PPN Naik : Gaya Pemalakan Zaman Now, Islam Hadir sebagai Solusi

"Saat ini, kita menyaksikan bagaimana potret buramnya kehidupan masyarakat dalam cengkeraman sistem kapitalis. Sistem ini sangat bertumpu pada pajak. Otak kapitalis yang begitu memuja materi mulai menyeruak tatkala kita berbicara soal pengaturan kehidupan masyarakat, ekonomi, dan juga keuangan negara. Maka, pajak hadir menjadi instrumen utama dalam mengisi kas negara."

Oleh. Rufaida Aslamiy

NarasiPost.Com-Wacana menaikkan PPN sudah santer digaungkan sejak tahun kemarin. Berbagai penolakkan pun mengemuka, tapi tampaknya pemerintah tidak bergeming. Buntut disahkannya UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), maka secara resmi pemerintah sudah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. (Suara.com, 2/04/2022)

Adanya kenaikan PPN saat ini jelas tidak memihak rakyat. Rentetan kenaikkan sejumlah barang dari awal tahun saja sudah mencekik rakyat, apalagi jika ditambah dengan PPN. Elpiji naik, minyak goreng, daging, cabai, hingga pertamax ikut naik. Siap-siap tarif operator seluler dan kuota pun akan naik akibat kenaikkan PPN ini. Maka, tidak aneh jika daya beli masyarakat pun menurun. Kenaikkan sejumlah barang disinyalir menjadi sebab tumbuhnya inflasi di tengah masyarakat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi adanya inflasi pada bulan Maret 2022 sebesar 0,66% atau secara tahunan sebesar 2,64% yoy. (kontan.co.id, 1/4/2022)

Pajak sebagai Penyokong APBN Terbesar: Gaya Pemalakan Zaman Now

Pajak dalam sistem kapitalis adalah penyokong terbesar APBN. Seperti dilansir dari cnbcindonesia.com (22/2/2022), penerimaan negara mencapai Rp156 triliun. Kontribusi terbesarnya adalah penerimaan pajak dengan Rp109,1 triliun atau tumbuh 59,4%. Sementara penerimaan bea cukai sebesar Rp24,9 triliun atau tumbuh 99,4%. Maka, wajar jika kenaikkan pajak kerap terjadi tiap tahun. Ini adalah sebagai langkah upaya menggenjot pendapatan negara.

Miris sekali, penderitaan masyarakat akibat kontraksi ekonomi selama pandemi pun belum juga usai. Kini ditambah lagi dengan kenaikkan PPN. Bukankah kebijakan seperti ini semakin melukai perasaan masyarakat?

Pajak tak ubahnya pemalakan gaya baru di zaman sekarang yang mengatasnamakan rakyat. Pemalakan ini dilakukan secara terstruktur dan sistematis kemudian didukung dengan regulasi (peraturan) yang kian menzalimi rakyat. Ya, begitulah watak asli kapitalis yang rusak ini. Dia akan menghisap darah rakyat seperti halnya hewan lintah.

Kapitalisme Biang Kerok Masalah

Saat ini, kita menyaksikan bagaimana potret buramnya kehidupan masyarakat dalam cengkeraman sistem kapitalis. Sistem ini sangat bertumpu pada pajak. Otak kapitalis yang begitu memuja materi mulai menyeruak tatkala kita berbicara soal pengaturan kehidupan masyarakat, ekonomi, dan juga keuangan negara. Maka, pajak hadir menjadi instrumen utama dalam mengisi kas negara. Adapun selain pajak, negara juga akan berutang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri yang basisnya adalah ribawi. Sementara pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) kian diliberalisasi (privatisasi) atas nama investasi. Inilah prestasi sistem kapitalis.

Dalam sistem ini, keberadaan masyarakat tidak boleh terus disubsidi oleh negara, karena jelas akan membebani APBN. Maka, semua aktivitas perekonomian yang terjadi harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Dampaknya, utang negara yang berbasis ribawi bisa semakin membengkak jumlahnya. Selain negara menanggung beban utang pokoknya, juga bunga yang sangat berlipat. Maka, untuk mengatasi APBN yang kian sulit bernapas dengan beban utang yang besar, ditariklah pajak dari rakyat. Ya, masyarakat akan terus diburu dengan kenaikan pajak dari waktu ke waktu. Bahkan PPN akan direncanakan naik 12 persen di tahun 2025 mendatang (Kompas.com, 6/11/2021). Motivasinya tiada lain yaitu untuk membiayai pembangunan dan percepatan pemulihan ekonomi nasional. Benar-benar alasan klise.

Islam Hadir sebagai Solusi

Islam sebagai agama paripurna punya seperangkat hukum yang mampu memecahkan persoalan hidup manusia, termasuk di dalamnya masalah ekonomi. Islam telah menggariskan batas-batas yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam mekanisme ekonominya. Allah Swt. telah menetapkan sejumlah aturan untuk kehidupan manusia. Karena sejatinya Allah memosisikan dirinya sebagai Al-Khalik Al-Mudabbir (Sang Pencipta sekaligus Pengatur). Maka, sebagai makhluknya kita wajib berpegang teguh pada hukum-hukum yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Inilah konsekuensi dari keimanan yang kita miliki, juga sekaligus bukti penghambaan kepada Sang Pencipta sehingga mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat.

Nash-nash syarak telah menetapkan bahwa:

  1. Pemimpin adalah pengayom urusan masyarakat. Landasannya: “Imam/Khalifah adalah raâin (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)

Sehingga negara bertanggung jawab penuh terhadap berbagai urusan masyarakat, termasuk di dalamnya persoalan ekonomi. Islam memandang subsidi terhadap rakyat itu bukan dosa apalagi beban, tapi kewajiban. Negara justru wajib menjamin kebutuhan dasar masyarakatnya.

  1. Perekonomian tidak dibangun dengan sistem ribawi.
    Islam sesungguhnya telah mengharamkan praktik riba, baik dilakukan oleh individu, masyarakat, maupun negara. Sebagaimana ketetapan-Nya: “Maka jika kamu tidak meninggalkan sisa riba, (maka ketahuilah) bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu." (QS: Al-Baqarah: 275)
  2. Kepemilikan terbagi menjadi tiga jenis: kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Islam tidak melarang seseorang untuk memiliki harta, tetapi Islam membatasi dan mengatur mekanisme cara perolehannya. Individu boleh saja memiliki rumah, kendaraan, tanah, dll selama tidak melanggar syariat (seperti mencuri, korupsi, menipu dll). Sedangkan dalam hal kepemilikan umum, maka individu/kelompok/swasta tidak boleh secara mutlak menguasai segala sesuatu yang terkategori kepemilikan umum, semisal: air, danau, tambang, minyak dan gas, hutan, laut, dll. Adapun kepemilikan negara, Islam mengatur bahwa harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin/masyarakat, maka pengelolaanya menjadi wewenang negara, semisal: harta faâi, kharaj, ghanimah, jizyah, gedung-gedung, fasilitas publik, dsb.
  3. Islam mengisi kas negara dengan metode yang berbeda dengan sistem kapitalis. Sumber pendapatan negara (Baitul Mal) dapat diperinci dari beberapa pos sebagai berikut:

a. Pos faâi dan kharaj: meliputi ghanimah, kharaj, jijyah, tanah-tanah, faâi, dan pajak.
b. Pos kepemilikan umum: meliputi minyak bumi, gas, barang tambang, listrik, danau, laut, sungai, selat, mata air, hima, hutan, padang gembalaan, dsb.
c. Pos zakat: meliputi zakat uang, komoditas perdagangan, pertanian dan buah-buahan, dan peternakan.

Jelas sekali, bahwa Islam berbeda denagn sistem kapitalis dalam mengisi kas negara. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama. Terlebih pajak ini dibebankan kepada rakyat. Tapi justru Islam akan mengoptimalkan pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara untuk menyokong kebutuhan masyarakatnya secara umum. Jadi, tidak ada cerita swasta/asing menguasai hajat hidup orang banyak. Kalaupun ada pajak, sifatnya hanya sewaktu-waktu saja, tidak terus-menerus, ketika kas negara benar-benar kososng, dan itupun yang dipungut hanya bagi warga yang mampu saja dari klaangan muslim. Sementara warga yang kurang mampu ataupun warga nonmuslim walaupun kaya, tidak akan terkena pajak (dharibah). Inilah indahnya sistem ekonomi dalam Islam.

Semoga kita semua semakin sadar bahwa Islam satu-satunya yang cocok mengatur kehidupan karena bersumber dari Zat Yang Mahabenar yaitu Allah Swt. Wallahu’alam[]

Bisikan Rasa

Sayang berjuta sayang.
Ada satu perbedaan terus membentang.
Awal Ramadan sehari berselang.
Bisikan rasa sedih datang tak diundang.
Maklumat digelar membingkai nasib malang

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Tak ada lelah membayangi tiap langkah
Gegap gempita menyambut bulan penuh berkah
Sukacita bertabur sangat indah
Bulan mulia tuk optimalkan ibadah
Demi meraih takwa dan rida Allah

Senja merona di horizon barat
Setiap hati telah lama tertambat
Menanti hilal Ramadan yang kian dekat
Rasa rindu kian membuncah dan menguat
Dalam seserpih asa dan rasa yang saling terikat

Rukyat hilal telah tampak di bumi
Saatnya kaum muslim perkokoh diri
Menapaki setiap helai amalan yang berarti
Menyongsong pahala yang dilipatgandakan oleh Ilahi Rabbi
Terbingkai azam dan ikhtiar yang telah terpatri

Sayang berjuta sayang
Ada satu perbedaan terus membentang
Awal Ramadan sehari berselang
Bisikan rasa sedih datang tak diundang
Maklumat digelar membingkai nasib malang

Rembulan hanya satu saja
Ketaatannya hanya pada Sang Maha Pencipta
Tak sedikit pun menyelisihi kehendak-Nya
Berputar dalam lintasan yang telah ditetapkan-Nya
Hingga jelas kapan awal dan akhir bulan di dunia

Bisikan rasa sedih bertalu-talu
Sebab, beda terlalu sering bertamu
Membuka jurang lebar perselisihan yang menggebu
Akal pun berdenyut perihal apa yang dimau
Padahal Allah ciptakan satelit bumi hanya satu

Bukan tak berarti sebuah beda
Menyajikan keretakan yang terus berlipat ganda
Ukhuwah islamiah mulai terlepas begitu saja
Saat pandangan tak lagi sama
Sungguh bisikan rasa sedih menyelimuti rongga dada

Tak hendak berlarut
Dalam altar perbedaan yang berkabut
Amar makruf nahi mungkar terus berlanjut
Walau jutaan akal mulai berkerut
Demi mengurai benang kusut

Ramadan bulan penuh kemuliaan
Hadirnya selalu terbayang dalam pelupuk kerinduan
Bisikan rasa menderu memecah kerisauan
Niat dan langkah kembali fokus pada tujuan
Demi meraih hakikat ketakwaan[]

Bedah Naskah(Opini part 1 )

"Beropini tanpa analisis dan solusi berbahaya! Sebab, membuat kita terpaku pada yang viral saja, kurang peka dengan konstelasi, hanya menyentuh permukaannya saja. Ini ibarat meninju di ruang kosong."

Oleh. Nur Jamilah, S.Pd.I.
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

Gerakan Putus Asa: Hari Ini Boleh Nikah Beda Agama, Besok Boleh Nikah Jenis Kelamin Sama?

NarasiPost.Com-Pernikahan adalah suatu hal yang sakral, paling tidak itulah bagi kita rakyat Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur agama ataupun budaya yang melekat kuat di masyarakat. Sayangnya semua keindahan luhur itu kini diuji oleh segelintir pihak yang mencari-cari celah untuk memisahkan nilai-nilai agama dengan urusan lainnya.

Belum lama tersebar kabar dari Jawa Tengah seorang yang mengaku sebagai muslimah menikah dengan seorang non muslim, bak “menyambut gayung” momentum para hegemoni pendukung nikah beda agama, salah seorang staf khusus Presiden Joko Widodo ikut-ikutan dengan menyebarkan kabar bahwa dirinya yang muslimah telah menjadi istri dari seorang non muslim.

Haruskah kita terkaget-kaget dengan berita ini? Rasanya tidak, bagaimana pun gerakan “Pemberontak Ajaran Agama” ini selalu ada dan hanya memutar isu-isu yang mereka rasa bisa dijadikan wadah agar mereka bisa tetap eksis.

Pemberontakan” mereka yang menggaungkan kebolehan menikah beda agama tak lebih dari suara oknum yang mengaku muslim tetapi berteriak bahwa ibadah qurban adalah sebuah kekejaman terhadap hewan.

Bukannya tidak mau menghadirkan ayat-ayat atau keterangan mengenai masalah ini, namun entah berapa kali penjelasan sudah disampaikan, toh ujung-ujungnya mereka tetap jalan. Alasannya ya “muter-muter” saja.

Jika tinjauan agama mereka pakai pendapat segelintir penafsiran yang katanya ulama yang mana menghalalkan nikah beda agama ini, dengan perbekalan oknum nakal yang bisa menyukseskan pendataan pernikahan mereka. Jika tinjauan dengan embel-embel kemanusiaan ya nggak jauh dari ungkapan “Cinta Mengalahkan Segalanya”.

Ok katakanlah pada akhirnya mereka makin kuat dengan banyak yang mendukung atau bahkan negara memulai “kendur” dalam penegakkan aturan hukum yang mengatur hal ini, apa yang akan terjadi?

Besok bisa saja akan ada yang bilang dengan membawa setumpuk klaim hasil penelitian bahwa daging babi punya manfaat kesehatan jadi memakan babi adalah sesuatu yang boleh bagi Umat Islam

Atau sekelompok orang berbekal kebebasan berekspresi membawa pernyataan-pernyataan yang di klaim dari para Ahli bahwa hubungan badan sesama jenis tidaklah berbahaya bahkan menyehatkan. Bisakah itu terjadi? Sangat bisa! Hal ini karena sesuatu yang dasarnya hanya semuanya manusia ya pasti batu keras pun bisa saja mereka anggap bergisizi untuk dimakan!

Maka jika Anda tidak punya alasan “melawan” kebodohan para Pemberontak Ajaran Agama ini, maka pikirkanlah dampak kedepan jika para Pemberontak Agama Ini terus menerus didiamkan.

Melawan adalah jalan yang harus dilakukan, tetapi tentu tidak dengan tindak kekerasan. Kita perlu menguatkan narasi serta literasi untuk melawan mereka. Pendalaman ilmu kegamaan dipadukan dengan ilmu umum kenikian tentu sangat berguna untuk melawan balik narasi yang mereka sampaikan.

Mereka Adalah Kaum Putus Asa

Mengapa demikian? Karena faktanya usaha pelegalan pernikahan beda agama secara hukum negara telah mereka lakukan dengan melakukan Judicial Review. Alhamdulillah, Allah Swt masih membukakan mata hati pemangku kebijakan terkait untuk melihat potensi berbahayanya jika hal itu dilegalkan. Dan tentu kita berharap ketetapan ini tak berubah walaupun pelaku pernikahan beda agama ini adalah orang dekat dari penguasa republik ini.

Yang lucu adalah mereka tetap saja melakukan walau negara mengatakan hal itu terlarang, apa mereka tidak disebut “memberontak” negara karena tidak taat aturan?

Terlebih karena “Mbak Stafsus Milenial” ini seorang muslimah nampaknya dia juga sadar betul meski dekat dengan Presiden Jokowi, Wakil Presiden Ma’ruf Amin adalah orang yang menandatangani fatwa MUI soal haramnya nikah atau perkawinan beda agama.

Ya benar! Wakil “bos” Anda adalah yang bertanggung jawab dalam fatwa haram perkawinan beda agama.

Mereka nampaknya putus asa dan menggunakan cara lain karena selalu kalah dengan melakukan Judicial Review atau melakukan bantahan yang sifatnya head to head pemikiran. Akhirnya mereka pun nampak sekali mencoba bermain di persepsi masyarakat dengan narasi seolah-olah pernikahan beda agama ini adalah hal wajar.

Bayangkan saja sosok Permadi Arya atau Abu Janda yang selalu beteriak NKRI harga mati, tiba-tiba dalam postingannya di media mengucapkan selamat dengan membawa narasi keagamaan yang menurutnya boleh nikah beda agama walaupun negara melarang. Standar ganda betul “Ustaz” satu ini!

Dengan mulai menarik simpati lewat kisah-kisah “mengharukan” mereka bak drama percintaan korea yang penuh lika-liku, perkawinan beda agama ini mulai diframing sebagai sebuah happy ending.

Mulailah lah mereka menggoreng dengan membawa narasi “yang nikah agamanya sama aja ada yang nggak bahagia, itu ada artis nikah beda agama bertahun-tahun tetap awet dan harmonis, makin kaya lagi!”.

Rendah betul hubungan pernikahan dan perkawinan hanya dinilai sebatas nampak bahagia di mata orang apalagi standarnya kaya raya! Hilang sudah esensi kesakralan sebuah pernikahan. Kalau sudah begini apa bedanya kita dengan orang-orang barat yang tidak mempedulikan sebuah pernikahan? masa bodo dengan hubungan badan, selama sama-sama enak ya jalan saja!

Memang perlu kesadaran bersama dari semua elemen, khususnya para tokoh lintas agama untuk meneguhkan sikap bahwa pernikahan dan perkawinan beda agama ini “tidak ada pintu” di tanah air kita tercinta ini.

Pemerintah harus bisa tegas menindak siapa saja oknum yang membuat hal ini bisa terwujud.

Rakyat harus benar-benar paham akan bahaya mereka para “Pemberontak Ajaran Agama” dan mereka yang terang-terangan melwan aturan negara.

Bedah Naskah

Setelah menyimak naskah di atas, maka berikut ini masukan-masukannya:

1. Judul
Gerakan Putus Asa: Hari Ini Boleh Nikah Beda Agama, Besok Boleh Nikah Jenis Kelamin Sama?

Judul ini terlampau panjang, belum 'eye catching' kurang pas ungkapan 'gerakan putus asa'-nya, faktanya justru kelompok yang memperjuangkan nikah beda agama dan sesama jenis tidak kenal lelah menghalalkan segala cara dalam jangka waktu lama agar diterima masyarakat, intinya menjauhkan umat muslim dari ajarannya. Sebab, Islamlah satu-satunya agama yang paling keras menolak kedua ide busuk tadi.

2. Lead: cukup bagus.

3. Pemaparan fakta sangat banyak, menyebar dari awal hingga akhir tulisan.

Namun sayang, tanpa dicantumkan satu pun sumber berita yang bisa dipertanggungjawabkan. Betul, dalam setiap tulisan, selayaknya kita menampilkan resonansi peristiwa lain, namun tidak perlu terlalu banyak dan berputar-putar di sana. Sehingga, kita lupa menganalisis dan menawarkan solusi hakiki.

3. Analisis.

Nyaris tidak dibahas apa yang menjadi akar masalah dari tema yang diangkat. Pembaca hanya diajak berputar-putar pada banyak peristiwa yang senada.

4. Solusi.

Tidak ada solusi hakiki yang ditawarkan oleh penulis. Mestinya, penulis menawarkan solusi visioner plus langkah-langkah untuk merealisasikannya. Lebih bagus lagi jika ditunjang dengan bukti historis.

5. Beropini tanpa analisis dan solusi berbahaya!

Sebab, membuat kita terpaku pada yang viral saja, kurang peka dengan konstelasi, hanya menyentuh permukaannya saja. Ini ibarat meninju di ruang kosong.

6. Diksi

Diksi yang digunakan tampaknya hanya menumpahkan luapan emosi penulis. Belum disertai penggiringan pada pemikiran tertentu.

7. Kalimat tidak efektif

Banyak ditemukan kalimat-kalimat yang tidak efektif bahkan sulit untuk dicerna maksudnya, misalnya:
Atau sekelompok orang berbekal kebebasan berekspresi membawa pernyataan-pernyataan yang diklaim dari para ahli bahwa hubungan badan sesama jenis tidaklah berbahaya bahkan menyehatkan. Bisakah itu terjadi? Sangat bisa! Hal ini karena sesuatu yang dasarnya hanya semuanya manusia ya pasti batu keras pun bisa saja mereka anggap bergisizi untuk dimakan!

Ada yang paham maksudnya apa???

8. Kesalahan KBBI, PUEBI, dan typo

Masih ditemukan sejumlah kesalahan dalam penerapan kaidah PUEBI, KBBI, dan typo. Penempatan huruf kapital yang belum pada tempatnya. Berikut di antara kesalahannya:

menyambut gayung 👉 gayung bersambut
non muslim 👉 nonmuslim
qurban 👉 kurban
di klaim 👉 diklaim
para Ahli 👉 para ahli
kedepan 👉 ke depan
kegamaan 👉 keagamaan
kenikian 👉 kekinian
nampaknya 👉 tampaknya
melwan 👉 melawan

9. Subjudul
Jika penulis ingin memetakan tulisan dalam beberapa subjudul, setidaknya berikan 2 subjudul yang berisi analis dan solusi, untuk fakta tidak mengapa tidak diberi subjudul. Sementara, di sini hanya ada satu subjudul yang tidak membahas secara mendalam terkait analisis dan solusinya.

10. Pengaturan Alinea

Mohon diperhatikan, aturannya bukan satu kalimat satu alinea ya. Tapi, satu alinea minimal terdiri dari 3 kalimat.

Intinya tulisan ini belum sistematis, tidak komprehensif, dan sisi ideologisnya belum muncul.

Demikianlah, semoga bisa menjadi pelajaran untuk kita semua. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh[]


Photo : Canva & pribadi

Pajak Kembali Naik, Rakyat Kian Tercekik

"Tak ada yang bisa diharapkan pada sistem kapitalisme hari ini, apalagi berkenaan dengan keberpihakan penguasa terhadap masyarakat. Ketika penguasa mengatakan bahwa setiap adanya kenaikan harga pada satu sektor adalah untuk masyarakat, maka perlu dipertanyakan masyarakat bagian mana yang kemudian mendapatkan keuntungan atas segala kebijakan naiknya harga tersebut?"

Oleh. Syifa Nurjanah
(Aktivis Dakwah)

NarasiPost.Com-Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, menyatakan bahwa kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang awalnya 10 persen menjadi 11 persen telah berlaku mulai 1 April 2022 dan tidak ada penundaan. Sebagaimana diberitakan oleh jawapos.com (22/03) ia juga mengatakan pada acara webinar Economic Outlook 2022 bahwa kenaikan pajak ini untuk digunakan kembali oleh masyarakat guna menciptakan fondasi pajak yang kuat. Dan hal ini pula dilakukan dalam rangka mengupayakan reformasi perpajakan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HP). Dimana aturan ini disinyalir dapat menyehatkan kembali APBN yang telah bekerja keras selama pandemi.

Masyarakat Masih dalam Pemulihan Ekonomi

Dalam dua tahun lebih terakhir Indonesia dihadapkan pada pandemi yang berdampak pada banyak aspek dalam kehidupan masyarakat. Terutama aspek ekonomi, banyak perusahaan yang merumahkan para pekerja dan para pengusaha dibatasi arus geraknya demi mencegah penularan dan meningkatnya kasus angka terinfeksi. Di tahun 2022 ini, barulah masyarakat mulai menghirup aroma pemulihan dalam sektor ekonomi, namun harus mendapatkan kenyataan pemberlakuan pajak dengan tarif baru. Ditambah dengan berbagai kenaikan harga dasar kebutuhan lainnya, aspek pangan terutama.

Ekonom CORE, Pitter Abdullah, menyatakan bahwa menaikan PPN di tengah pemulihan ekonomi sekarang ini tidak tepat. Apalagi di tengah inflasi yang meningkat, justru kenaikan PPN ini akan semakin menambah gerak tinggi lajur tren inflasi. (Cnbcindonesia.com, 15/03/2022)

Masih dalam laman yang sama, Piter juga mengungkapkan bahwa dengan naiknya PPN di kondisi pemulihan ekonomi pasca pandemi justru akan menurunkan daya konsumsi masyarakat. Belajar dari Jepang dalam laporan Japan Research Institut, kenaikan tarif PPN akan menaikan harga barang dan jasa 0,9% dan konsumen pengeluarannya akan berkurang sebanyak 0,6%. Hal ini juga bukan tidak mungkin terjadi pada Indonesia dimana kenaikan harga akan berdampak pada turunnya daya beli masyarakat dan pemulihan ekonomi akan tertahan.

PPN untuk Masyakarat, Benarkah?

Faisal Basri seorang ekonom senior menolak keras terhadap kebijakan pemerintah dalam menaikan PPN menjadi 11 persen ini. Pasalnya sebagaimana yang dikutip dari cnbcindonesia.com (25/03), kenaikan PPN menjadi 11 persen sementara Pajak Penghasilan Badan turun dari 25 persen menjadi 22 persen, hal ini tentulah tidak adil bagi masyarakat. Sementara saat ini, masyarakat masih dalam proses pemulihan ekonomi, tentu kenaikan pajak ini tidak berpihak kepada masyarakat dan dapat menekan masyarakat yang berupaya untuk bangkit dalam sektor ekonomi.

Jelas sudah di depan mata masyarakat, kepada siapakah keberpihakan penguasa pada sistem kapitalisme ini. Dalam kondisi sulit pasca pandemi dan dalam upaya untuk bangkit, banyak sekali harga sektor pangan yang dinaikkan dan ditambah lagi dengan kenaikan harga PPN-nya. Kepentingan masyarakat seolah tak digubris, pernyataan kenaikan untuk masyarakat dan APBN ini seolah-olah hanya omong kosong belaka. Yang banyak masyarakat Indonesia ketahui justru APBN digunakan untuk perkara-perkara yang tak masyarakat butuhkan, seperti inisiasi dalam membangun sirkuit F1, pembangunan IKN baru yang sejatinya tidak termasuk kepada urgensi untuk dibangun atau bahkan yang sudah jadi sirkuit Mandalika yang masih dalam banyak sorotan karena menghabiskan dana selangit. Maka, kepentingan para pemilik modallah yang menjadi aspek penting dalam penggunaan APBN, bukan kepentingan masyarakat.

APBN dalam Sistem Islam

Tak ada yang bisa diharapkan pada sistem kapitalisme hari ini, apalagi berkenaan dengan keberpihakan penguasa terhadap masyarakat. Ketika penguasa mengatakan bahwa setiap adanya kenaikan harga pada satu sektor adalah untuk masyarakat, maka perlu dipertanyakan masyarakat bagian mana yang kemudian mendapatkan keuntungan atas segala kebijakan naiknya harga tersebut?

Miris, saat APBN yang sejatinya salah satu aspek penyokongnya adalah pajak dari masyarakat justru digunakan bagi hal-hal yang tidak berguna bagi masyarakat.

Islam sebagai sebuah ideologi yang terpancar darinya aturan, mengatur betul tentang pos-pos APBN ini agar APBN ini tidak menjadi beban umat, namun tetap digunakan untuk kepentingan umat. Sumber penerimaan APBN dalam Islam berada pada Baitul Mal, dan sama sekali tidak mengandalkan sektor pajak. Bahkan dalam sistem Islam, negara sebisa mungkin tidak memungut pajak pada masyarakatnya. Tiga hal utama yang menjadi sumber Baitul Mal yaitu sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, zakat dan lainnya, lalu sektor kepemilikan umum berupa hasil tambang, minyak bumi dan gas, kehutanan dan kepemilikan umum lainnya, dan yang ketiga adalah sektor kepemilikan negara berupa jizyah, kharaj, ghanimah dan lainnya.

Adapun seluruh pembelanjaan, khalifahlah yang berwenang menentukan dan menetapkan anggaran belanja dan semua tersentralisasi kepada khalifah. Seluruh pos-pos pengeluaran dan besaran dana mengacu pada prinsip kemaslahatan dan keadilan seluruh masyarakat. Dan ini sudah tergariskan pada kaidah syarak dan berpegang pada surat Al Hasyr ayat 7:

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya."

Dalam firman Allah jelas sekali ditekankan bahwa harta negara tidak boleh untuk berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Terdapat enam kaidah yang harus dipegang oleh khalifah dalam alokasi anggaran belanja. Khusus untuk kas Baitul Mal yang berasal dari zakat, pengeluarannya diperuntukkan kepada delapan asnaf sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 60.

Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari Baitul Mal diperuntukan belanja keperluan jihad dan pemenuhan kebutuhan orang-orang fakir dan miskin. Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap diperuntukkan sebagai kompensasi orang-orang yang telah mencurahkan jasa untuk kepentingan negara seperti hakim, tentara, pegawai negara, dan lainnya. Pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat yang sifatnya wajib, yaitu jika tidak adanya sarana tersebut dapat membahayakan umat, seperti rumah sakit, jembatan, air bersih, masjid, sekolah, jalan dan lainnya. Pos pembelanjaan yang bersifat kondisional, seperti dalam pembelajaan kebutuhan ketika masyarakat dihadapkan pada musibah, seperti bencana alam, paceklik, pandemi dan lainnya. Pos pembelanjaan untuk masyarakat namun sifatnya tidak wajib yang sifatnya tambahan dan tidak menyebabkan keburukan bagi masyarakat jika sarana tidak ada.

Maka, apa yang digariskan dan ditetapkan Islam sangat jauh dari yang terjadi pada hari ini, saat kebutuhan dan kepentingan masyarakat menjadi nomor sekian. Penerapan sistem Islam adalah satu hal yang dirindukan, maka berjuang agar kehidupan Islam kembali adalah sebuah keharusan karena kembalinya kejayaan Islam adalah kenisacaayaan. AllahuAkbar!
Wallahu’alam bi asshawab[]