Aturan Miras Dilonggarkan, Aturan Islam Ditinggalkan

Masyarakat yang individualis dan egois ternyata juga sejalan dengan peran negara yang tidak memperhatikan urusan rakyatnya. Negara lebih memprioritaskan kepentingan wisatawan asing agar mau datang ke negeri ini dengan alasan menambah pemasukan negara. Negara hanya berpikir untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengorbankan generasi mudanya.

Oleh. Atien

NarasiPost.Com-Generasi muda adalah harapan bangsa. Masa depan bangsa ada di pundak generasi muda.
Bangsa ini sangat membutuhkan pemuda-pemuda tangguh dan mumpuni. Pemuda-pemuda hebat pembawa perubahan yang hakiki. Namun, untuk mendapatkan sosok pemuda pembawa perubahan ke arah yang lebih baik bagaikan pungguk merindukan bulan. Sosok pemuda demikian sepertinya sangat jauh dari jangkauan.

Wajar saja jika siapa pun merasa pesimis. Apalagi ketika para pemangku kekuasaan justru mengeluarkan kebijakan yang bikin miris. Kebijakan yang sangat merugikan, terutama bagi para generasi muda. Kebijakan tersebut berisi aturan yang dikeluarkan oleh Kemendag dalam Permendag RI No. 20 tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, yang salah satunya adalah impor miras.

Aturan impor miras ini mendapat kritik dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Menurut Ketua MUI, Cholil Nafis, kebijakan tersebut memihak kepentingan wisatawan asing yang datang ke Indonesia. Namun, di sisi lain justru merugikan anak bangsa dan pendapatan negara. Hal tersebut disampaikan Cholil Nafis pada Minggu, (7/11/2021, kumparannews).

Kerugian yang dimaksud terlihat dari perubahan pasal 27 Permendag tahun 2014 yang memberikan batas minuman beralkohol di bawah 1000 ml, menjadi 2500 ml dalam Permendag yang baru tersebut. Pelonggaran ini tentu akan berpengaruh kepada perilaku masyarakat serta dampak buruk yang diakibatkan dari kebijakan tentang minuman keras ini.

Kebijakan yang Merugikan Generasi Muda

Kebijakan tersebut tentu menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat. Mengapa negara begitu mudahnya mengeluarkan kebijakan tanpa memikirkan akibat dari kebijakan tersebut?
Bukankah tanpa adanya kebijakan yang baru, berbagai keburukan dan tindak kejahatan yang diakibatkan oleh miras sudah begitu merajalela? Kerusakan moral generasi muda yang sudah begitu nyata, membuat para orang tua menangis dan mengelus dada. Ditambah lagi dengan banyaknya kemaksiatan lain yang melanda dunia remaja.

Remaja begitu mudahnya terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan. Maraknya pergaulan bebas, kecanduan narkoba, tawuran antarremaja dan segudang keburukan seolah mengepung dunia remaja. Dunia remaja yang indah dan seharusnya diisi dengan hal-hal baik ternyata direnggut paksa oleh berbagai keburukan yang terus menghadang.

Hilangnya Peran Masyarakat dan Negara

Lantas ke mana para remaja harus mengadu? Sedangkan para orang tua pun mengalami jalan buntu dalam mendidik dan mengarahkan anak remajanya. Peran masyarakat juga tidak banyak membantu. Masyarakat hanya memberi respons jika sudah ada peristiwa yang terjadi. Contohnya, bila ada sekelompok anak muda yang keracunan bahkan meninggal akibat minuman keras. Respons yang muncul hanya sebentar dan mudah menghilang dari perhatian mereka. Begitu juga negara yang membisu dan pura-pura tidak tahu kerusakan yang ditimbulkan dari pengaruh miras yang menghadirkan kesenangan sesaat yang semu.

Berbagai respons dan reaksi di tengah masyarakat terkait miras memang memprihatinkan. Masyarakat yang individualis dan egois ternyata juga sejalan dengan peran negara yang tidak memperhatikan urusan rakyatnya. Negara lebih memprioritaskan kepentingan wisatawan asing agar mau datang ke negeri ini dengan alasan menambah pemasukan negara. Negara hanya berpikir untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengorbankan generasi mudanya.

Apa yang dilakukan oleh negara memang bukan hal mengagetkan. Hal itu memang sesuai dengan sistem rusak yang diadopsi negara. Sistem yang hanya mementingkan materi dunia. Sistem yang tidak peduli akan baik buruknya sebuah aturan. Semua dilakukan agar keinginannya tercapai. Itulah sistem rusak kapitalis liberal. Sistem yang lebih membela para pemilik modal. Membela mereka yang memberikan kekuasaan. Kepentingan rakyat menjadi terabaikan. Tugas mengurusi rakyat pun ditinggalkan.
Akankan sistem rusak itu dipertahankan?

Aturan Islam Tegas dan Jelas

Sudah saatnya mengganti sistem rusak tersebut dengan sistem yang benar. Sistem yang datang dari Dzat Yang Mahasempurna, Allah Swt. Sistem yang akan mengatur, menjaga dan melindungi seluruh umatnya. Inilah sistem Islam yang sempurna dengan seperangkat aturannya. Islam mengatur manusia dari bangun tidur sampai membangun negara. Islam juga mengatur urusan manusia termasuk makanan dan minuman. Khusus minuman, Islam telah memberikan panduan mana minuman yang boleh dikonsumsi dan mana yang dilarang. Mana minuman yang halal dan mana yang haram. Semuanya jelas aturannya di dalam Islam. Allah Swt berfirman yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan."
(TQS. Al Maidah [5]: 90)

Keharaman miras atau khamr juga dijelaskan Rasul saw dalam sabdanya, " Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram."(HR. Muslim)

Dalam hadis lain Rasul saw juga bersabda yang artinya, "Jibril datang kepadaku dan berkata;" Wahai Muhammad, sesungguhmya Allah melaknat khamr, pembuatnya, orang yang minta dibuatkan, penjualnya, pembelinya, peminumnya, orang yang menerima harganya, yang mengangkutnya, yang menerimanya, yang menuangkannya dan yang minta dituangkan."
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Al Hakim).

Hadis di atas berisi tentang laknat Allah Swt kepada 10 orang yang berhubungan dengan beredarnya minuman keras atau khamr di tengah masyarakat.

Aturan Islam juga mewajibkan negara untuk memberi had atau hukuman kepada peminum miras atau khamr. Hukuman itu diterapkan untuk mencegah terjerumusnya seseorang dari tindakan kemaksiatan yang sama.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a berkata: “Sesungguhnya seorang lelaki yang meminum arak telah dihadapkan kepada Nabi saw, kemudian beliau memukulnya dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali. Anas berkata lagi, “hal tersebut juga dilakukan oleh Abu Bakar”. Ketika Umar meminta pendapat dari orang-orang (mengenai hukuman tersebut), Abdurrhman bin Auf berkata, “Hukuman yang paling ringan (menurut ketetapan Al-Qur’an) adalah delapan puluh kali pukulan”. Kemudian Umar pun menyuruhnya demikian." (HR.Muttafaq ‘Alaih).

Begitu sempurnanya Islam dalam setiap aturannya. Islam akan senantiasa memperhatikan kepentingan umatnya. Menjaga akalnya agar terhindar dari berbagai tindak kemaksiatan. Namun, semua itu hanya menjadi sebuah harapan kosong, karena aturan Islam banyak yang ditinggalkan. Saatnya menerapkan seluruh aturan Islam secara kaffah di setiap aspek kehidupan.

Wallaahu 'alam.[]


Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Menilik Sejarah Lapas dalam Peradaban Islam

"Dalam Islam sejatinya hukuman penjara bukanlah tujuan utama, akan tetapi penegakan keadilan. Maka dari itu, sebagian ulama termasuk di dalamnya Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa penjara adalah alat untuk memperbaiki perilaku manusia, penjara bukanlah tujuan utama, bahkan jika diperoleh cara lain untuk perbaikan selain penjara, maka jalan itu dapat ditempuh."


Oleh. Aya Ummu Najwa

NarasiPost.Com-Dalam bahasa Arab, lapas atau penjara disebut Al-Sijnu yang berarti menahan, yaitu tempat untuk menahan atau membatasi kebebasan mereka yang dikurung disebabkan melakukan pelanggaran. Penjara diciptakan dengan tujuan untuk mengubah warga negara yang melakukan kejahatan atau sebuah tuduhan untuk menjadi lebih baik dan taat hukum. Meski tak sedikit mereka yang pernah dipenjara tetap tidak berubah dan bahkan menjadi lebih lihai dalam melakukan kejahatannya, karena penjara sering dianggap sebagai perguruan untuk melakukan kejahatan.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauzy menjelaskan istilah penjara sebagai berikut;“Sesungguhnya penjara di dalam Islam bukanlah layaknya penjara yang kita ketahui (tempat yang sempit), akan tetapi penjara di dalam Islam bermakna untuk menahan dan mencegah seseorang untuk melakukan perkara sesuai dengan kehendaknya, penahanan itu bisa dilakukan di rumah, di masjid, atau bahkan menugaskan seseorang untuk mengawasinya"

Sementara itu, Syaikh Abdurrahman Al-Maliki berpendapat, "Penahanan atau pengurungan adalah untuk mencegah dan menghalangi seseorang untuk mengatur dirinya sendiri. Maknanya adalah kemerdekaan dan kebebasan seseorang sangat dibatasi, hanya pada apa yang diperlukannya sebagai seorang manusia. "

Dalam Al-Qur'an sendiri Allah menyebutkan terkait kata penjara dalam surat Yusuf ayat 33:_"Berkata Yusuf; Ya Tuhanku, penjara lebih kusukai daripada menuruti kemauan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan condong untuk (memenuhi ajakan mereka) dan pastilah aku termasuk orang-orang yang bodoh. "

Dalam surat lain, Allah juga berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 33,"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, serta membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan cara menyilang, atau mereka dibuang dari negeri mereka. Hal yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksa yang dahsyat"
Sebagian ulama tasfir menafsirkan kata "membuang mereka" dengan penjara, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Tabyin Al-Haqa’iq Sharh Kanz Al-Daqa’iq.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menyebutkan penjara dalam beberapa hadis, di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud no 3603,_"Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah memenjarakan seseorang karena suatu tuduhan. "

Seperti diketahui bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam serta Khalifah Abu Bakar tidak membangun bangunan penjara. Beliau shalallahu 'alaihi wasallam, ketika menahan seseorang yang malakukan pelanggaran atau menawan tawanan perang hanya diikat di pagar depan masjid Nabawi, atau menahannya di rumah, dan lain-lain.

Namun, seiring berkembanganya peradaban Islam dengan semakin meluasnya wilayah kekhilafahan, serta semakin banyak orang yang memeluk Islam, dan kian banyaknya pelaku pelanggaran, maka pada masa Khalifah Umar bin Khattab, dibuatlah penjara pertama dalam sejarah Islam di Makkah. Khalifah Umar berinisiatif membeli rumah Shafwan bin Umayyah dengan harga 4.000 dirham yang kemudian dikhususkan untuk menahan para pelaku pelanggaran. Hingga pada masa pemerintahan Sayidina Ali bin Abi Thalib yaitu khalifah ke empat, ia membangun bangunan khusus bagi para pembuat onar, yang kemudian diberi nama Penjara "Nafi'" yang berarti bermanfaat. Akan tetapi dikarenakan bangunannya yang kurang kokoh, mengakibatkan banyak tahanan yang dengan mudah melarikan diri. Maka, Sang Khalifah melakukan evaluasi dan dibangunlah kembali sebuah penjara yang disebut Mukhayyis, yang kemudian resmi menjadi bangunan penjara pertama dalam Islam yang bangunannya mencerminkan bangunan lapas, bukan hanya sebuah rumah untuk menahan pelaku kejahatan.

Secara umum, pada masa Khulafaur Rasyidin, para tahanan diperlakukan dengan layak. Setelah masa itu, pada masa kekhilafah Bani Umayyah semua berubah. Telah tercatat dalam sejarah masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, ia mempunyai seorang menteri yang terkenal bengis yaitu Al-Hajjaj bin Yusuf. Pada masa itu terjadi peristiwa yang mengakibatkan meninggalnya 50 ribu tahanan pria, dan 30 ribu tahanan wanita dengan penyebab yang belum jelas. Sehingga pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang meski hanya memerintah yang terbilang singkat, yaitu sekitar 2 sampai 3 tahun, namun ia merupakan seorang khalifah yang terkenal karena kesalihannya dan kemakmuran dunia Islam di bawah kekuasaannya. Ia juga mulai kembali memperbaiki kondisi penjara dalam kekhilafahannya. Perbaikan itu meliputi segi fasilitasnya juga perlakuan terhadap para tahanan. Umar mulai mengembalikan fungsi penjara agar sesuai dengan maqasyid syariat (tujuan penetapan hukum).

Adapun beberapa perbaikan yang dilakukan Khalifah Umar bin Abdul Aziz terkait kondisi penjara;

Pertama, penjara adalah satu bagian dari hukuman, maka dilarang memenjarakan seseorang tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. Umar memegang prinsip bahwa tak ada hukuman tanpa tindak kejahatan, sehingga ia sangat berhati-hati dalam menghukum pelaku kejahatan. Ahmad bin Abdullah Al-Ashbahani, dalam kitab Hilyah Al-Auliya, 5/275, menyebutkan kisah ketika Adiyya bin Artha mendatangi Umar bin Abdul Aziz untuk meminta izin memenjarakan seseorang, maka Umar pun mengatakan kepadanya,"Sungguh aku heran kepadamu yang meminta izin kepadaku untuk menghukum manusia, seolah-olah aku dapat menjadi perisaimu daripada siksa Allah, dan seolah-olah keridaanku dapat menyelamatkanmu dari kemurkaan-Nya. Demi Allah, jika Allah yang menghukumnya dikarenakan kejahatannya, maka itu lebih aku cintai daripada aku yang harus menghukumnya."

Kedua, hukuman kurungan adalah salah satu jenis hukuman ta'zir dan bukanlah hukuman had. Sehingga Umar berpendapat bahwa jika seseorang sudah mendapatkan hukuman had, maka ia tak berhak lagi untuk mendapatkan hukuman ta'zir, yaitu hukuman kurungan penjara.

Ketiga, penjara mempunyai esensi berupa hukuman juga kehinaan. Seseorang yang dipenjara, sejatinya ia telah mendapatkan hukuman berupa penahanan, sanksi sosial berupa kehinaan di mata masyarakat. Maka bagi para penegak hukum dilarang keras menambah hukuman lain selain hukuman kurungan tersebut.

Keempat, hukuman penjara memiliki nilai kemaslahatan bagi pelaku pelanggaran maupun bagi masyarakat. Umar bin Abdul Aziz mengatakan, “Penjara merupakan bangunan yang dibangun oleh mereka yang berkeadaban yang bertujuan untuk membersihkan dosa manusia."

Kelima, dalam Islam sejatinya hukuman penjara bukanlah tujuan utama, akan tetapi penegakan keadilan. Maka dari itu, sebagian ulama termasuk di dalamnya Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa penjara adalah alat untuk memperbaiki perilaku manusia, penjara bukanlah tujuan utama, bahkan jika diperoleh cara lain untuk perbaikan selain penjara, maka jalan itu dapat ditempuh.

Penjara, walaupun sering diidentikkan sebagai tempat yang penuh hal-hal keburukan, namun pada faktanya, penjara tidak hanya tempat yang diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran. Akan tetapi penjara sering dijadikan alat untuk membungkam mereka yang berani menolak kezaliman penguasa dan menyuarakan kebenaran, atau mereka yang dianggap menentang rezim yang sedang berkuasa. Contohnya seperti; Imam Abu Hanifah dipenjara pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah, beliau wafat dipenjara dalam usia 68 tahun, Imam Ahmad bin Hambal pada masa Khalifah Al Mu'tasim dari Khilafah Abbasiyah, Imam Syafi'i dipenjara dan dirantai pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid dari Bani Abbasiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang keluar masuk penjara selama 12 kali selama hidupnya, Sayyid Qutb pada masa rezim Gamal Abdul Nasser dari Mesir, dan masih banyak lagi. Indonesia sendiri ada berapa tokoh muslim atau bahkan pahlawan yang pernah merasakan pengapnya hotel prodeo, seperti Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, dan Buya Hamka, dan yang paling baru adalah IB HRS.

Akan tetapi mereka membuktikan bahwa penjara hanya mengurung jasmani mereka semata, sedangkan pikiran serta dedikasi mereka untuk mengubah peradaban masih terus membara. Mereka terus berkarya untuk menjaga cahaya Islam tetap menyala, di antaranya Imam As Sarakhsi ulama mazhab Hanafi yang menulis kitab Al Mabsuth yang menjelaskan pandangan ulama lintas Mazhab, Ibnu Taimiyah dengan kitabnya Ar-Raddu ‘ala Al-Ikhnai yang terakhir ditulisnya sebelum wafatnya, Sayyid Qutb ketika dipenjara menulis kitab Fi Dzilalil Qur’an, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya Hamka merampungkan 30 jilid dari tafsir Al-Azhar.

Dalam Islam, penjara mempunyai tiga fungsi yaitu;

Pertama, istidhar, berfungsi untuk memperjelas status seseorang yang dipenjara. Dari sini diketahui apakah ia berhak mendapatkan hukuman tersebut ataukah tidak. Misal orang yang menolak membayar utang padahal sudah jatuh tempo, ia bisa ditahan di penjara sampai dia membayar utangnya, dan jika ia diketahui kesulitan membayar utangnya maka ia tidak boleh dipenjara.

Kedua, ihtiyath atau fungsi kehati-hatian. Sebagai salah satu langkah kewaspadaan arena ada kemungkinan pelaku kejahatan melarikan diri sebelum statusnya jelas, atau kemungkinan terjadinya penganiayaan terhadap pelaku, maka penjara digunakan untuk menahan tersangka.

Ketiga, uqubat atau hukuman, yaitu sebagai salah satu jenis hukuman ta'zir. Ta'zir adalah sanksi yang ditetapkan oleh penguasa (Khalifah) yang tidak diatur dalam hudud (Al-Qur'an dan hadis) . Contohnya jarimah atau kejahatan yang dikenai ta'zir adalah seperti pencurian yang belum mencapai nishab yaitu standar harta yang dicuri, seperti mencuri buah dari pohonnya, dan lain-lain.

Wallahu a'lam.[]