Genjot Pajak di tengah Melimpahnya SDA, Ada Apa?

"Patut dipertanyakan! Mengapa pemerintah begitu getol dalam memungut pajak rakyat dan seakan buntu mencari sumber pendapatan negara lainnya? Sementara negara memiliki kekayaan SDA yang sangat banyak yang pengelolaannya diserahkan kepada pihak asing dan aseng. Apakah pemerintah tak punya kuasa untuk melirik kekayaan negerinya sendiri?"

Oleh. Qisti Pristiwani
(Mahasiswi UMN Alwashliyah)

NarasiPost.Com-Sah! Pemerintah bersama DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang Harmonisasi Pengaturan Perpajakan (UU HPP). Dalam pengaturannya, pemerintah akan menggunakan Nomor Induk Kepemilikkan (NIK) di KTP sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi. (Merdeka.com 12 Okt 2021)

Penggunaan NIK sebagai NPWP meniscayakan seorang warga negara tak akan terlepas dari pengenaan pajak. Dengan menyatukan data ini, semakin meringankan kerja pemerintah dalam memungut pajak. Meski Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menegaskan bahwa setiap masyarakat yang memiliki NIK tidak serta-merta langsung dikenakan pajak, namun seharusnya kebijakan penarikkan pajak ini bukanlah menjadi prioritas yang paling diutamakan pemerintah untuk mengisi kas negara dan menyampingkan sumber pendapatan lain seperti kekayaan SDA yang melimpah ruah seantero negeri.

Patut dipertanyakan! Mengapa pemerintah begitu getol dalam memungut pajak rakyat dan seakan buntu mencari sumber pendapatan negara lainnya? Sementara negara memiliki kekayaan SDA yang sangat banyak yang pengelolaannya diserahkan kepada pihak asing dan aseng. Apakah pemerintah tak punya kuasa untuk melirik kekayaan negerinya sendiri?
Jelas, hal ini semakin menampakkan bahwa sistem pemerintahan hari ini sedang menjalankan prinsip ekonomi kapitalis dalam membangun negerinya. Ciri khas sistem kapitalisme memang menjadikan pajak sebagai instrumen negara untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran masyarakat. Pajak dijadikan tumpuan negara agar tetap berdiri meskipun rapuh. Padahal, setelah sekian lama negara membebani rakyat dengan pajak, kita tidak juga melihat masyarakat sejahtera hingga hari ini. Malah sangat membebani rakyat.

Jika pemerintah memang serius mewujudkan keadilan dan kemakmuran masyarakat, seharusnya pemerintah berani menarik semua kekayaan alam negeri ini dari tangan asing dan aseng untuk dikelola secara mandiri dan mendistribusikan hasilnya pada masyarakat. Tentu saja, hal ini masuk akal jika benar-benar ingin menyejahterakan rakyat. Namun, mengharapkan kebaikan tersebut hanyalah khayalan semata di sistem saat ini. Kebaikan tersebut tak akan pernah melingkupi masyarakat bila negeri ini masih kuat menggenggam sistem kapitalisme-liberal buatan manusia.

Berbeda halnya dengan sistem perekonomian dalam pemerintahan Islam Kaffah. Sistem perekonomian Islam jelas bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Dibuktikan dengan pengaturan ekonomi yang mengatur pemasukan dan pengeluaran kas negara berdasarkan aturan Islam. Jelas, sistem ini membawa pada keadilan sebab aturan Islam berasal dari Allah Swt Yang Mahaadil.
Keuangan negara dalam sistem pemerintahan Islam dikelola oleh Baitul Mal. Adapun kas Baitul Mal diisi dari banyak sumber, yakni : ghanimah (harta rampasan perang), kharaj, jizyah, harta milik umum (SDA), harta yang tidak ada pewarisnya, harta orang yang murtad, pajak dan lainnya. Pajak hanya dijadikan sebagai alternatif yang bersifat temporal bila sewaktu-waktu Baitul Mal tak mampu lagi mencukupi seluruh kebutuhan. Tidak menjadi prioritas utama dan tidak bersifat permanen seperti saat ini. Dengan demikian, kewajiban negara untuk menyejahterakan rakyat dapat terwujud tanpa harus meminta uang rakyat untuk menyejahterakan diri mereka sendiri.

Sistem perekonomian Islam ini haruslah dibarengi penerapannya dengan sistem vital lain yang berbasis Islam pula. Seperti sistem pendidikan, sosial dan sistem pemerintahan Islam secara komplet. Sebab, tatanan kehidupan yang baik akan lahir dari sistem kehidupan yang baik pula. Tak akan mungkin sistem perekonomian bebasis syariah dapat diterapkan menyeluruh tanpa dukungan dari sistem pemerintahan yang islami pula. Tentu tak akan sejalan. Karena itu, sangat penting dan genting untuk menerapkan sistem kehidupan Islam kaffah pada saat ini, yang menerapkan aturan kehidupan Islam secara menyeluruh agar terwujud kesejahteraan masyarakat. Wallahua’lam bisshowab.[]

Belajar dari Kesalahan

"Tidaklah orang yang beriman itu terperosok ke dalam satu lubang sebanyak dua kali."
(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Huraira )

Oleh. Mariyah Zawawi

NarasiPost.Com-Seperti biasa, saat pelajaran bahasa Arab melalui zoom, ustazah yang mengajar selalu memeriksa tugas kami satu persatu. Beliau memeriksanya dengan sangat teliti. Ada kesalahan sedikit saja, beliau tahu. Misalnya, saat ada yang menulis sebuah huruf yang merupakan penyusun sebuah kalimah (kata) agak terpisah dari huruf lainnya, beliau langsung tahu. Atau saat ada yang menggunakan huruf alif padahal seharusnya menggunakan huruf hamzah. Mungkin seperti guru bahasa Indonesia yang menjerit hatinya saat membaca tulisan yang banyak kesalahan ejaannya atau tidak sesuai tata bahasa.

Sering kali setelah tugas itu kami perbaiki, kami masih melakukan kesalahan. Suatu malam, sebelum beliau mengoreksi kembali hasil pekerjaan kami, beliau bertanya, "Bagaimana, sudah bisa mengerjakan tugasnya?" Seorang teman menjawab, "Sudah saya coba perbaiki, Ustazah. Tapi tidak tahu, sudah betul atau masih salah."

Setelah beliau mengoreksi tugas teman tersebut, ternyata masih ada banyak kesalahan. Teman itu pun berkata, "'Afwan Ustazah, masih banyak yang salah." Beliau kemudian menjawab, "Nggak apa-apa. Kita kan belajar dari kesalahan."

Saya pun manggut-manggut mendengar penjelasan Ustazah. "Benar juga ya kata Ustazah. Sepertinya kita memang sering belajar dari kesalahan," kata saya kepada diri sendiri.

Saat mencoba sebuah resep, bisa saja terjadi, hasilnya tidak sesuai harapan kita. Tidak seenak hasil masakan orang lain. Maka, kita akan berusaha untuk mencari di mana letak kesalahannya. Setelah menemukannya, kita bisa mencobanya lagi.

Begitu pula saat mendidik anak. Meskipun banyak teori tentang parenting yang kita pelajari, belum tentu fakta yang kita hadapi semudah teori yang kita baca. Karena itu, tetap ada kemungkinan kita melakukan kesalahan.

Atau saat membuat tulisan. Demikian pula dengan aktivitas-aktivitas lainnya. Kemungkinan melakukan kesalahan itu akan ada. Sebab, 'to err is human', kata orang Inggris.

Yang penting, saat kita melakukan kesalahan adalah tidak menimpakan kesalahan tersebut kepada orang lain. Mengakui kesalahan adalah sebuah sikap yang bijak. Dengan cara seperti itu, kita dapat memperbaiki diri kita.

Banyak hal yang bisa kita pelajari dari kesalahan yang kita buat atau kesalahan orang yang dibuat oleh orang lain. Dari kesalahan-kesalahan itu, kita kemudian menemukan yang paling tepat. Seorang chef misalnya, bisa jadi menemukan sebuah resep masakan setelah berkali-kali mencoba. Begitu pula dengan pengusaha atau pun yang lainnya.

Anggara Jati dan Riska Wahyu, pendiri dan pemilik usaha sebuah merek bolu lapis di Bogor, mengaku melakukan uji coba hingga berkali-kali. Melalui metode ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi), ia mencoba menemukan resep yang pas untuk membuat bolu kukus berbahan dasar terigu dan talas bogor. Hingga pada akhirnya ia menemukan takaran paling tepat, sehingga bolu kukus buatan mereka pun digemari banyak orang.

Hingga sekarang, bolu tersebut menjadi salah satu oleh-oleh khas kota Bogor. Tak berhenti di situ, pasangan suami istri itu kemudian mengembangkan lapis kukus Surabaya dan bakpia kukus di Yogyakarta. Kedua jenis kue itu juga menjadi oleh-oleh khas dari dua kota tersebut.

Jauh sebelum Orville Wright dan Wilbur Wright yang dikenal sebagai Wright bersaudara menemukan pesawat pada tahun 1903, ada orang lain yang menemukannya. Abbas Ibnu Firnas telah menciptakan pesawat kayu sederhana pada tahun 875. Ilmuwan bernama asli Abbas Abu Al-Qasim Ibnu Firnas Ibnu Wirdas Al-Takurini ini, lahir di Andalusia, Spanyol. Namun, ia menghabiskan sebagian besar usianya di Cordoba yang saat itu menjadi pusat belajar kaum muslimin.

Ibnu Firnas berhasil terbang selama beberapa menit. Namun, ia tidak bisa mendarat dengan baik hingga mengalami cedera yang serius. Dari kegagalannya, ia menyadari ada kesalahan pada rancangan pesawat buatannya. Ia lupa tidak menambahkan ekor pesawat yang bisa mengendalikan kecepatan pesawat. Sayangnya, ia belum sempat memperbaiki kesalahannya. Mimpinya untuk terbang meski tidak mempunyai sayap pun kandas. Sebab, Allah telah memanggilnya sebelum ia melakukan perbaikan pada pesawatnya.

Belajar dari kesalahan pula, Sultan Muhammad Al-fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel. Beliau berhasil menemukan strategi dan peralatan yang tepat untuk merealisasikan bisyarah Rasulullah saw. Dibantu Orban, seorang insinyur dari Hungaria yang berhasil membuat meriam terbesar sepanjang masa serta pasukan terbaik, Sultan Muhammad Al-Fatih berhasil mewujudkan mimpinya. Beliau pun menjadi panglima terbaik seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw.

Karena itu, jangan takut melakukan kesalahan. Baik itu saat belajar atau pun melakukan usaha. Sebab, dari kesalahan yang kita lakukan, kita dapat belajar memperbaiki diri kita. Dengan demikian, kita akan menjadi lebih baik.

Namun, bukan berarti kita merasa nyaman dengan kesalahan tersebut sehingga kita melakukannya lagi dan lagi. Sikap seperti ini tidak seharusnya dimiliki oleh seorang muslim. Sebab, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah telah mengingatkan hal ini. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda,

لَا يُلدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ حُجْرٍ وَاحِدٍ

"Tidaklah orang yang beriman itu terperosok ke dalam satu lubang sebanyak dua kali."

Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Baari, seorang muslim harus selalu waspada. Ia tidak boleh lalai dalam urusan agama dan dunianya. Karena itu, tidak selayaknya ia melakukan kesalahan yang sama hingga dua kali. Apalagi jika kesalahan itu dilakukan berkali-kali.

Belajar dari kesalahan ini dapat diterapkan dalam banyak hal, termasuk dalam bidang pemerintahan. Belajar dari kesalahan para pemimpin negeri ini, seharusnya masyarakat sadar bahwa pinjaman dari asing akan menjerat negeri sehingga tak mampu berkutik. Belajar dari kesalahan para pemimpin negeri ini pula, seharusnya masyarakat mau meninggalkan sistem rusak yang saat ini diterapkan. Namun, lagi-lagi mereka lupa dengan semua itu. Akibatnya, mereka pun jatuh ke lubang yang sama. Lubang yang semakin dalam dan gelap. Wallaahu a'lam bishshawaab.[]

Rekontekstualisasi Fikih: Sekularisme Akut Meracuni Umat

"Upaya musuh Islam merekayasa dengan bantuan rezim, untuk menggiring opini agar ide Khilafah dimasukkan pada kajian tarikh/sejarah an sich, nyatanya belum berhasil. Kali ini apa yang diungkapkan oleh Menag, bahwa perlu adanya rekontekstualisasi fikih karena mengikuti perkembangan zaman, benar-benar bahaya yang sangat besar bagi umat."

Oleh. Sherly Agustina, M.Ag
(Penulis dan pemerhati kebijakan publik)

NarasiPost.Com-Di dalam buku Hafidz Abdurrahman, fikih yaitu kumpulan hukum perbuatan cabang yang digali dari dalil-dalil kasus per kasus. (Ushul Fikih, hlm. 8). Para ulama menggali (mengistinbath) dalil dari Al-Qur'an dan hadis, bukan berdasar pada akal semata, seperti para filosof. Jika terjadi rekontekstualisasi fikih, apakah maksudnya menggunakan Al-Qur'an dan hadis sesuai hawa nafsu?

Telah digelar acara tahunan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2021 di Surakarta, yang dikenal dengan konferensi pendidikan Islam. Dilansir dari detik.com, Menag, Yaqut Cholil Qoumas membuka acara AICIS dan mengatakan bahwa akademisi memiliki peran penting dalam merekontekstualiasi konsep fikih ntuk menyesuaikan keadaan zaman yang terus berubah (25/10).

Berbagai narasi dari musuh Islam terus diembuskan, agar umat Islam terpecah dan tidak mudah bersatu. Dibuat istilah atau labeling, Islam moderat, radikal, dan tradisional. Hingga umat Islam digiring agar menjadi moderat dengan dalih inklusif dan tidak kaku. Sementara yang menolak Islam moderat, diposisikan radikal serta harus diperangi.

Sekularisme Akut Meracuni Umat Islam

Namun, umat masih ada yang mau berpikir mana yang benar dan bagaimana harus bersikap. Walau labeling radikal terus digaungkan bagi yang taat syariat (tidak moderat) dan mendapat perlakuan tidak adil di mata hukum. Seiring berjalannya waktu, pertolongan Allah kian terasa dengan semakin meluasnya ide Khilafah di tengah-tengah umat. Musuh Islam kebakaran jenggot hingga otaknya berputar terus, bagaimana caranya menggagalkan kebangkitan umat Islam.

Kini, ide moderasi beragama dianggap cara yang cukup ampuh sebagai realisasi dari sekularisme yang ditancapkan musuh Islam di Indonesia. Berbagai pelatihan moderasi beragama dilakukan di berbagai segmen mulai dari kalangan pendidik, pesantren, majlis taklim, dan sebagainya. Acara yang dikenal dengan konferensi pendidikan Islam (AICIS) pun ditunggangi racun yang mematikan bagi umat Islam. Musuh tahu bahwa ide Khilafah adalah bagian dari fikih Islam yang disepakati oleh para ulama dan tak pernah ada perbedaan pendapat tentangnya.

Upaya musuh Islam merekayasa dengan bantuan rezim, untuk menggiring opini agar ide Khilafah dimasukkan pada kajian tarikh/sejarah an sich, nyatanya belum berhasil. Kali ini apa yang diungkapkan oleh Menag, bahwa perlu adanya rekontekstualisasi fikih karena mengikuti perkembangan zaman, benar-benar bahaya yang sangat besar bagi umat. Bagaimana umat tahu yang halal dan haram, jika yang menggali hukum dari Al-Qur'an dan hadis mengikuti hawa nafsu dan akal saja?

Nyata, sekularisme telah meracuni umat Islam hingga ke akar-akarnya. Umat tidak bisa tinggal diam, manakala fikih diobrak-abrik, nas harus mengikuti perkembangan zaman. Jika hukum berubah sesuai dengan waktu dan zaman, bukankah itu menunjukkan bahwa Allah adalah lemah sebagai Pencipta? Kalau demikian, maka keimanan seorang hamba diragukan. Sebagai Pencipta, Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk ciptaan-Nya di seluruh dunia, dulu atau pun sekarang. Aturan itu tertuang di dalam Al-Qur'an dan hadis, tugas ulama menggali dalil dan hukum dari nas tersebut.

Sesungguhnya permasalahan manusia dari dulu hingga kini tetap sama, yaitu bagaimana manusia bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri yang Allah berikan (potensi hidup). Adapun jenis atau cara pemenuhan potensi itu yang kian hari kian berkembang. Dahulu cara memenuhi kebutuhan jasmani, makan misalnya, cukup dengan nasi, tahu dan tempe saja. Sekarang, berkembang berbagai jenis makanan yang dibuat dengan teknik yang beragam pula.

Rekontekstualisasi Fikih Bahaya, Harus Ditolak!

Hukum mencuri di dalam Islam, dari dulu hingga sekarang sama, yaitu potong tangan (QS. al Maidah: 38). Karena termasuk perkara had (huduud) yang hukumnya sudah ditetapkan di dalam Al-Qur'an. Namun, ada penjelasannya rinci dari para ulama bahwa hukum potong tangan bagi pencuri tidak langsung diterapkan begitu saja. Misal, apakah mencurinya terpaksa karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kalau iya, maka tugas pemimpin untuk lebih optimal memperhatikan rakyatnya agar tidak terjadi perilaku mencuri. Selain itu, ada batas minimal atau nishab ketentuan potong tangan bagi pencuri. Seperti yang Rasulullah sampaikam dalam sebuah hadis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukum potong tangan terhadap pencurian perisai yang senilai tiga dirham [HR. Muslim:1687), Tirmidzi (1446)]

Nishabnya 3 dirham, ketentuan potong tangan diberlakukan. Jadi, tidak langsung setiap pencuri dipotong tangannya. Ditambah ada dua orang saksi yang adil, muslim, berakal dan merdeka. Apabila para ulama tidak menjelaskan secara detil ketentuan ini, maka umat tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika ada pencuri dan membaca ayat tentang hukum potong tangan bagi pencuri. Bukankah hasil penggalian hukum ini hanya berdasar wahyu semata, bukan akal yang mengada-ada dan berdasar nafsu semata? Di zaman serba modern, dengan dalih terus berkembang dan Islam itu inklusif serta universal, lantas hukum bagi pencuri jadi berubah?

Ingat pada satu kaidah Ushul fikih, bahwa "hukum tidak berubah dengan berubahnya waktu dan tempat."

Bagi seorang muslim yang lurus, pasti berpikir rekontekstualisasi fikih adalah suatu musibah besar bagi umat. Dikhawatirkan terjadi penyelewengan hukum yang tidak sesuai dengan apa yang sudah digali (istinbath) oleh para ulama, terutama tak sesuai dengan maksud nas. Umat semakin lebih jauh sejauh-jauhnya dari syariat. Inilah yang diharapkan oleh musuh Islam. Khilafah sebagai bagian dari fikih Islam diberangus ketika rekontekstualisasi fikih terjadi. Dengan alasan menimbulkan bencana bagi umat Islam, karena akan ada banyak pihak yang berebut untuk menguasai umat Islam di seluruh dunia. Khilafah pun dianggap sudah tidak relevan dalam konteks sekarang. Padahal para ulama jelas tak ada perbedaan pendapat tentang Khilafah. Dalam kitab Syarh Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi menyatakan:

وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَوُجُوْبُهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ

"Mereka (para sahabat) sepakat bahwa wajib kaum Muslim mengangkat seorang Khalifah. Kewajibanya itu dinyatakan berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal."

Jika ada khalifah, tentu ada wadah atau institusi yang dipimpinnya, yaitu Khilafah atau sistem pemerintahan Islam. Fakta sejarah telah membuktikannya walau tak dapat dimungkiri pernah terjadi penyelewengan dari para pemimpinnya. Namun, fakta itu tidak lantas membatalkan sejarah bahwa Khilafah itu nyata adanya bukan utopis apalagi distopis.

Bagi siapa saja yang lurus hatinya tentu harus menolak rekontekstualisasi fikih. Umat harus diselamatkan dari ide bahaya ini. Lalu, bagi siapa saja yang melek sejarah (yang benar) akan menerima jejak Khilafah itu ada. Dan ketika saat ini Khilafah tidak ada, umat bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Mudah ditindas, dibunuh, dizalimi, dijarah dan dieksploitasi sumber daya alamnya karena tak ada lagi perisai yang menjaga umat. Jadi, keberadaan Khilafah bukan saja bagian dari fikih and sich, tetapi sebuah keniscayaan karena janji Allah dan kebutuhan urgent bagi umat saat ini.

Upaya apa pun untuk menghalangi tegaknya Khilafah (janji Allah), bagai menghalangi matahari terbit di pagi hari. Tidak akan pernah bisa untuk dihalangi. Semakin dihalangi, umat akan semakin menunjukkan kekuatannya untuk bersegera menjemput janji dan pertolongan Allah. Karena seorang mukmin semestinya yakin bahwa Allah tidak akan pernah ingkar janji. Surga telah menanti bagi siapa saja yang ikhlas berjuang di jalan Allah. Kitakah di antaranya?

Allahu A'lam bi ash Shawab.[]

Maskapai Garuda Terpuruk, Utangnya Menumpuk

Menteri BUMN juga mengakui adanya kesalahan pengelolaan bisnis Garuda Indonesia. Hal ini dinilai oleh pemegang saham bahwa manajemen tidak memaksimalkan ceruk pasar domestik yang potensial.
Namun sejatinya patut diakui bahwa krisis yang menimpa maskapai Garuda ini terjadi sebagai akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis di negeri ini.

Oleh. Ummi Nissa
(Penulis dan Member Komunitas Muslimah Rindu Surga)

NarasiPost.Com-Maskapai nasional Garuda kini berada di ujung tanduk. Dulu perusahaan milik negara ini merupakan industri penerbangan yang sangat bergengsi dengan tarif pesawat yang cukup tinggi. Tapi siapa sangka kini justru keadaannya menjadi terpuruk, bahkan terpaksa harus menelan pil pahit kebangkrutan. Utang yang menumpuk menjadi salah satu indikasi perusahaan ini tengah mengalami krisis.
Nilai utang PT Garuda Indonesia (persero) membengkak dari angka sebelumnya yakni Rp70 triliun, kini mencapai USD 7 miliar atau setara Rp100,5 triliun (kurs Rp14.334 per USD).

Sebagai pemegang saham mayoritas, kementerian BUMN pun mengambil langkah penyelamatan, salah satunya melalui pola restrukturisasi dengan para kreditur lessor. Namun demikian, belum diketahui secara pasti hasil negoisasi tersebut.
Adapun jangka waktu yang ditetapkan untuk restrukturisasi utang emiten dengan kode saham GIAA itu hingga kuartal ke II-2022. Apabila pola ini tidak berjalan mulus, maka opsi pailit pun akan ditempuh. (okezone.com, 5/10/2021)

Terkait hal ini Menteri BUMN, Erick Thohir, berpendapat ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utang Garuda Indonesia menumpuk. Selain efek pandemi yang telah melumpuhkan sektor ekonomi termasuk penerbangan, juga adanya indikasi korupsi yang terjadi di internal perusahaan. Hal ini diakuinya menjadi salah satu faktor krisis yang menimpa Garuda Indonesia.
Penyebab lain yang menambah utang semakin membengkak adalah lantaran biaya sewa (leasing cost) yang terlalu mahal. Tercatat, biaya sewa Garuda Indonesia mencapai 26% atau tertinggi di dunia. Namun demikian, menteri BUMN ini tidak merinci nilai pengadaan setiap pesawat yang dilakukan managemen emiten (investor pemegang saham) sebelumnya.

Selain itu, menteri BUMN juga mengakui adanya kesalahan pengelolaan bisnis Garuda Indonesia. Hal ini dinilai oleh pemegang saham bahwa manajemen tidak memaksimalkan ceruk pasar domestik yang potensial.
Namun sejatinya patut diakui bahwa krisis yang menimpa maskapai Garuda ini terjadi sebagai akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis di negeri ini. Dimana pengelolaan perusahaan vital negara dilakukan dengan cara swastanisasi. Negara memberikan kesempatan pada para investor untuk mengelola indusri penerbangan ini, sehingga orientasinya hanya pada keuntungan sebesar-besarnya.

Dengan tata kelola yang diberikan pada pihak swasta tentu hanya akan bertumpu pada komersialisasi industri. Negara tidak akan mampu berperan sebagai pengelola utama, ada pihak-pihak lain yang turut mengendalikan pengelolaan industri ini. Sehingga aturan seperti ini hanya melahirkan penjajahan ekonomi. Akibatnya bisa dipastikan langkah apa pun yang diambil sebagai upaya penyelamatan tidak akan menjadi solusi, baik opsi restukturisasi utang, ataupun mempailitkan perusahaan dan menggantikannya dengan maskapai lain sebagai flag carrier (maskapai resmi negara). Semua opsi itu hanya sebagai tambal sulam dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme.

Padahal, infrastruktur dan moda transportasi udara merupakan instrumen vital bagi suatu negara. Begitu pula industri transportasinya, seperti industri penerbangan tidak kalah penting. Sebab hal ini dapat menjadi salah satu cara untuk aktualiasi sebuah negara besar. Sebagai gambaran, Boeing adalah perusahaan pesawat penerbangan yang dimiliki AS. Perusahaan ini berkontribusi sejak masa perang Dunia I. Sebenarnya Boeing adalah pesawat komersial namun demi aktualisasi politik AS ternyata dapat diberdayakan untuk memproduksi pesawat perang.
Gambaran ini sebagai contoh proyeksi sebuah negara adidaya yang berdasarkan ideologi kapitalisme. Meskipun AS sebagai pengusung ideologi ini kini di ambang keruntuhan, setidaknya roadmap pembangunan industri penerbangannya ini dapat menjadi motivasi dalam rangka membangun negara besar.

Dengan demikian saat ini dibutuhkan solusi yang komprehensif dan visioner agar industri vital negara ini dapat dikelola secara mandiri, sehingga pemanfaatannya dapat dirasakan oleh rakyat di samping dapat memperkuat negara secara politik. Tata aturan ini tentu hanya akan didapatkan pada ideologi yang sahih (benar), yakni aturan Islam. Dimana aturannya bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Aturan Islam diturunkan oleh Allah sebagai agama yang sempurna mampu menjadi solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia.

Dalam aturan Islam industri transportasi, baik darat, laut, juga udara seperti halnya industri penebangan merupakan industri vital yang terkategori sebagai harta milik publik (umum). Sementara moda trasportasi dan asetnya merupakan milik negara. Oleh sebab itu, negara semestinya mengelola industri ini untuk kepentingan rakyat bukan untuk komersialisasi. Begitu pula, tidak boleh dimonopoli atau dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu.
Dengan tata kelola yang ditujukan untuk kepentingan rakyat, maka industri penerbangan semestinya dapat dirasakan manfaatnya sebagai transportasi udara yang terjangkau oleh rakyat. Dalam hal ini setidaknya ongkos penerbangan murah atau serendah-rendahnya. Hal tersebut dapat terwujud ketika industri penerbangan dikelola secara mandiri tanpa intervensi pihak asing atau swasta. Maka industri penerbangan dapat diarahkan untuk kepentingan rakyat bahkan untuk menambah kekuatan politik negara sehingga berpengaruh di dunia.

Adapun sumber keuangannya berasal dari beberapa pos anggaran pendapatan, antara lain hasil pengelolaan sumber daya alam (SDA), pajak dari kafir dzimmi (jizyah), kharaj, fai, ghanimah, harta tidak ada pemiliknya dan lain-lain. Semua pemasukan tadi digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Salah satunya membangun maskapai penerbangan. Hal ini dapat menjadi sebuah kekuatan negara. Sebagaimana firman Allah Swt, "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah juga musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya." (QS. Al-Anfal: 60)

Dengan demikian, solusi untuk mengatasi terpuruknya maskapai nasional ini hanya dengan menerapkan aturan Islam secara sempurna. Sehingga dapat mengoptimalkan pengelolaan industri penerbangan sebagai instrumen vital bagi seluas-luasnya kepentingan rakyat serta menunjukkan kekuatan di hadapan negara lain. Wallahu a'lam bish shawab.[]