Jangan Coba-Coba Mengolok Allah!

"Sekularisme datang menghantam akidah dan menjerumuskan umat ke dasar lembah kebodohan, hingga lahirlah generasi-generasi yang bebas berbuat sesuka hati tanpa mengindahkan apakah itu bertentangan dengan agama atau tidak. Umat akhirnya kehilangan arah dan generasi muslim tidak lagi mencerminkan generasi terbaik."

Oleh. Ana Nazahah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Bestie! Saat ini tengah merebak konten nyeleneh salat bareng kipas angin. Di mana gerakannya mengikuti kipas angin yang berputar kiri dan kanan seolah mengikuti gerakan imam saat salat. Pertanyaannya, apa sih tujuan bercanda dengan ibadah salat? Mau mengolok Allah? Sanggup menuai risikonya?

Hanya Canda?

"Ah, itu hanya canda kok, enggak bermaksud apa-apa!" Begitu, kata mereka. Parodi salat bareng kipas angin itu hanya sekadar konten hiburan saja. Jadi mereka protes "Janganlah sedikit-sedikit dosa, siksa, dan ujung-ujungnya neraka. Kan hanya bercanda!"

Kita anggap saja itu hanya bercanda. Okey, fine! Dalam Islam juga tidak ada larangan dalam bercanda. Tapi, kenapa agama yang dicandakan? Apa enggak ada bahan candaan lain? Coba deh dipikir pakai logika! Jika bos di tempat kerja saja tidak pantas kita olok-olok dan mencandakan aturannya, apalagi Allah Swt. yang telah menjamin rezeki kita, memberi kita kehidupan, dan segala kenikmatan di dunia. Lalu pantaskah kita mengolok-olok syariat-Nya?

Apa pun alasannya, dilihat dengan kacamata apa pun, perilaku mengolok-olok agama adalah perbuatan tercela yang menunjukkan rendahnya iman seseorang. Lebih dari itu, perilaku ini termasuk dosa besar di dalam Islam, sehingga pelakunya terancam kafir setelah beriman.

Risiko Mengolok Agama

Risiko mengolok agama itu sangatlah berat, Bestie! Jangan coba-coba kamu mencandakannya, karena sama saja menantang azab Allah. Allah tak akan segan menurunkan azabnya untuk orang yang memperolok Allah, Rasul-Nya, dan syariat Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-An'am ayat 10, "Dan sungguh, telah diperolok-olokkan sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemooh di antara mereka balasan (azab) olok-olok mereka."

Allah juga mengancam, barangsiapa yang mengolok agama, akan menjadikan perbuatannya tersebut sebagai pembatal keislamannya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Shalih Al-Fauzan, "Pembatal-pembatal keislaman itu sangat banyak, di antaranya adalah syirik dan memperolok agama dan syiar Islam, meskipun ia tidak mengingkarinya."

Duh, tambah ngeri, Bestie! Jika keislaman kita batal, maka sama saja kafir. Tapi, benarkah bisa menjerumuskan kita kepada kekafiran? Dalam hal ini, cukup firman Allah di At-Taubah ayat 66 yang menjawabnya. Di mana Allah menyampaikan, "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman."

Nastaghfirullah, Bestie! Ancaman terhadap pengolok agama ternyata tidak sepele. Hal-hal yang kita anggap hanya main-main, dosanya tidak main-main di sisi Tuhan. Karenanya, Bestie! Jangan coba-coba mengolok agama! Risikonya berat, Kamu tak akan kuat!

Gara-Gara Sekularisme

Sebenarnya, Bestie! Islam itu Allah turunkan untuk mengangkat derajat manusia. Dari hina menjadi terhormat, dari kebodohan menjadi berilmu pengetahuan. Dengan menerapkan aturan Allah secara kaffah, akan lahir generasi-generasi beriman dan bertakwa yang senantiasa mencinta dan menjunjung tinggi syariat-Nya.

Namun, sekularisme datang menghantam akidah dan menjerumuskan umat ke dasar lembah kebodohan. Dari rahim sistem ini, lahirlah generasi-generasi yang bebas berbuat sesuka hati, tanpa mengindahkan apakah itu bertentangan dengan agama atau tidak. Semua itu diperparah dengan aturan sekuler yang dijamin oleh negara, keberadaan agama dan syariat Islam kian asing di tengah kaum muslim sendiri. Akhirnya, umat berbangsa kehilangan arah. Generasi muslim tidak mencerminkan generasi terbaik lagi.

Kondisi ini membuat kita semakin sadar, Bestie! Kita butuh periayah yang memerintah dengan syariat Allah yang siap menjaga akidah umat berbangsa, tetap terjaga dan terlindungi dari infiltrasi ide-ide asing yang merusak. Jika negara ikut andil dalam menjaga akidah umat berbangsa, maka bisa dipastikan perilaku mengolok agama dan syariat-Nya tak perlu lagi terjadi.

Butuh Khilafah!

Timbul pertanyaan, Bestie! Kenapa ujung-ujungnya Khilafah? Hal itu karena hanya negara Khilafahlah yang mampu mengemban tugas menghapuskan segala bentuk kebodohan (buta agama) yang dihasilkan oleh ide sekularisme. Lewat pendidikan dan kurikulum berbasis syariat, Khilafah mampu mencetak generasi beriman serta bertakwa. Generasi yang hanya takut kepada Allah, sehingga tidak berani memandang sepele syariat Islam, apalagi mengolok-oloknya. Selain itu, Khilafah akan memberikan sanksi yang tegas dan berat bagi siapa pun pelaku pelecehan terhadap Islam. Tentunya setelah diberikan edukasi yang tepat dan menjelaskan pelecehan terhadap Islam adalah dosa besar.

Namun, saat ini Khilafah tidak ada. Karenanya kita melihat semakin hari generasi kita semakin tidak beradab. Negara sekuler ini tidak mampu melakukan apa-apa. Kecuali semakin menambah masalah. Dengan melanggengkan kebodohan dan segala tindakan tercela yang lahir darinya. Karenanya, berharap pada negara dengan aturan sekularisme untuk menjamin akidah generasi umat terlindungi adalah mustahil, takkan mungkin terealisasi!

Khatimah

Telah jelas , Bestie! Adanya tindakan mengolok-olok agama oleh sebagian generasi muslim ternyata akibat kebebasan berekspresi yang dijamin oleh ideologi kapitalis sekuler. Paham sekularisme inilah yang menggerogoti iman dan ketakwaan umat, sehingga generasi muslim menderita krisis identitas.

Karenanya, mencampakkan ide sekularisme ini merupakan satu-satunya solusi yang wajib kita ambil. Jadi, Bestie, mari kita cabut paham rusak ini sampai ke akar-akarnya! Lalu digantikan dengan aturan yang bersumber dari wahyu Allah yang sudah pasti mampu menyolusi setiap masalah yang menimpa generasi. Wallahua'lam bishawab![]

Hilangnya Kehormatan dalam Balutan Hijab

"Mari sama-sama berusaha menjadi seorang muslimah sejati, yang memiliki maruah dengan senantiasa menjaga izzah dan iffah. Jagalah kehormatan hijab yang kita kenakan, sebagaimana hijab itu telah menutupi aurat untuk memuliakan kita agar tidak dipandang orang sembarangan."

Oleh. Dila Retta
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )

NarasiPost.Com-Malam ini, ada kejadian tidak biasa yang aku alami. Selepas agenda kajian rutin di salah satu masjid yang biasa kukunjungi, saat sedang berada di kamar mandi, aku berjumpa dengan dua orang muslimah sedang merapikan pakaiannya.

Abaya bewarna soft green dengan hiasan renda hitam, french khimar dengan warna senada, lengkap dengan cadar yang menutupi wajahnya. Ia bersama seorang kawan bergamis hitam dengan kerudung cokelat yang diikat ke belakang.

Awalnya memang tidak ada yang aneh dari keduanya. Tapi saat mereka sedang memulai obrolan, obrolannya membuatku terkejut.

Aku yang berada tidak jauh dari mereka, harus mendengar banyak sekali kata-kata kotor yang tak sepantasnya diucapkan. Dalam setiap obrolannya, kata-kata seperti itu selalu disisipkan. Bahkan mereka tidak peduli jika ada orang lain yang sedang berada di tempat itu. Mereka hanya asyik dengan obrolannya sendiri. Mereka seolah lupa jika masih berada dalam lingkungan masjid, tempat beribadah.

Tak ada yang berani menegur. Aku pun hanya berusaha mengingkarinya dengan senantiasa beristighfar dalam hati dan segera keluar dari sana.

Miris memang saat diperhatikan. Bagaimana tidak, setiap muslimah itu telah diperintahkan untuk menjaga kehormatannya baik melalui pakaian, tindakan, maupun lisan. Namun, fakta apa yang sedang kusaksikan sekarang?

Mungkin karena hal seperti inilah yang menjadi alasan kebanyakan orang agar jangan mudah menilai seseorang dari penampilan luarnya. Mungkin inilah yang seringkali menjadikan alasan banyak orang masih memandang hina penampilan seorang muslimah yang telah diatur oleh agama.

Apakah dalam anggapan mereka, pakaian syari yang sedang dikenakan hanyalah trend fashion saja? Hanya sekadar ‘kostum’ saat sedang berkunjung ke masjid? Naudzubillah…

Aku ingat benar obrolan apa yang sedang mereka bicarakan. Tentang status hubungan yang sedang dijalani. Kurang lebihnya akan kugambarkan dalam sebuah dialog singkat, tentunya dengan tanpa menyertakan kata kotor yang diucapkan.

Bagaimana hubunganmu dengan cowok itu?” tanya perempuan bergamis hitam.

Udah, jangan dibahas. Aku malas dengannya, selalu saja ngajak nikah. Aku kan masih ingin bebas melakukan apa pun” jawabnya tanpa pikir panjang.

Lalu apa rencanamu?” pertanyaan kembali diajukan kepada perempuan berabaya hijau.

Aku sedang dekat dengan cowok lain, dan tidak ada yang tahu.”

Astaghfirullah, semoga Allah memberikan mereka ampunan serta hidayah. Dan semoga, Allah senantiasa menjaga keimanan kita semua.

Hal seperti ini memang bukan yang pertama kali terjadi, terutama di akhir zaman seperti ini. Tapi mau sampai kapan hal-hal seperti ini dibiarkan?

Di luar sana, tentu masih banyak pelanggaran-pelanggaran lain yang dilakukan oleh setiap orang. Masih banyak seorang muslimah yang tidak bisa menghargai dirinya sendiri, tidak bisa mencerminkan kehormatan sebagai seseorang yang dimuliakan dengan pakaian yang dikenakan. Masih banyak yang berdalih mencari pembenaran terhadap setiap kesalahan yang dilakukan.

“Santai aja, Allah Maha Pengampun kok”

Nggak usah sok suci deh, kita cuma beda cara berbuat dosa

Urus aja urusanmu sendiri, nggak usah ngurusin orang lain”

Cuma perkara gini doang, yang penting ibadah ku masih jalan”

Saya yakin, kebanyakan dari kita juga sering mendengar pembelaan-pembelaan seperti itu, bukan?

Selama ini saya selalu mengingat-ingat sebuah ungkapan, “Wanita itu memang dimuliakan tapi dalam sisi berlainan, mereka adalah fitnah terbesar”. Memang benar aturan Islam datang untuk memuliakan kaum perempuan, tapi tanpa bekal keilmuan dan ketakwaan, kita tidak mungkin bisa menjaga kehormatan yang telah diberikan. Kita tidak bisa mengendalikan hawa nafsu agar jangan sampai mengikuti langkah-langkah setan.

Inilah yang menjadi alasan, mengapa kita harus mempelajari ilmu agama dengan sungguh-sungguh dan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan. Tidak cukup sekali, namun sampai kita mati.
Jika seseorang yang sudah memiliki bekal ilmu agama saja masih bisa tergelincir dalam perbuatan salah, mengapa kita yang fakir ilmu ini senantiasa merasa aman dari dosa? Tidakkah kita semua ingin berbenah agar bisa menjadi sebaik-baiknya hamba? Kita semua memang tidak akan pernah bisa terbebas dari khilaf dan salah, di antara kita semua memang tidak ada yang benar-benar suci dari dosa. Tapi selama keimanan masih tertancap dalam hati, berusahalah agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Islam telah memberikan kemuliaan untuk kaum perempuan, maka jangan sampai menghinakan diri sendiri dengan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang. Mari sama-sama berusaha menjadi seorang muslimah sejati, yang memiliki maruah dengan senantiasa menjaga izzah dan iffah. Jagalah kehormatan hijab yang kita kenakan, sebagaimana hijab itu telah menutupi aurat untuk memuliakan kita agar tidak dipandang orang sembarangan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap anak Adam adalah bersalah dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi)[]

Aku dan Rasa Sesalku

"Inilah yang aku sesali karena aku kurang memahami. Bahwa dakwah adalah mengajak orang kembali ke jalan yang baik, bukan hanya menasihati yang telah baik. Tujuan dakwah itu untuk menegakkan Islam kaffah dan itu tidak akan tegak jika dakwah Islam hanya berputar di sekitar golongan tertentu saja."

Oleh. Ana Nazahah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Apa yang kusesali sepanjang membersamai teman-teman dalam hijrah ini adalah ketidakmampuanku dalam mengelola emosi. Aku yang mudah baper, tersinggung, dan menyerah karena hal sepele. Di mana seiring waktu, aku mulai menyesali hal itu.

Mungkin teman-teman pernah merasakan, berada di posisi menyesal kenapa melakukan hal-hal yang seharusnya tak dilakukan. Itulah yang aku rasakan, saat aku sadar bahwa aku terlalu sering membandingkan kehidupan orang lain dengan kehidupanku sendiri. Di saat aku terlalu egois, memosisikan sahabat yang hendak didakwahkan adalah sama posisinya denganku. Padahal mereka hidup di lingkungan berbeda, orang tua berbeda, dan dari didikan yang berbeda pula.

Tak Sama!

Ada hal-hal yang bagiku itu lumrah, namun bagi yang lain itu wah. Ada hal-hal yang bagiku luar biasa, tapi bagi orang lain itu hal biasa saja. Namun, aku terlalu payah dalam memahami hal itu. Sehingga membatasi ruang gerakku dan segala hal yang berhubungan dengan dakwah ini, hanya sebatas toleransi dan kemampuanku menerimanya.

Padahal, di tengah hantaman budaya hedonis sekularisme yang begitu masifnya, bagaimana mungkin dakwah bisa diterima begitu saja tanpa ada tantangannya. Di mana tantangan di sini, bukan lagi berupa penolakan dakwah. Namun lebih dari itu, ide-ide sekularisme, telah mendarah daging, hidup di dalam benak sahabat yang kita dakwahkan.

Tadinya, aku selalu berpikir memosisikan orang lain pada posisiku. Lalu aku mulai berbicara begini dan begitu, hati-hati sekali seolah itu adalah aku yang dulu sebelum hijrah. Aku berpikir, orang lain akan mudah paham dengan apa yang kusampaikan, karena dulunya aku juga begitu. Namun siapa sangka! Manusia itu tidak sama. Apa-apa yang kita anggap istimewa, belum tentu istimewa di hadapan pemikiran orang lainnya. Target hidup dan standar kebahagiaan masing-masing orang itu berbeda.

Tentunya aku tidak sedang membandingkan mereka yang telah berhijrah dan belum berhijrah. Yang kumaksud adalah mereka yang belum berhijrah saja. Meski standar kebahagiaan yang dikejar adalah sama-sama materi. Namun, berbeda dari segi tingkatan, cara, serta standar kepuasan dan kebahagiaan yang hendak dicapai.

Ada orang yang sangat berpuas diri saat mendapatkan nilai terbaik. Ada pula mereka yang tidak terganggu saat nilai dan prestasinya anjlok. Ada orang yang merasa berhasil saat ia mampu menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Ada juga yang merasa adab, budaya, dan agama bukanlah standar tinggi rendahnya ilmu. Karenanya, kita dapati ragam manusia yang warna-warni. Ada anak TK, namun halus budi pekertinya. Ada pula profesor yang minim moral, menyerang agama, dan menistakan agama yang dijunjung tinggi oleh mayoritas masyarakat bangsa ini. Ada!

Intinya, manusia itu berbeda. Kita dibangun oleh lingkungan dan pendidikan yang berbeda, yang memengaruhi sudut pandang dan cara berpikir kita. Jadi, kita tak bisa selamanya melakukan pendekatan yang sama dan memosisikan diri kita sama dengan orang lainnya. Kita wajib mencari dan belajar uslub serta pendekatan yang berbeda. Berangkat dari sudut pikir bahwa kita tidak sama. Sehingga dakwah tidak melulu tentang kita. Namun juga demi kebaikan bersama. Karena agama ini memang Allah turunkan untuk seluruh manusia yang hidup di semesta-Nya.

Yang Kusesali

Awalnya aku kaget dengan sifat dan karakter manusia yang berbeda. Aku yang belum terbiasa menganggap hal itu di luar batas toleransiku. Sebut saja mereka yang biasanya kurang adab di mejelis ilmu, kurang peka terhadap masalah keumatan, hingga mereka yang berkata-kata kasar dan kotor seperti, anjing, kampret, goblok, tolol, dll.

Siapa yang tidak melongo dengan bahasa dan jenis adab seperti itu? Namun siapa sangka? Di zaman ini, kata-kata seperti ini dan karakter yang kurang adab bukanlah hal yang baru. Mereka pacaran, mereka berpakaian setengah telanjang, mengelukan kaum homo, dan bersorak untuk idolanya yang kafir itu. Bahkan, di antaranya ada yang terlibat zina, melakukan seks bebas, dan aborsi. Pusing pastinya melihat realitas ini. Namun, inilah potret generasi masa kini, di mana kita tinggal di sana.

Namun, aku terlambat dalam memahami hal itu. Aku melepaskan genggaman sahabat yang kupikir takkan mampu berjalan beriringan denganku. Mereka terlalu berbeda, perilaku mereka tidak bisa dimaafkan. Biar aku hidup dengan sahabat sefrekuensi saja. Berteman, bernasihat dengan yang mau menerima saja. Yang lain? Biarkan mereka dengan dunianya.

Inilah yang aku sesali, karena aku kurang memahami. Bahwa dakwah adalah mengajak orang kembali ke jalan yang baik, bukan hanya menasihati yang telah baik. Apa gunanya dakwah di lingkungan yang baik, jika kerusakan dan kebobrokan mendominasi? Tujuan dakwah itu untuk menegakkan Islam kaffah dan itu tidak akan tegak jika dakwah Islam hanya berputar di sekitar golongan tertentu saja.

Bukan Hasil

Ya, seharusnya golongan yang baik itulah yang menegakkan amar makruf nahi mungkar. Bukan malah betah dakwah sesamanya, lalu menganggap di luar sana tidak pantas dan membiarkan mereka terus berkubang dalam keburukan yang tiada ujungnya.

Karena hakikat dakwah sejatinya hanya menyampaikan, tolong-menolong di atas jalan kebenaran. Di atas diri kita ada hak saudara, sebagaimana di atas pribadi mukmin lainnya, yakni hak untuk saling mengingatkan. Sebagaimana firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 71, "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang munkar."

Karena yang Allah perintahkan adalah dakwah, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka bukanlah hak kita sebagai manusia mengubah keadaan suatu kaum. Karena hak mengubah keadaan suatu kaum ada pada masing-masing kaum tersebut. Jika pribadi atau kaum tersebut berkeinginan mengubahnya, maka Allah bantu ia mengubahnya. Sebagaimana firman Allah, Ar-Ra'd ayat 11, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri."

Jadi, ukuran berdakwah bukanlah hasil. Karenanya dakwah adalah hasil itu sendiri. Sampaikan saja kebenaran Islam, sesuai kesanggupan dan semaksimal mungkin. Allah berfirman dalam An-Nisa' ayat 125, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan dengan cara yang baik."

Khatimah

Mungkin kelalaianku terjadi karena kurangnya kepekaanku terhadap masalah di sekelilingku. Aku yang begitu tega membagi duniaku di antara dunia yang sangat rusak dan kacau ini. Padahal, aku juga tinggal di sana, di atas dunia yang sama dengan teman-teman lainnya.

Ya, tidak ada duniaku dan dunia mereka. Kita semua ada di posisi yang sama. Karena itu, mengemban dakwah ini adalah tugas kita bersama. Segala kebobrokan yang umat alami ada hak dan peran kita di sana. Di mana semua itu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Azza wa Jalla.

Wallahu a'lam bishawab![]

Himmah ‘Aaliyah Penuh Berkah

“Himmah ‘aaliyah ini terlahir dari فكر المستنير (pemikiran yang cemerlang) melalui تثقيف مركزة (pembinaan Islam secara intensif) sehingga melahirkan kader-kader berkepribadian Islam yang bergerak menggapai cita-cita dengan tekad yang tinggi.”

Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Terbitnya fajar kemenangan Islam tidak boleh menjadi angan-angan belaka. Bukan pula dengan berpasrah tiada daya. Sebab, momen itu telah dijanjikan Allah Swt. dalam QS. An-Nur ayat 55: “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…”

Oleh, karenanya kemenangan itu harus disongsong dengan perjuangan yang dimotori keimanan, pemikiran, dan tsaqafah mustanirah. Pun ditopang himmah 'aaliyah. Sebagaimana penuturan Ali bin Abi Thalib r.a. :

علو الهمة من الايمان

“Tingginya tekad adalah bagian dari keimanan”.

Lantas, sudahkah kaum muslim memahami makna himmah ini? Apakah manusia paling mulia, Baginda Nabi Muhammad saw. juga mengamalkannya?

Himmah

Secara bahasa, himmah berarti النية (niat), اردة (kehendak), العزيمة (tekad)
Sedangkan secara istilah:

الهمة هي البا عثمان على الفعل وهي الارادة والقصد والعزيمة على العمل

“Himmah adalah motivasi perbuatan, kemauan, niat, dan tekad untuk melakukan sesuatu.”

Himmah ini dibagi menjadi dua macam, yakni himmah 'aaliyah (tekad yang tinggi) dan himmah daniyah (tekad yang rendah). Seseorang dikatakan memiliki himmah 'aaliyah jika telah menganggap kecil semua perkara selain cita-citanya. Misalnya, seorang hamilu dakwah yang bercita-cita melangsungkan kembali kehidupan Islam, dia akan fokus pada cita-citanya, tak peduli seberapa besar tantangan, pengorbanan, dan risiko yang harus ditanggungnya.

Sebaliknya, orang dengan himmah daniyah menganggap besar semua perkara selain cita-citanya. Dia mudah berpaling dari target, tergoda dengan iming-iming, bahkan cenderung mencari aman. Orang macam ini mudah digoyang dan goyah seketika.

Himmah erat kaitannya dengan hadaf (target). Hadaf ini tentu saja harus berada dalam bingkai syarak. Dapat dikatakan, himmah ini merupakan wasilah menuju hadaf. Himmah tanpa target, membuat hilang arah dan tak terukur capaiannya. Target tanpa himmah, akan berakhir menjadi angan-angan belaka. Perpaduan keduanya akan menyempurnakan upaya untuk menggapai keberhasilan.

Apakah himmatul 'aaliyah ini bisa ditempatkan di semua urusan? Rasulullah menjawabnya dengan suatu penuturan:

ان الله تعالى يحب معالي الامور واطرافها ويكر هسفسافها

“Sesungguhnya Allah mencintai urusan-urusan mulia dan terhormat serta membenci urusan-urusan rendah/remeh.” (Shahihul jami’)

Ini berarti, hanya urusan-urusan mulia yang disarankan untuk memiliki himmatul 'aaliyah seperti:

  1. Menuntut ilmu. Urusan ini mulia, urgen, bahkan wajib untuk ditunaikan. Melalaikannya sama dengan menumpuk dosa. Ilmu diraih dengan usaha sungguh-sungguh, tanpa kenal lelah.
  2. Ibadah. Hasan Al-Basri pernah mengatakan: “Jikalau ada orang yang menandingi kamu dalam agamamu, maka tandingilah dia; jika ada orang yang menandingi kamu dalam dunia, maka kalungkanlah dunia itu ke lehernya."
  3. Mencari kebenaran. Dunia ini kini diselimuti dusta dan keangkuhan manusia. Menemukan kebenaran di dalamnya, bagai mencari jarum di atas tumpukan jerami.
  4. Berdakwah. Ini merupakan tugas mulia warisan para nabi dan rasul. Esensi dakwah itu adalah amar makruf nahi mungkar. Membebaskan manusia dari belenggu tirani manusia kepada aturan Allah yang paripurna.

Sungguh, himmatul 'aaliyah ini tidak akan hadir dalam benak kita, tanpa ilmu dan kemauan untuk mendapatkan kemuliaan di akhirat. Marilah kita renungkan penuturan seorang tabi’in Hasan Al-Basri yang mengungkapkan alasan kezuhudannya:
“Aku meyakini bahwa rezekiku tidak akan diambil orang lain, maka tenteramlah hatiku. Aku mengetahui bahwa amal-amal ibadahku tidak mungkin dilakukan oleh orang lain, maka aku menyibukkan untuk melakukannya. Aku meyakini bahwa Allah selalu melihatku, aku malu bila aku bermaksiat. Aku mengetahui bahwa kematian sedang menanti aku, maka aku bersiap untuk menghadap Allah Swt.”

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Fawaaidul Fawaaid pernah berkata:

المطلب الاعلى موقف حصوله على همة عالية ونية صحيحة

“Cita-cita yang tinggi tergantung kepada keinginan yang mulia dan niat yang baik.”

Bahkan, Syekh Zarnuji di dalam kitab Ta’alim Muta’alim pun menuturkan:

فان المرء يطير بهمته كالطير يطير بجناحه

“Manusia itu akan terbang dengan cita-citanya, sebagaimana terbangnya burung dengan kedua sayapnya.”

Himmah ‘Aaliyah demi Gapai Khilafah

Himmah ‘aaliyah ini tepat sekali jika menjadi dinamo dalam perjuangan penegakan Khilafah yang merupakan manifestasi riil dari penerapan Islam kaffah. Bahkan, ini merupakan تاج الفرود (mahkota kewajiban), di mana seluruh kewajiban akan terealisasi jika institusi negara ini tegak. Satu-satunya metode untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam yang kini telah porak-poranda aturan Islamnya dan bercerai berai umat Islamnya.

Namun, himmah ‘aaliyah ini tidak sekonyong-konyong muncul tanpa ada upaya sebelumnya. Himmah ‘aaliyah ini terlahir dari فكر المستنير ) pemikiran yang cemerlang) melalui تثقيف مركزة (pembinaan Islam secara intensif) sehingga melahirkan kader-kader berkepribadian Islam الشخصية الاسلامية
yang bergerak menggapai cita-cita dengan tekad yang tinggi.

Betul himmah ‘aaliyah tidak bisa dilihat secara dzohir, sebab berkaitan dengan akal dan hati. Namun, bisa diejawantahkan dalam keistikamahan terhadap aktivitas dakwah. Tetap teguh walaupun godaan dunia begitu memesona. Tetap berdiri tegak melewati kerikil dan batu besar yang mengadang. Tidak lekas lelah dan menyerah dengan penolakan, tekanan, dan tindak represif orang-orang yang membenci perjuangan ini.

Rasulullah sebagai Teladan

Taqiyyudin Al-Muqrizi dalam kitab sirahnya, Imta’ Al-Asma’, menuturkan: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara orang yang berakal, bahwa Nabi Muhammad saw. adalah orang yang paling tinggi himmah-nya, paling berlimpah hikmah pengetahuannya…”

Oleh karena itu wajar, jika Beliau saw. mampu meraih kesuksesan dalam perjuangan dakwah, walaupun halangan dan rintangan terus mendera. Semua dihadapi dengan penuh kesabaran, optimisme, dan keyakinan akan kebenaran yang diperjuangkannya.

Bahkan, teror dan penganiayaan serta boikot yang ditimpakan kaum Quraisy kepada Nabi saw. dan para sahabat tidak bisa melemahkan himmah ‘aaliyah dan menghentikan perjuangan mereka. Sebaliknya, hal tersebut justru semakin memperkuat keimanan dan komitmen dakwah. Ini sejalan dengan hikmah di balik doa:

حسبنا الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير

“Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung.”

Doa ini pula yang dipanjatkan Nabi Ibrahim a.s. ketika ia dilemparkan ke dalam api yang berkobar oleh musuh-musuhnya. Doa ini disunahkan untuk dilantunkan ketika menghadapi kesulitan dan perkara besar. Ini pun bisa diamalkan dalam mengiringi langkah perjuangan kita.

Tak lupa kita rutinkan juga membaca selawat Asyghil:

اللهم صلى على سيدنا محمد واشغل الظالمين بالظالمين واخرجنا من بينهم سالمين وعلى اله وصحبه اجمعين

“Ya Allah, berikanlah selawat kepada pemimpin kami Nabi Muhammad, dan sibukkanlah orang-orang zalim dengan orang zalim lainnya. Selamatkanlah kami dari kejahatan mereka. Dan limpahkanlah selawat kepada seluruh keluarga dan para sahabat Nabi saw.”

Khatimah

Sebagai muslim, selayaknya kita meneladani Nabi Muhammad saw. dalam meniti kehidupan dunia yang fana ini. Tidak berpaling walaupun sekejap. Himmah ‘aaliyah dibarengi niat lurus, ikhtiar optimal dan benar, serta doa yang tiada terputus akan mengantarkan kita pada cita-cita tertinggi yakni melangsungkan kembali kehidupan Islam dalam naungan Khilafah Islamiah. Allahu Akbar!

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]


Photo : Pinterest

Perbudakan Atas Nama Pendidikan

"Walaupun pada umumnya ketentuan PKL mengikuti aturan internal pihak yang memberikan kerja. Pun tidak ada kewajiban bagi si pemilik usaha atau majikan untuk menggaji siswa-siswa PKL, akan tetapi bukan berarti pihak perusahaan bisa memberikan upah sesuka hati. Akibatnya aturan seperti ini memberi celah timbulnya perbudakan. Seolah memberikan kesempatan pada orang-orang yang berpikiran picik untuk mengambil keuntungan atas nama pendidikan."

Oleh. Diyani Aqorib
(Aktivis Muslimah Bekasi)

NarasiPost.Com-Masyarakat Bekasi dibuat geram sehubungan pemberitaan mengenai siswa-siswa Praktik Kerja Lapang (PKL) yang diupah murah oleh sebuah hotel di Bekasi. Bagaimana tidak? Mereka hanya diberi upah 10 ribu rupiah per hari dengan jam kerja sekitar 10-13 jam. Upah yang sangat kecil untuk jam kerja yang sangat panjang. Sungguh tidak manusiawi!

Seperti dilansir dari suarabekasi.id (19/5/2022) terdapat kasus dugaan siswa PKL yang diupah sangat murah dengan jam kerja yang sangat panjang. Hal ini sontak menjadi sorotan publik, terutama ketika diunggah di salah satu akun media sosial. Banyak netizen yang menuntut agar kasus ini segera diusut tuntas.

Menanggapi hal tersebut, Plt Kadisparbud Kota Bekasi, Dedet Kusmayadi, menuturkan bahwa pihaknya sudah mendengarkan keluhan dari para orang tua siswa yang melaksanakan PKL dan berjanji akan memanggil pihak hotel. Ia juga akan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Dinas Ketenagakerjaan Kota Bekasi terkait aturan upah bagi siswa yang melaksanakan PKL sebagai bagian dari tugas sekolah. (suarabekasi.id, 19/5/2022)

Perbudakan Terselubung

Persoalan siswa PKL yang diupah murah tentu bukan masalah sepele. Karena ini menyangkut memperkerjakan tenaga manusia. Walaupun pada umumnya ketentuan PKL mengikuti aturan internal pihak yang memberikan kerja. Pun tidak ada kewajiban bagi si pemilik usaha atau majikan untuk menggaji siswa-siswa PKL, akan tetapi bukan berarti pihak perusahaan bisa memberikan upah sesuka hati. Akibatnya aturan seperti ini memberi celah timbulnya perbudakan. Seolah memberikan kesempatan pada orang-orang yang berpikiran picik untuk mengambil keuntungan atas nama pendidikan.

Pada akhirnya sang pemilik usaha pun merasa diuntungkan dengan adanya aturan ini. Mengapa? Karena mereka bisa mempekerjakan para siswa PKL tanpa memberinya upah. Mereka hanya perlu memberi "uang jajan" bagi peserta PKL. Besarannya pun tidak sesuai dengan besaran tenaga yang sudah dikeluarkan atau diberikan oleh para peserta PKL. Jelas ini perbudakan terselubung.

Apakah karena status mereka hanya siswa PKL yang belum memiliki pengalaman kerja, sehingga bisa diupah semaunya? Apalagi dengan jam kerja yang sangat panjang, tentu kondisi ini tak bisa dibiarkan.

Permasalahan ini muncul bukan tanpa sebab. Ideologi kapitalisme-sekuler yang sudah bercokol di negeri ini tentu sudah meracuni pemikiran masyarakat Indonesia. Sebuah pemahaman yang memisahkan agama dari kehidupan. Salah satunya pemahaman melakukan usaha sekecil-kecilnya untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan yang sebesar-besarnya. Pemahaman seperti ini sudah ditanamkan sejak lama. Karena tidak dikaitkan dengan pemahaman agama yang benar akhirnya berbagai cara dilakukan, bahkan mengambil kesempatan dalam kesempitan walaupun harus merugikan orang lain. Semua itu dilakukan demi mendapatkan untung yang sebesar-besarnya.

Kondisi ini diperparah dengan adanya aturan-aturan yang justru menguntungkan pihak pemilik modal atau pengusaha. Mereka bebas mempekerjakan para siswa PKL dengan jam kerja yang panjang dan tanpa diupah. Tentu hal ini sudah termasuk tindakan kriminal. Karena tidak menghargai tenaga manusia dengan layak.

Pandangan Islam

Dalam Islam, tenaga manusia sangat dihargai. Sudah seharusnya pengusaha atau majikan memberi upah yang layak dan sesuai akad. Upah atau ijarah adalah pembayaran atau imbalan yang diberikan pada seseorang atas usaha, kerja keras, atau pelayanan yang telah dilakukannya. Seperti yang dijelaskan dalam salah satu hadis tentang mengupah pekerja atas jasanya.

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw bersabda: Allah Swt berfirman, "Ada tiga golongan (orang) yang Aku musuhi (perangi) pada hari kiamat: seseorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu mengingkarinya, seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan harganya (hasil penjualannya) dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak dibayar upahnya." (HR. Bukhari)

Memang dalam Islam tidak ada kewajiban bagi pengusaha untuk memberi upah kepada pekerja sesuai kebutuhan hidupnya. Karena memang itu bukan kewajibannya. Khalifahlah yang wajib memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Namun, bukan berarti majikan bisa memberi upah seenaknya. Apalagi sampai tidak membayar upah pekerjanya. Apabila hal ini terjadi, maka bisa diadukan kepada penguasa dan diberikan sanksi.

Oleh karena itu, ketika membuat akad harus jelas, seperti pekerjaan apa yang harus dilakukan, lamanya jam kerja per hari atau minggu, serta besaran upah yang akan diterima. Hal-hal ini harus jelas dalam akad, serta harus ada keridaan di antara keduanya. Tidak boleh ada unsur pemaksaan dari salah satu pihak. Inilah aturan Islam dalam mengatur hak-hak pekerja. Aturan yang berasal dari Sang Maha Mengetahui, yaitu Allah Subhanahu wa ta'ala. Aturan yang menentramkan semua pihak, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.[]