hendak mencalonkan diri dalam pemilu. Partai politik merupakan organisasi yang mengordinasikan para pasangan calon untuk bersaing dalam pemilihan umum dan berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi politik. Karena untuk bisa menjadi pemenang dalam pemilu (Pemilihan umum) serta bisa menguasai pemerintahan, baik kepala daerah, presiden ataupun pimpinan lainnya partai politik harus bisa menyosialisasikan partainya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat sebanyak mungkin. Sebuah parpol harus bisa meyakinkan kepada publik bahwa partai politiknya berjuang untuk kepentingan umum dan masyarakat.

Maka, untuk mendapat dukungan tersebut dinilai perlu bagi partai politik membentuk koalisi atau kerja sama demi mendapat suara terbanyak pada pemilu yang akan dilangsungkan. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu saat ketua umum partai Golkar, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa partainya resmi menjajaki koalisi dengan dua partai lainnya. Pada pertemuan yang digelar di rumah Heritage Jakarta, Kamis (12/5/2022), ketiga partai yang menyepakati untuk melakukan kerja sama ini antara lain Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mereka menyebut keputusan untuk membangun koalisi ini bukan tanpa pertimbangan matang. Hasil pemilu legislatif (Pileg) 2019 yang menjadi acuan sekaligus menjadi syarat koalisi ini dianggap telah memenuhi kriteria untuk mengusung Capres (Calon presiden) dan Cawapres (Calon wakil presiden) pada pemilu 2024 mendatang. Sebagaimana syarat yang tertulis dalam pasal 221 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan Teknis lainnya dapat diusulkan parpol atau gabungan parpol. Sedangkan syarat yang tercantum pada pasal 222 bahwa parpol atau gabungan parpol harus memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional pada (Pileg) pemilu legislatif sebelumnya. Dalam hal ini, ketiga partai yang bergabung menjalin kerja sama mereka dengan nama Koalisi Indonesia Bersatu itu telah mengalkulasikan secara rinci bahwa harapan memenangkan pemilu 2024 sangat tinggi.

Grafik hasil Pileg 2019 menunjukkan, partai Golkar mendapatkan 85 kursi di parlemen setara dengan 14,7 persen. PAN mendapatkan 44 kursi di Senayan setara dengan 7,6 persen. Sedangkan PPP berada di bawah PAN dengan capaian 19 kursi di parlemen atau 3,3 persen. Berdasarkan UU Pemilu, Koalisi Indonesia Bersatu bisa mengusung paslon Capres dan Cawapresnya pada Pilpres 2024. Sebab, jumlah kumulatif perolehan kursi dari ketiga partai tersebut di parlemen adalah 26,82 persen. Sementara itu berdasarkan suara nasional, koalisi ini mendapatkan 23,93 persen. Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa ketiga partai ini sepakat bakal melanjutkan program-program dari kepemimpinan presiden sebelumnya. Meski koalisi telah terbentuk, tapi Wakil Ketua DPP PPP, Arsul Sani, menyebutkan sejauh ini pembicaraan mengenai Capres dan Cawapres belum dibahas. Hal ini sebagaimana yang dituturkan Asrul, "Setelah hal-hal yang menyangkut platform koalisi tersebut bisa diselesaikan, maka baru kita membicarakan soal paslon yang akan diusung,” kata Arsul kepada Kompas.com, Jumat (13/5/2022).

Sebenarnya berbagai fenomena yang menghiasi perjalanan politik negeri ini tak lepas dari asas kepentingan semu penguasa. Sebab dalam demokrasi asas politik adalah kepentingan dan manfaat bukan yang lain. Fenomena koalisi jadi oposisi atau oposisi masuk koalisi dalam politik demokrasi saat ini lumrah terjadi. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komaruddin, “Tidak ada makan siang gratis. Tidak ada koalisi yang tulus. Semua berbalut kepentingan dan saling mendukung.” ini menekankan bahwa dalam politik tidak ada kebaikan yang cuma-cuma, semua ada nilai dan timbal baliknya. Dalam politik tidak ada lawan yang abadi, tapi kepentingan yang abadi. Parpol yang tadinya menentang menyatakan pendapat atau mengkritik kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa kini bungkam. Sebab politik di bawah naungan sistem demokrasi hanya akan berjalan di atas prinsip politik transaksional. Sudah fitrah bawaan politik demokrasi hanya berputar pada koalisi, jatah kursi, dan kepentingan kelompok lainnya. Maka, sudah pasti mereka yang menentang pun memilih untuk mengamankan kursi.

Faktanya, dalam demokrasi saat ini tidak ada pertai politik yang benar-benar berjuang untuk kemaslahatan rakyat. Mereka menempatkan rakyat sebagai alat mendulang suara untuk menjadi penguasa, suara rakyat dibutuhkan pada saat kompetisi pemilu berlangsung. Setelahnya suara mereka terabaikan, tak peduli sesering apa rakyat melakukan demonstrasi sebagai wujud aspirasi, tidak mengubah apa pun dan tidak ada pergerakan apa pun untuk memenuhi tuntutan rakyat tersebut. Bahkan sejak jauh-jauh hari saat musim pemilu para partai politik seolah menampakkan kepedulian mereka untuk membangun opini umum tentang partainya yang menjadikan kepentingan rakyat hal utama untuk menciptakan kesejahteraan. Namun, ini lagi-lagi untuk merebut suara rakyat demi memenangkan pemilu. Semuanya hanya formalitas belaka, mereka menggunakan janji manis untuk mendapat kepercayaan dan dukungan masyarakat agar memperoleh suara terbanyak saat pemilu. Bukan yang lain.

Seharusnya sudah saatnya rakyat membuka mata, membaca kebenaran dan kejanggalan yang ada. Sudah saatnya kita mencium aroma kepentingan berbalut politik licik para pemain sandiwara politik di panggung pemilu. Sudah saatnya rakyat bangkit dari keterpurukan, bebas dari kepentingan penguasa serakah dan terlepas dari belenggu sistem batil yang tidak memanusiakan manusia. Bagaimana tidak, di saat rakyat berjuang menanggung beban pajak yang kian meningkat, harga bahan pokok yang terus meroket, beragam penyiksaan dan penindasan yang tiada berujung, tapi mereka yang duduk di parlemen sebagai wakil rakyat justru sibuk berebut kursi kekuasaan. Mereka lebih sibuk mengurusi persiapan pemilu dari pada mengurusi kebutuhan dan permasalahan yang berkecamuk di masyarakat. Di mana letak nurani para pejabat? Pilpres akan dilaksanakan dua tahun lagi, tapi parpol dan wakil rakyat sudah sibuk berdiskusi dan berkoalisi lebih dini. Padahal mengurusi Covid-19 yang kian bercabang pun tak kunjung teratasi. Hasrat kekuasaan dan cinta dunia telah mematikan empati dan hati nurani mereka yang diamanahi mengurusi kemaslahatan umat.

Demikianlah gambaran partai politik yang lahir dari sistem demokrasi sekuler. Berbeda dengan partai politik di bawah naungan daulah Islam. Dalam Islam partai politik berperan untuk melakukan perubahan masyarakat yaitu membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar. Partai politik yang benar adalah partai yang menyandarkan fikrah (pemikiran) dan thariqah (metode) pada asas yang benar. Karena jika asasnya salah, maka dapat dipastikan arah gerakan partai tersebut juga salah. Maka orang-orang yang bergerak dalam partai tersebut haruslah memiliki kesadaran dan kehendak yang benar. Ikatan yang mengikat mereka harus berbasis Islam bukan sekadar ikatan organisasi apalagi sekadar kepentingan.
Jika partai yang dibangun berbasis ideologi yang benar, mereka akan meraih dan menempuh tujuannya berdasarkan asas tersebut. Tujuan partai politik yang sahih adalah untuk mendidik dan membina umat dengan pemahaman yang lurus yang sesuai dengan perintah Allah Swt.

Asas partai politik Islam dibangun atas empat asas, yakni:

Pertama, fikrah atau pemikiran yang benar. Kedua, thariqah atau metode yang ditempuh partai untuk mencapai tujuannya. Ketiga, anggota-anggota partai dan sejauh apa keyakinan mereka terhadap fikrah dan thariqah. Keempat, cara untuk menyatukan masyarakat dengan partai tersebut. Oleh karena itu, tugas partai politik Islam yang sahih adalah mengembalikan kehidupan Islam dan mewujudkan kebangkitan pemikiran Islam ke tengah-tengah umat dan menyebarkan dakwah Islam keseluruhan penjuru dunia.

Keberadaan kelompok atau partai diperintahkan Allah Swt. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 104,
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan orang-orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan merekalah orang-orang yang beruntung."

Dalam ayat tersebut keberadaan kelompok yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar merupakan kewajiban. Aktivitas politik terwujud pada kegiatan amar makruf nahi mungkar yakni menyeru kepada Islam dan mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar. Apabila ada penguasa yang kebijakannya tidak sesuai hukum syarak dan tidak sesuai dengan kepentingan umat maka partai politik akan meluruskan, bukan diam apalagi mendukungnya melakukan kemaksiatan. Amar makruf nahi mungkar ini ditujukan kepada umat juga kepada penguasa yang menjalankan kekuasaannya. Inilah tugas partai politik yang sesungguhnya, bukan alat untuk memuaskan hasrat kepentingan dan meraih kekuasaan belaka. Tapi untuk membimbing umat agar mereka kembali kepada Islam rahmatan lil'alamin. Mengajak mereka untuk mengenal Islam sebagai satu-satunya solusi tuntas atas setiap permasalahan dan membuat mereka merindukan tegaknya keadilan serta berupaya untuk mengembalikan lagi kehidupan Islam ke tengah-tengah masyarakat.
Wallahu a’lam bishowab.[]

Menilik Sikap Antikritik di Balik Pemerintahan Kapitalistik

"Dari apa yang dilakukan Ketua DPR dalam rapat menjadi gambaran nyata sosok penguasa dalam sistem kapitalis yang terkesan antikritik. Dewan Perwakilan yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat nyatanya tidak bebas bersuara ketika hendak menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan penguasa."

Oleh. Irma Faryanti
( Kontributor NarasiPost.Com )

NarasiPost.Com-Seolah tak lelah menuai kontroversi, ketua DPR Puan Maharani kembali beraksi. Dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada hari Selasa 24 Mei lalu, cucu proklamator RI tersebut kembali mematikan mikrofon anggota dewan yang tengah melakukan interupsi, dengan alasan rapat sudah berlangsung selama tiga jam. (Tribun-Timur.com, Rabu 25 Mei 2022)

Ini adalah kali ketiga Puan melakukan aksi serupa. Sebelumnya ia pernah mematikan mikrofon anggota komisi X dari fraksi PKS, Fahmi Alaydroes, saat membahas persetujuan Jenderal Andika Perkasa sebagai panglima TNI. Juga pada rapat pengesahan UU Cipta kerja, anggota DPR RI dari partai Demokrat, Irwan Fencho pun mengalami nasib yang sama.

Menanggapi hal tersebut, Lucius Karius selaku Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebutnya sebagai suatu sikap otoriter yang bisa merugikan Puan sendiri. Padahal aturan tata tertib DPR sendiri telah memberi izin bagi anggota dewan untuk melakukan interupsi. Jadi, tidak ada yang salah dari sikap anggota dewan yang mengungkapkan pendapatnya walaupun isi interupsinya kadang tidak sesuai dengan topik yang tengah dibahas, namun tidak ada salahnya didengarkan terlebih dahulu.

Apa yang disampaikan Lucius berbeda dengan Wakil Ketua DPR RI, Aziz Syamsuddin. Ia menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Puan adalah tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin untuk menertibkan jalannya rapat. Terlebih, pihak yang melakukan interupsi sebelumnya telah diberi kesempatan untuk berpendapat.

Dari apa yang dilakukan Ketua DPR dalam rapat menjadi gambaran nyata sosok penguasa dalam sistem kapitalis yang terkesan antikritik. Dewan Perwakilan yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat nyatanya tidak bebas bersuara ketika hendak menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan penguasa. Padahal sejatinya, jika kembali pada ide kebebasan yang diagungkan dalam sistem demokrasi hal itu jelas diperbolehkan karena kebebasan berpendapat sangatlah dijunjung tinggi.

Sistem kapitalisme mengharuskan setiap ketetapan yang dimusyawarahkan dalam rapat harus sesuai arahan, tidak bisa diputuskan begitu saja hingga merugikan kepentingan para pemilik modal. Penguasa cenderung berpihak pada para kapital, sekalipun harus mengorbankan rakyatnya sendiri.

Inilah watak asli sosok pemangku jabatan di negeri ini, kekuasaan yang dimilikinya digunakan untuk memuluskan keinginan segelintir orang. Alih-alih dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat banyak, yang ada mereka sibuk menjaga eksistensi diri hanya demi keuntungan pribadi.

Kapitalisme memosisikan kekuasaan sebagai keberuntungan, bukan sebagai amanah yang kelak berat hisabnya di hadapan Allah Swt. Oleh karena itu, berlomba memenangkan kursi kekuasaan menjadi hal yang biasa. Setelah berkuasa seringkali menunjukkan sikap antikritik, berbeda jauh dengan sikap mereka ketika butuh suara rakyat.

Bagi orang yang paham, kekuasaan merupakan sesuatu yang sangat berat tanggung jawabnya, sehingga bukanlah sesuatu yang layak dibanggakan. Abu Bakar dan Umar bin Khaththab ketika dibai'at sebagai pemimpin kaum muslimin merasa sangat khawatir dengan amanah kepemimpinan, keduanya meminta kepada rakyatnya untuk meluruskan jika berbuat bengkok dari syariat.

Bahkan dalam sistem Islam, ada lembaga yang disebut dengan majelis umat, memiliki tugas melakukan muhasabah kepada penguasa jika melakukan penyimpangan dari syariat atau menzalimi rakyat. Mereka adalah representasi dari umat yang memahami betul apa yang terjadi dan dibutuhkan oleh umat. Oleh karenanya, ketika terjadi kezaliman, maka koreksi pun akan segera disampaikan. Jika tidak didapati perubahan, maka permasalahan akan dibawa hingga ke Mahkamah Madzalim yang berwenang menyelesaikan persengketaan antara rakyat dengan jajaran pemilik kekuasaan atau pemangku kebijakan.

Peristiwa muhasabah pernah terjadi di masa Rasulullah saw. yaitu saat penduduk Yaman melaporkan bacaan yang dilantunkan Muadz bin Jabal r.a. ketika menjadi imam salat, karena terlalu panjang bacaan suratnya. Nabi saw. bersabda dalam HR Bukhari Muslim:
"Wahai manusia, kalian harus bergegas (bersama untuk salat). Siapa yang menjadi imam salat, hendaknya ia memperpendek, sebab di situ ada yang sakit, lemah dan orang-orang yang memiliki hajat."

Sebagai perwakilan rakyat, majelis umat berhak menyampaikan muhasabah -nya kepada penguasa, walaupun masukannya tidak bersifat mengikat dan tidak berwenang menentukan kebijakan. Acuan yang digunakan tetap harus dijalankan berdasarkan hukum syariat Islam, sehingga keharmonisan di antara keduanya dalam mewujudkan kemaslahatan umat bisa terlaksana. Penguasa dalam sistem Islam tidak boleh antikritik tapi harus mendengarkan setiap masukan sebagai bahan perbaikan.

Majelis umat tidak dibentuk untuk memuluskan kepentingan pihak-pihak tertentu, tidak dimanfaatkan untuk bagi-bagi proyek, juga tidak membuat aturan atau perundang-undangan. Majelis umat dibentuk semata-mata sebagai wadah aspirasi umat agar disampaikan kepada penguasa demi kemaslahatan semua pihak.

Demikianlah Islam menempatkan kekuasaan. Kewajiban penguasa adalah menerapkan seluruh aturan Islam sehingga tercipta Islam sebagai rahmatan lil 'alamiin. Keadilan, kesejahteraan, keamanan terwujud dan dirasakan oleh segenap masyarakat. Sementara rakyat sendiri berkewajiban melakukan muhasabah terhadap penyimpangan dan tindakan zalim penguasa.

Wallahu a'lam Bishawwab[]

Mencari Pasangan Koalisi untuk Memenangi Kontestasi

"Inilah fenomena politik yang terjadi di alam demokrasi. Semua hal bersifat dinamis, tidak ada idealis. Sebuah istilah yang sering diungkakan di dalam sistem demokrasi bahwa, "Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi". Begitu pula dalam hal pencarian pasangan koalisi untuk maju menjadi kontestan di ajang pilpres mendatang."

Oleh. Ummi Nissa
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Meskipun pesta demokrasi masih lama digelar, namun persiapan partai politik untuk mencari pasangan (koalisi) yang potensial menang mulai menjadi perhatian partai peserta pemilu. Bahkan dalam gelaran pilpres yang akan datang, parpol yang sebelumnya ada di luar pemerintahan bersiap untuk melamar parpol lainnya dalam mengusung pasangan kandidat Capres dan Cawapres agar menjadi bagian dari pemerintahan.

Mencari Jodoh Jelang Pilpres Mendatang

Dalam acara milad Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang ke-20 pada Minggu (29/5) di Istora Senayan Jakarta, Sekjen PKS, Habib Aboe Bakar Alhabsy, dalam pidatonya mengatakan kemungkinan partainya berjodoh dengan parpol lain untuk pilpres 2024. PKS masih terus mengamati tokoh yang paling menarik untuk dipinang sebagai Capres.

Bahkan, Sekjen PKS ini menyampaikan dengan candaan kepada Ketua Bawaslu, Rahmad Bagja, bahwa partainya perlahan mulai memilih tokoh yang akan diusung. Ia tidak membatasi tokoh mana pun yang akan dilamarnya. Siapa saja yang berpotensi dapat meraup suara terbanyak, bisa jadi jodohnya. Sebagaimana dalam guyonannya, bisa saja ia meminang Muhaimin, Anies, Sandiaga Uno ataupun yang lainnya. (merdeka.com, 29/5/2022)

Adapun di periode yang akan datang, PKS mengharapkan bahwa partainya akan berada di dalam pemerintahan. Oleh sebab itu, mereka akan memilih pasangan tokoh yang potensial menang. Sekjen PKS, Aboe Bakar Alhabsy berkata, “Kami sudah tak mau lagi di luar pemerintahan. Kita akan rebut dengan kemenangan. Kita ingin mengusung bukan lagi mendukung," tegasnya. (beritasatu.com, 29/5/20220)

Ada hal yang menarik dari apa yang diinginkan oleh PKS ini. Dimana partai yang berbasis Islam tersebut kini berharap menjadi bagian dari pemerintahan. Akankah mereka mendapat pasangan yang dapat mengantarkannya pada kemenangan? Seandainya menang, mungkinkah dapat menerapkan aturan Islam dalam setiap kebijakan dan aturannya?

Menelaah Arah Pergerakan Partai Politik Islam

Bila mengamati perjalanan partai politik yang berbasis Islam, pada awal berdirinya, mereka merupakan partai yang bersifat religius. Bahkan ada yang mengusung penerapan aturan dan nilai-nilai Islam. Namun, realitasnya kini masyarakat dapat menilai bahwa semua partai yang ada, baik yang berbasis Islam ataupun nasionalis hanya menargetkan kemenangan di ajang pemilu.

Mereka semakin jauh dari tujuan awalnya berdiri, sehingga keputusannya tampak pragmatis. Buktinya partai-partai yang berbasis Islam ini tidak segan-segan untuk berpasangan dengan siapa pun, tanpa memandang idealisme pemikiran yang dibawa, asalkan dapat memenangkan kontestasi politik.

Inilah fenomena politik yang terjadi di alam demokrasi. Semua hal bersifat dinamis, tidak ada idealis. Sebuah istilah yang sering diungkakan di dalam sistem demokrasi bahwa, "Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi". Begitu pula dalam hal pencarian pasangan koalisi untuk maju menjadi kontestan di ajang pilpres mendatang.

Dalam panggung politik demokrasi, partai politik merupakan kendaraan yang akan mengantarkan pada kekuasaan. Namun, bila partai ini tidak memiliki cukup suara untuk maju dan mengusung calon kandidat, maka ia harus mencari pasangan yaitu bergabung dengan kendaraan lain agar bisa sampai ke tujuan.

Di sisi lain dalam sistem politik demokrasi, partai juga membutuhkan dana yang tidak sedikit saat mengikuti gelaran pemilu. Sehingga istilah mahar merupakan simbol anggaran yang akan menopang kelancaran jalan menuju kekuasaan. Di sinilah para pemilik modal memainkan perannya. Mereka akan mendukung dan membiayai kebutuhan partai, dalam rangka meningkatkan popularitas dan elektabilitas melalui kampanye di berbagai media.

Dengan peran pemilik modal yang besar akan menghantarkan kemenangan partai sampai ke kursi kekuasaan. Sebagai balasannya, para penguasa terpilih nantinya bertugas membagi-bagi jatah kursi jabatan atau memperlancar urusan para pengusaha. Sehingga tidak mengherankan ketika kelak arah kebijakan pun akan lebih berpihak pada mereka, bukan rakyat.

Sementara itu, suara rakyat hanya dibutuhkan saat kontestasi. Bila telah selesai gelaran pemilu, maka dengan mudahnya mereka dilupakan. Oleh karena itu, siapa pun partai yang akan menang, selama yang diterapkan adalah sistem demokrasi maka tidak akan membawa perubahan terhadap kondisi kesejahteraan dan kebaikan rakyat secara signifikan. Apalagi berharap bagi terealisasinya penerapan aturan Islam. Meski pemenangnya adalah parpol religius yang berbasis Islam. Sebab yang terjadi adalah suara mayoritas akan dikendalikan oleh para pemilik modal. Fakta sudah banyak membuktikan hal demikian.

Peran Partai Politik dalam Pandangan Islam

Keberadaan partai politik dalam aturan Islam merupakan hal yang dianjurkan. Sebagaimana firman Allah Swt. : "Hendaklah ada di antara kalian (umat Islam) segolongan umat, yang beraktivitas mengajak kepada kebaikan (Islam), serta beramar makruf nahi mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali-Imran: 104)

Adapun peran partai politik dalam Islam adalah melakukan amar makruf nahi mungkar seperti yang diperintahkan Allah Swt. dalam Al-Qur'an di atas. Aktivitas ini dalam rangka mengedukasi (memberi pendidikan) kepada masyarakat tentang politik dalam Islam.

Dalam pandangan Islam, politik adalah mengurusi urusan umat dengan aturan yang diturunkan oleh Allah Swt. dan Rasul saw.. Dengan memahamkan masyarakat terhadap politik, akan membangkitkan kesadaran mereka tentang pentingnya aturan Islam dalam mengatur urusan kehidupan manusia. Lebih jauhnya masyarakat akan terdorong untuk menerapkan seluruh aturan Islam dalam setiap aspek.

Selain itu, aktivitas amar makruf nahi mungkar juga dilakukan partai politik kepada penguasa. Mereka akan mendorong pemerintah agar senantiasa berhukum pada aturan Allah Swt. tidak hanya dalam urusan ibadah namun seluruh aspek kehidupan. Bahkan menyeru kepada penguasa merupakan kewajiban yang disampaikan oleh Rasulullah saw..

Oleh karena itu, partai politik dalam Islam tidak perlu mencari jodoh untuk berpasangan dengan partai lain, karena perannya hanyalah amar makruf nahi mungkar, baik kepada rakyat ataupun penguasa. Adapun tujuannya tidak lain menyeru mereka agar berhukum pada aturan Islam secara sempurna dalam seluruh urusan kehidupan.

Wallahu a'lam bish shawab.[]

Sanggraloka yang Tersandera

“Sekali lagi, menaikkan harga tiket untuk biaya pemeliharaan juga bukan solusi satu-satunya. Andai pun penurunan devisa dari Borobudur terjadi, bukankah negeri ini masih memiliki cadangan devisa dari seluruh objek wisata nasional dan ekonomi kreatif?”

Oleh. Sartinah
(Tim Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Perputaran aktivitas manusia tidak terbatas waktu dan tempat. Kelelahan dan kepenatan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia. Kelelahan ini pula yang menuntut manusia untuk sejenak rehat dan melepas penat. Salah satunya dengan mengunjungi berbagai sanggraloka yang terbentang dari timur ke barat negeri ini. Namun, apa jadinya jika hasrat mengunjungi destinasi wisata justru terganjal mahalnya harga?

Tiket ‘Selangit’

Tiket naik ke stupa Candi Borobudur tengah ramai diperbincangkan. Kenaikan harga tiket tersebut diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam akun Instagram pribadinya pada Minggu, 5 Mei 2022. Terang saja, kenaikan drastis tersebut membuat rakyat terperangah. Pasalnya, tiket untuk turis lokal ditetapkan sebesar Rp750 ribu, untuk turis mancanegara sebesar US$100 (Rp1,4 juta), sementara untuk pelajar sebesar Rp5.000,00. (Detik.com, 05/06/2022)

Namun, respons masyarakat yang keberatan dengan tarif baru tersebut, membuat Luhut mengklarifikasi pernyataannya. Dia mengatakan, tarif tersebut belum final dan akan meminta pihak-pihak terkait untuk mengkaji kembali besaran tarif baru untuk turis lokal agar bisa diturunkan. Lantas, apa sejatinya alasan pemerintah menaikkan tiket ke Candi Borobudur? Benarkah demi menjaga kelestarian situs, atau justru demi kepentingan ekonomi semata?

Wacana yang sudah terlanjur dilempar ke publik tak pelak memantik berbagai respons. Di antaranya dari Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Tulus menilai kenaikan tersebut sangat eksploitatif karena terlalu besar. Dia pun meminta agar pemerintah membatalkan wacana kenaikan tiket tersebut. Menurutnya lagi, kebijakan tersebut kapitalistik dan kontraproduktif dengan upaya pemerintah yang mengklaim ingin menggerakkan sektor pariwisata. (Tempo.co, 05/06/2022)

Tak Ingin Rugi

Ada beberapa alasan yang dikemukakan pemerintah terkait kenaikan tiket ke Candi Borobudur. Pertama, untuk membatasi kuota turis yang ingin naik ke Candi Borobudur hanya 1.200 orang saja per hari. Kedua, demi menjaga kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Ketiga, adanya kajian dari banyak ahli bahwa situs tersebut sudah mengalami pelapukan hingga perlu menaikkan tiket untuk melakukan pembatasan pengunjung. Keempat, adanya aksi vandalisme dari pengunjung, penyelipan benda-benda tertentu disela-sela batu candi, dan tidak menghargai situs bersejarah umat Buddha.

Terkait alasan pemerintah menaikkan harga demi dalih pembatasan pengunjung dan pemeliharaan Candi Borobudur, ada beberapa catatan untuk merespons hal tersebut.

Pertama, terkait penjagaan candi sebagai kekayaan sejarah. Menjaga situs bersejarah yang sudah berumur ribuan tahun merupakan hal yang baik. Namun, hal itu tidak perlu dengan menaikkan tiket secara ugal-ugalan. Sebenarnya ada 1001 cara yang bisa dilakukan pemerintah. Misalnya saja dengan melakukan pembatasan kuota kunjungan, khususnya bagi pengunjung rombongan dengan melakukan reservasi terlebih dahulu.

Opsi lain yang bisa dilakukan adalah menutup akses sampai di tingkat pertama, kemudian menggratiskan pengunjung di halaman candi. Bukankah situs sejarah seharusnya bisa dikunjungi dengan biaya semurah mungkin bahkan gratis? Apalagi bagi umat Buddha yang butuh akses ibadah di sana. Menaikkan harga layanan yang justru memiskinkan masyarakat bukanlah solusi tepat. Akibatnya justru akan merugikan pemasukan negara dan masyarakat sekitar lokasi yang menggantungkan hidup dari berdagang barang dan jasa.

Kedua, terkait biaya pemeliharaan dan perawatan Candi Borobudur. Perlu diketahui, pemerintah mengeluarkan anggaran dari APBN sebesar Rp3 miliar setiap tahunnya untuk biaya perawatan Borobudur. Memang benar, selama pandemi Covid-19 sektor pariwisata termasuk Borobudur juga terkena dampak yang berakibat pada penurunan pemasukan negara. Mungkin saja pemerintah menganggap menurunnya pemasukan negara dinilai tidak sebanding dengan biaya perawatan yang dikeluarkan APBN. Karena itu, menaikkan tiket menjadi solusi instan yang dikeluarkan pemerintah.

Sekali lagi, menaikkan harga tiket untuk biaya pemeliharaan juga bukan solusi satu-satunya. Andai pun penurunan devisa dari Borobudur terjadi, bukankah negeri ini masih memiliki cadangan devisa dari seluruh objek wisata nasional dan ekonomi kreatif? Bukankah nilai PDB pariwisata dan ekonomi kreatif yang dimiliki negeri ini juga besar?

Berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), penghasilan devisa pariwisata tahun 2021 melampaui target US$0,37 atau setara dengan Rp5,2 triliun. Sedangkan untuk devisa ekonomi kreatif mencapai US$18,89 miliar atau Rp270.170 triliun.

Sementara itu nilai PDB pariwisata dan ekonomi kreatif pada 2021 sebesar 4,2 persen. Jumlah tersebut naik dibanding tahun 2020 yang hanya sebesar 4,05 persen. Dengan pencapaian devisa sebesar itu, apakah negara akan rugi jika mengeluarkan tiga miliar saja setiap tahunnya? Mengapa memilih menaikkan tiket yang justru berpotensi memiskinkan rakyat?

Kapitalisasi Pariwisata

Tak bisa dimungkiri, pariwisata negeri ini menjadi salah satu daya tarik bagi turis lokal maupun asing. Di sisi lain, daya tarik pariwisata dianggap sebagai peluang bisnis yang menggiurkan. Apalagi jika pariwisata sudah dipertemukan dengan kepentingan para pengusaha. Maka tidak mengherankan jika pengembangan pariwisata menjadi tren global yang terus diopinikan ke seluruh dunia termasuk negeri ini.

Besarnya devisa dan PAD yang dihasilkan dari bisnis pariwisata membuat banyak pihak terutama pemerintah mati-matian mengembangkan pariwisata sebagai sektor andalan dalam menyumbang devisa. Pariwisata memang menjadi andalan negeri ini setelah sektor migas dalam rangka pembangunan ekonomi. Walhasil, pariwisata pun dianggap sebagai sumber kemakmuran, dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memperluas lapangan pekerjaan.

Memang benar, adanya kunjungan turis di tempat wisata akan membangkitkan berbagai aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Seperti makan, berbelanja, menginap, menyewa kendaraan, dan lain-lain. Namun, tak bisa dimungkiri pula jika wisatawan banyak yang memesan minuman beralkohol, mencari tempat untuk berzina, dan lain-lain yang berpotensi membuat bertumpuknya segala jenis kemaksiatan di tempat wisata.

Kapitalisme Mengokohkan Penjajahan

Terfokusnya pembangunan di sektor pariwisata membuat pemerintah melupakan pengembangan sektor strategis yakni sumber daya alam lainnya. Negara terus berburu pemasukan recehan dari sektor pariwisata yang notabene merupakan sektor nonstrategis. Sementara sektor strategis dibiarkannya berpindah penguasaan dan dieksploitasi oleh swasta. Padahal, jika negara mau mengembangkan dan mengelola SDA lainnya seperti pertanian, perikanan, kehutanan, energi, dan kekayaan lainnya secara sungguh-sungguh, hal itu akan lebih besar manfaatnya dibandingkan hanya menggenjot sektor pariwisata.

Inilah sejatinya hasil dari penerapan sistem kapitalisme liberal di negeri ini. Kapitalisme telah membuat semua sektor yang berpotensi menjadi pemasukan negara dikomersialisasikan. Sedangkan liberalisme membuat sektor-sektor strategis yang seharusnya dikelola negara justru bebas dimiliki oleh para kapitalis. Kapitalisme pulalah yang menyebabkan lahirnya kastanisasi layanan terhadap masyarakat.

Walhasil, impian pariwisata sebagai sumber kemakmuran, kesejahteraan rakyat, dan tersedianya lapangan pekerjaan hanyalah isapan jempol semata. Pemilik keuntungan sebenarnya adalah para pemilik hotel, restoran, penginapan, dan lain-lain yang notabene adalah pemilik modal. Malah yang terjadi justru liberalisasi akut di semua sektor. Disadari atau tidak, liberalisasi adalah penjajahan gaya baru atas aset-aset negeri ini.

Pengaturan Pariwisata dalam Islam

Pengelolaan pariwisata yang berkiblat pada sistem kapitalisme telah nyata menjadikan materi atau keuntungan sebagai prioritas utama. Pengelolaan seperti ini tidak akan terjadi jika negara memilih sistem yang benar untuk mengelola pariwisata. Sistem tersebut harus berasal dari Sang Pencipta manusia sekaligus alam semesta yakni Allah Swt. Sistem tersebut adalah Islam.

Islam memiliki paradigma yang khas dalam memandang pariwisata. Dalam Islam, pengelolaan pariwisata dilakukan dengan satu tujuan, yakni dakwah dan propaganda. Hal ini bertujuan untuk mengokohkan keimanan seorang hamba kepada Rabb-nya. Selain itu, dakwah dan propaganda dalam pariwisata diharapkan akan membuat seorang hamba takjub saat menikmati keindahan ciptaan-Nya. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Ankabut ayat 20, “Katakanlah: Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Islam pun tidak akan membiarkan terbukanya pintu-pintu kemaksiatan di dalam negara, termasuk sektor pariwisata. Selain itu, banyaknya objek-objek wisata yang terbentang dari ujung timur ke barat akan dijadikan sarana untuk menyebarkan Islam. Baik pariwisata seperti hutan, pantai, pegunungan, air terjun, maupun berupa cagar budaya. Semua bisa menjadi sarana dakwah.

Wisatawan bisa berasal dari kaum muslim dan nonmuslim. Bagi wisatawan muslim, setelah mereka disuguhkan keindahan ciptaan Allah Swt., maka akan semakin mempertebal keimanannya. Demikian juga dengan wisatawan nonmuslim yang awalnya hanya berniat menikmati keindahan, tetap akan dijamu dengan dakwah Islam di area wisata. Maka tak heran, pariwisata akan menjadi ajang transfer pemikiran.

Sedangkan untuk pariwisata yang terkait cagar budaya, maka hal itu akan menjadi ajang penyampaian bukti-bukti sejarah kejayaan Islam. Hal itu dilakukan agar seseorang yang masih memiliki keraguan akan sejarah Islam, kembali yakin dengan adanya benda-benda peninggalan sejarah. Misalnya, museum Al-Qur’an sejak zaman sahabat hingga kini akan dimanfaatkan sebagai wisata edukasi.

Di sisi lain, negara (Khilafah) tidak akan menjadikan pariwisata sebagai tulang punggung ekonomi. Meskipun pariwisata sejatinya bisa menjadi sumber devisa. Hal ini karena pariwisata dalam Islam diperuntukkan sebagai sarana dakwah. Sedangkan untuk membiayai perekonomian, negara sudah memiliki sumber-sumber lain yakni dari sektor perdagangan, pertanian, industri, dan jasa. Sumber-sumber inilah yang akan menjadi tulang punggung negara untuk membiayai perekonomian. Sumber lainnya yang juga tidak kalah besar berasal dari jizyah, kharaj, fai, zakat, ganimah, dan dharibah.

Khatimah

Pariwisata yang dikelola dengan paradigma kapitalistis hanya akan membawa negeri ini jatuh dalam cengkeraman para pemilik modal. Untuk membuat pariwisata diatur sesuai paradigma Islam, negeri ini mesti merombak seluruh pandangan dan tata kelolanya dengan sudut pandang Islam. Sebab, pengelolaan pariwisata dengan standar Islam akan mendatangkan keberkahan dan jauh dari murka Allah Swt.

Wallahu a’lam bi ash shawwab.[]