Vaksin Berbayar : Aroma Kapitalisasi Faskes

"Penguasa layaknya para ‘preman’ yang memalak rakyatnya sendiri dengan kebijakan vaksin berbayar dan tanpa memberikan pengawasan dalam pelaksanaan vaksin itu sendiri."


Oleh. Qisti Pristiwani
(Mahasiswi UMN Alwashliyah)

NarasiPost.Com-Lagi-lagi publik dikejutkan dengan adanya rencana penjualan vaksin Gotong-Royong individual melalui Kimia Farma. Harga vaksin Covid-19 dengan dosis lengkap merk Sinopharm ditarif dengan harga Rp879.140/orang. Hal tersebut diungkapkan oleh Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementrian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4643/2021. (Gelora.Co 11/07/2021)

Staf khusus Mentri BUMN, Arya Sinulingga, mengatakan kebijakan ini sebagai alternatif untuk mempercepat pelaksanaan program vaksinasi nasional demi terciptanya kekebalan kelompok. Arya menegaskan, meski program vaksin berbayar berjalan bukan berarti program vaksinasi gratis ditiadakan. (Republika.co.id 12/07/2021)

Meski rencana ini akhirnya ditunda setelah menuai kritikan dari berbagai kalangan, masyarakat dapat menilai rencana ini. Komersialisasi di bidang kesehatan tak sepatutnya dilakukan pemerintah. Apalagi terhadap kebutuhan primer masyarakat. Pemerintah pasti memahami bagaimana terpuruknya perekonomian masyarakat saat ini. Banyak pekerja yang di PHK, para pelaku usaha yang gulung tikar, bahkan kehilangan pelanggan imbas diterapkannya PPKM dalam sepekan terakhir. Pemerintah pasti memahami kondisi masyarakat pasca terdampak wabah Covid-19 dalam kurun waktu menjelang 2 tahun ini. Namun, pemahaman tersebut tidak direalisasikan dalam sebuah tindakan tanggung jawab terhadap urusan masyarakat. Selain itu, rencana vaksin individual dikhawatirkan tidak diiringi mekanisme pengawasan, padahal sudah banyak kasus pasca vaksin yang harusnya ditangani sebagaimana data yang dirangkum KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Tenaga kesehatan wajib memberikan penanganan khusus bila terjadi reaksi yang tidak diinginkan seperti KIPI tersebut. Lantas, bagaimana dengan vaksin individual ini? Siapakah pihak yang bertanggung jawab bila terjadi reaksi yang tidak diinginkan pasca vaksin nanti?

Dari perencanaan ini terlihat bahwa pemerintah ingin melepas tanggung jawab pelayanan terhadap masyarakat. Masyarakat dibiarkan mengurusi kebutuhan hidupnya sendiri. Padahal kesehatan adalah salah satu sektor yang harus dijamin pengadaannya di tengah-tengah masyarakat dengan kualitas dan kuantitas terbaik dari pemerintah. Namun, pemerintah malah menetapkan tarif yang tak murah untuk mendapatkan faskes (fasilitas kesehatan). Di lain sisi, masyarakat didesak harus melakukan vaksin diiringi dengan berbagai intimidasi. Hal ini tak ubahnya penguasa layaknya para ‘preman’ yang memalak rakyatnya sendiri. Sementara itu, pemerintah tak juga memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan vaksin. Artinya, pemerintah membiarkan masyarakat berada dalam risiko.

Demikianlah sesaknya kehidupan bila negara dicengkram aturan sistem kapitalis-sekuler. Aroma kapitalisasi begitu menyengat dalam setiap hajat hidup orang banyak, tak terkecuali kesehatan. Penguasa menempatkan rakyat sebagai konsumennya sementara mereka bercengkrama mesra dengan para kapitalis rakus demi mengenyangkan perutnya. Tak terlihat sedikit pun berbelas kasih pada rakyat yang tengah terisak-isak untuk terus survive.

Hal ini akan berbeda bila kehidupan bernegara diikat dengan aturan Islam kafah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyyah. Negara hadir di tengah-tengah masyarakatnya dengan mengutus para ulama untuk menguatkan keimanan kaum muslimin agar senantiasa bersabar bila ditimpa suatu penyakit. Selain itu, negara berupaya memberikan pelayanan kesehatan secara maksimal agar masyarakat dapat berikhtiar melakukan pengobatan.

Islam membolehkan melakukan pengobatan sebagai bentuk ikhtiar seorang muslim untuk sembuh. Pengobatan ini tentunya adalah pengobatan yang aman, sesuai aturan syara’, dan tak menimbulkan mudhorat bagi pasien. Karena itu, Islam memandang bahwa vaksinasi adalah salah satu metode pengobatan yang baik dan dibolehkan dalam Islam.

Selain itu, Islam memandang bahwa kesehatan adalah salah satu sektor utama yang wajib dipenuhi negara pelayanannya. Maka, Islam mendorong negara untuk menjamin ketersediaan faskes murah bahkan gratis dengan kualitas yang terbaik, terlebih di masa pandemi ini.
Namun, lagi-lagi penampakan seperti ini hanya dapat kita saksikan di dalam negara Khilafah Islamiyyah yang menerapkan hukum Islam secara kafah. Sebagaimana pada masa khalifah Umar bin al Khattab sewaktu wilayahnya ditimpa wabah Tha’uun, beliau begitu sigap menerapkan solusi yang pernah disabdakan Rasulullah Saw, yakni melakukan karantina wilayah (lockdown), memisahkan antara orang yang sakit dan sehat agar proses pengobatan selektif, serta menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakatnya. Walhasil, wabah cepat teratasi dan tak berlarut larut. Tidakkah kita ingin kembali merasakan kesejahteraan hidup di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah? Wallahua’lam bisshowab.[]


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Keadilan dalam Timbangan Kapitalis

"Hukum di Indonesia bagaikan panggung sandiwara sehingga sulit menggapai rasa keadilan. Tajam ke bawah dan tumpul ke atas "


Oleh. Dyah Rini
(Founder Rumah Qur'an al Ummah)

NarasiPost.Com-Salah satu misi peradilan adalah memberi pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan. Misi peradilan itu kini teruji kembali. Pasalnya pesakitan yang akan dihadapkan di depan hakim adalah pasangan jetset. Akankah rumor hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas hanya isapan jempol saja, atau benar nyata adanya?

Kasus penyalahgunaan narkoba kali ini membelit artis Nia Ramadani dan suaminya Ardi Bakrie serta sopir pribadinya ZN. (7/7/2021). Banyak pihak meragukan proses hukum yang adil dan transparan, salah satunya datang dari artis Nikita Mirzani(NM)

NM menilai ada kesan mengistimewakan penanganan kasus narkoba yang menimpa pasangan artis dan pengusaha ini. Pasalnya, saat Kabid Humas Polda Metro Jaya, Yusri Yunus menggelar rilis, ketiganya tidak terlihat batang hidungnya. "Lagi tes rambut" ujar Yusri Yunus. Seperti dikutip Grid.id dalam rilis yang digelar di polres Metro Jakarta Pusat(8/7/2021)

Sangkaan NM ditepis oleh Kapolres Jakarta Pusat Kombes Hengki Haryadi. Pihaknya memiliki alasan tak menghadirkan Nia & Ardi saat pertama kali. Menurutnya, penyidik masih mengumpulkan semua bukti dan meminta keterangan kepada para tersangka. " kami menunggu,karena kami nunggu komplet/lengkap penyidikan. Sehingga kita akan tampilkan para tersangka itu. "ujarnya

Kombes Hengki Haryadi juga menegaskan bahwa proses hukum akan tetap berlanjut,
walaupun ketiga terdakwa, sesuai Undang-Undang Pengguna Narkoba harus menjalani rehabilitasi. Ketiganya tetancam hukuman 4 tahun penjara.

Namun, fakta berbicara lain. Banyak kasus menimpa kaum elit dan berduit berakhir dengan happy ending di meja hijau Pemandangan seperti itu bukanlah hal yang aneh lagi hari ini. Jika mau dilist akan ada daftar panjang putusan hukum yang diketok palu hakim dinilai cacat dalam memberi rasa keadilan. Sebut saja kasus korupsi yang menimpa Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Semula diputuskan hukuman 10 tahun penjara menjadi 4 tahun dengan alasan karena terdakwa masih punya baby.

Contoh lain, Idrus Marham, mantan Sekjen Partai Golkar yang tersandung kasus sama, yakni korupsi proyek PLTU Riau-1. Semula diputuskan vonis 5 tahun penjara disunat menjadi 2 tahun.

Begitu juga Irman Gusman, mantan ketua Dewan Perwakilan Daerah yang terjaring kasus menerima suap Rp100 juta dari direktur CV Semesta Berjaya. Semula diputuskan vonis 7 tahun penjara berkurang menjadi 4,5 tahun. Setelah mengajukan Peninjauan Kembali (PK), Mahkamah Agung menjatuhkan vonis 3 tahun penjara.

Berbanding terbalik dengan putusan hukum terhadap Habib Rizieq Shihab, yang delik perkaranya tidak jelas dan terkesan mengada-ada. Dengan vonis 4 tahun penjara tak ubahnya dengan para koruptor.

Mengenai kasus penyalahgunaan narkoba, terbersit pertanyaan, mengapa barang haram itu dapat dengan mudah dikonsumsi seseorang? Mengapa kasus selalu berulang terjadi lagi seperti kasus korupsi? Seakan sulit memberantasnya. Ibarat sel kanker yang sudah menjalar ke mana-mana.

Fakta yang kasat mata adalah kondisi masyatakat yang sakit dalam kungkungan sistem kapitalis sekuler. Masyarakat yang enggan membawa aturan agama(Islam) dalam kehidupan sehari-hari. Agama hanya dipahami sekadar mengurus hubungan ibadah manusia dengan Tuhan saja. Wajar banyak ditemukan sosok pribadi yang ahli ibadah, juga ahli maksiat. Rajin salat tahajud tapi mau melakukan korupsi, dan sebagainya.

Pun dalam sistem peradilan. Menihilkan aturan-aturan agama dalam proses hukum maupun penetapan hukum. Akibatnya efek dari hukuman tidak membekas bagi terdakwa. Lebih parah lagi sudah jamak diketahui orang bahwa hari ini hukum bisa dibeli.

Peradilan dalam Sistem Islam

Lembaga peradilan dalam Islam adalah lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Lembaga ini bertugas menyelesaikan perselisihan di antara anggota masyarakat,mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak-hak jemaah,atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dan seseorang yang duduk dalam struktur pemerintahan. (ajhizahtu Daulah khilafah)

Keberadaan lembaga ini terbukti telah dapat menyelesaikan perkara dengan sangat cantik. Sangsi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah(zawajir) dan penebus(jawabir), yakni mencegah orang-orang untuk melakukan dosa dan kriminal. Dan sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksinya di akhirat.

Para Qadhi adalah orang yang amanah. Punya rasa takut yang besar kepada Allah jika memutuskan perkara menyimpang dari hukum Allah. Mereka digaji dengan gaji yang cukup, yang tidak memungkinkan mereka menerima suap dari mana pun.

Khalifah Umar bin Khaththab pernah mengangkat Syuraih sebagai Qadhi dan menetapkan gaji sebesar seratus diham setiap bulannya. Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib menggantikannya, beliau menetapkan gaji Qadhi Suraih sebesar seratus lima puluh dirham tiap bulannya. (Satu dirham setara dengan 2,975 g perak)

Implementasinya para Qadhi senantiasa menetapkan hukum dengan adil sesuai syariat(Al-Quran& as Sunnah). Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, "Wahai manusia, orang-orang sebelummu binasa adalah karena jika ada seseorang yang terpandang diantara mereka mencuri,mereka membebaskannya. Dan jika ada orang lemah diantara mereka mencuri,mereka menegakkan hukum padanya"(Muttafaq Alaik)

Sungguh rindu keadilan sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, khulafaur Rasyidin dan para khalifah sesudahnya. Keadilan diatur dengan hukum Islam. Aturan yang datang dari Sang Pemberi kehidupan. Maka sudah saatnya mencampakkan semua aturan yang lahir dari sistem kapitalis yang terbukti tidak memberi keadilan yang hakiki.

Wallahu a'lam bi showab.[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Ketaatan Total pada Syariah Allah

"Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta." (TQS Thaha [20]: 124)


NarasiPost.Com-Hari raya idul Adha sudah berlalu. Namun, Idul Adha kali ini kita rayakan dalam kondisi pandemi Covid-19 yang masih belum berakhir. Korban makin banyak berjatuhan. Ribuan orang meninggal. Puluhan ribu orang terinfeksi virus Covid-19. Bahkan jumlah orang yang terinfeksi virus ini makin meningkat. Pada saat yang sama, penanganan wabah pandemi ini makin tidak jelas arahnya. Wajar jika publik makin kecewa. Sebagian bahkan frustasi. Ketidakpercayaan mereka kepada Pemerintah makin tinggi akibat Pemerintah salah urus sejak awal.

Pada level keimanan, kita tentu wajib mengimani bahwa hanya Allah Swt yang kuasa menghidupkan dan mematikan manusia. Semuanya ada dalam genggaman-Nya. Sakit maupun sembuh, baik atau pun buruk, semuanya ada dalam kuasa-Nya.

Orang beriman juga harus meyakini bahwa semua hal, termasuk musibah, datang dari Allah Swt. Oleh karena itu, hanya kepada Allahlah kita meminta segala perkara. Saat ditimpa musibah, kita pun wajib bersabar. Semua urusan harus kita serahkan kepada-Nya. Allah Swt berfirman:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ ٱللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Siapa saja yang mengimani Allah, niscaya Dia akan memberikan petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Tahu atas segala sesuatu." (QS at-Taghabun [64]: 11).

Pada saat ditimpa musibah, kaum Muslim harus bertobat, meningkatkan ibadah, banyak berdoa dan melaksanakan berbagai amalan nafilah lainnya. Intinya, mereka harus banyak ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt. Sekarang ini adalah momen untuk kembali kepada Allah Swt dengan tobat yang sesungguhnya, baik secara personal maupun kolektif. Wujud tobat adalah dengan menjalankan ketaatan total atas semua perintah dan larangan Allah Swt.

Ketaatan total kepada Allah Swt telah dicontohkan secara paripurna oleh Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. dalam sebuah peristiwa monumental, sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur'an.

Pada Hari Raya Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1442 H ini, kita kembali mengenang peristiwa agung tentang dua kekasih Allah Swt ini. Betapa besar pengorbanan Nabi Ibrahim As. dalam menaati perintah Allah Swt. Beliau rela diperintah oleh Allah Swt untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail As. Bagi Nabi Ibrahim As, Ismail As. adalah buah hati, harapan dan kecintaannya yang telah lama beliau dambakan. Namun, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah Allah Swt kepada beliau untuk mengorbankan putra kesayangannya itu. Allah Swt berfirman:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى

"Tatkala anak itu telah mencapai usia sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Anakku, sungguh aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelih dirimu. Karena itu pikirkanlah apa pendapatmu.” (TQS ash-Shaffat [37]: 102).

Atas perintah Allah Swt tersebut, Nabi Ibrahim As. mengedepankan kecintaan yang tinggi, yakni kecintaan kepada Allah Swt. Sebaliknya, beliau segera menyingkirkan kecintaan yang rendah, yakni kecintaan kepada anak, harta dan dunia.

Perintah amat berat itu pun disambut oleh Ismail As. dengan penuh kesabaran. Beliau bahkan mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:

قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

"Ayah, lakukanlah apa yang telah Allah perintahkan kepada engkau. Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar." (QS ash-Shaffat [37]: 102).

Kisah Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As tersebut seharusnya menjadi teladan bagi kita saat ini. Tidak hanya teladan dalam pelaksanaan ibadah haji dan ibadah kurban. Kedua kekasih Allah Swt ini juga merupakan teladan dalam berjuang dan berkorban. Tentu demi mewujudkan ketaatan kepada Allah Swt secara total. Ketaatan pada syariah-Nya secara kaffah.

Sungguh, saat ini syariah Allah Swt telah diabaikan dan dicampakkan. Terutama syariah-Nya yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan sebagainya.

Teladan Nabi Ibrahim As. dan Nabi Ismail as. sungguh sangat berarti bagi kita dalam menjalankan semua perintah Allah Swt, yakni dengan mengamalkan dan menerapkan syariah-Nya secara kaffah. Termasuk kewajiban memutuskan perkara dengan hukum-Nya. Ini sebagaimana yang telah Allah Swt tegaskan dalam firman-Nya:

وَأَنِ ٱحكُم بَينَهُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلاَ تَتَّبِع أَهوَاءَهُم وَٱحذَرهُم أَن يَفتِنُوكَ عَن بَعضِ مَا أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيكَ

"Hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan. Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah engkau terhadap mereka. Jangan sampai mereka memalingkan engkau dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu." (TQS al-Maidah [5]: 49).

Dalam ayat ini, Allah Swt memerintahkan Rasulullah Saw agar untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum yang telah Dia turunkan kepada beliau. Perintah tersebut juga berlaku bagi kita, umat beliau. Mafhum dari ayat ini, yakni hendaknya umat Islam mewujudkan seorang hakim (penguasa) sepeninggal Rasulullah Saw. untuk memutuskan perkara menurut hukum-hukum Allah Swt.

Di Indonesia, dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, rakyat makin terhimpit kemiskinan. Harga-harga kebutuhan pokok terus membumbung tinggi. Ada rencana, sembako akan dipajaki. Pendidikan mahal, tetapi kualitasnya rendah. Layanan kesehatan makin tak terjangkau. Budaya Barat yang merusak semakin marak. Hukum dan UU, seperti UU Omnibus Law, yang hanya menguntungkan korporasi dilegalkan. Korupsi kian merajalela. Termasuk korupsi Bansos Covid-19. Sungguh sangat memalukan. Korupsi ini melibatkan tiga pilar demokrasi sekaligus yakni yudikatif, legislatif dan eksekutif. Ini bukti yang ke sekian kalinya bahwa sistem ini melahirkan korupsi.

Sungguh, pangkal keterpurukan ini bersumber pada satu hal, yakni penyimpangan terhadap aturan-aturan Allah Swt. Ketidaktaatan pada syariah-Nya. Secara kolektif, kita masih berpaling dari al-Qur'an. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah Swt:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

"Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta." (TQS Thaha [20]: 124).

Menurut Imam Ibnu Katsir, makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah “menyalahi perintah-Ku dan apa saja yang telah Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, V/323).

Adapun kehidupan yang sempit di dunia tidak lain adalah kehidupan yang semakin melarat, miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya, tertindas dan sebagainya, sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri Muslim sekarang.

Kondisi buruk ini tentu tak boleh terus berlangsung. Kaum Muslim harus segera mewujudkan ketaatan penuh dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah. Demikian sebagaimana yang Allah Swt inginkan. Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian." (TQS al-Baqarah [2]: 208).

Penerapan syariah Islam secara kaffah adalah wujud ketaatan total kepada Allah Swt. Hal ini mengharuskan adanya kepemimpinan yang adil yang menerapkan sistem yang adil pula. Itulah kepemimpinan yang menerapkan syariah Islam secara total. Kepemimpinan seperti itu juga berfungsi sebagai penjaga (hâris) bagi kaum Muslim; baik agama, darah, harta maupun kehormatan mereka. Rasulullah Saw. bersabda:

وَإِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

"Sungguh Imam (Khalifah) itu adalah perisai, di belakangnya orang-orang berperang, dan kepada dia mereka berlindung." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Imam an-Nawawi menyatakan, hadis itu bermakna bahwa Imam (Khalifah) merupakan benteng/tameng karena ia melindungi umat dari serangan musuh terhadap kaum Muslim, memelihara hubungan kaum Muslim satu sama lain dan menjaga kekayaan mereka.

Spirit sami’nâ wa atha’nâ (kami dengar dan kami taat) sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As jelas membutuhkan pengorbanan. Dalam konteks ini, kita patut bertanya kepada diri kita sendiri: sejauh manakah pengorbanan kita dalam menjalankan ketaatan total kepada Allah Swt dengan melaksanakan kewajiban penerapan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan kita?

Jika kini kita bersegera dan dengan ringan memenuhi perintah berkurban, padahal itu menurut jumhur fuqaha hukumnya sunnah, maka semestinya kita lebih bersegera dan lebih ringan menerapkan syariah Islam sebagai wujud ketaatan kita kepada Allah Swt.

Semoga Allah Swt segera menurunkan pertolongan-Nya kepada kaum Muslim. Semoga kita pun termasuk hamba-hamba-Nya yang istikamah dan berkorban penuh keikhlasan dalam rangka mewujudkan kehidupan Islam.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab.

Hikmah

Rasulullah Saw. bersabda:

ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﻋَﻤَﻞٍ ﺃَﺯْﻛَﻰ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻭَ لاَ ﺃَﻋْﻈَﻢَ ﺃَﺟْﺮًﺍ ﻣِﻦْ ﺧَﻴْﺮٍ ﻳَﻌْﻤَﻠُﻪُ ﻓِﻲ ﻋَﺸْﺮِ ﺍْﻷﺿْﺤَﻰ

"Tidak ada suatu amalan pun di sisi Allah ‘Azza wa Jalla yang lebih suci dan lebih besar pahalanya dibandingkan dengan suatu kebaikan yang dilakukan pada sepuluh hari menjelang Idul Adha (Dzulhijjah)." (HR al-Baihaqi). []

Buletin Kaffah No. 201 (06 Dzulhijjah 1442 H/16 Juli 2021


photo : google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Warga Bantu Warga, Negara Bantu Pengusaha?

"Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka neraka tempatnya," (Hadis Riwayat Ahmad). 


Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Tim Redaksi NarasiPost.Com & Aktivis Muslimah dan Penulis Buku)

NarasiPost.Com-Pandemi di negeri ini kian mencekam. Bagaimana tidak, hampir dua tahun negeri ini didekap pandemi, angka kasusnya bukannya melandai malah kian menanjak tak terkendali. Sebagaimana dirilis oleh Menteri Kesehatan pada Kamis sore (15/7/2021) bahwa total kasus positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 2.726.803 kasus, dari jumlah tersebut dinyatakan sebanyak 2.176.412 jiwa sembuh, sementara yang meninggal dunia sebanyak 70.192 jiwa.

Adapun yang lebih mencekam di tengah gelombang 2 pandemi ini adalah ancaman kolapsnya dunia kesehatan menghadapi pandemi. Betapa tidak, hampir seluruh rumah sakit rujukan Covid-19 di berbagai daerah penuh sesak oleh pasien. Akibatnya, terpaksa pihak rumah sakit harus menolak beberapa pasien, karena ketidaksediaan tempat tidur serta keterbatasan jumlah dokter dan nakes. Betapa tidak, mereka sebagai garda terdepan penanganan Covid-19 banyak yang akhirnya tumbang, ikut terpapar Covid, kelelahan karena jam kerja yang tanpa jeda, atau bahkan meninggal dunia. Dunia kesehatan juga dihadapkan pada krisis tabung oksigen, sehingga penanganan pasien Covid-19 menjadi terhambat. Tak sedikit yang akhirnya berakhir pada kematian.

Dari situlah akhirnya muncul seruan warga bantu warga, artinya masyarakat diseru untuk saling membantu dengan sesamanya, khususnya mereka yang terpapar Covid-19. Dari spirit itu jugalah, muncul gerakan inisiatif di tengah masyarakat sebagai relawan #WargaBantuWarga. Gerakan ini merupakan gabungan dari beberapa komunitas di tanah air, yang mereka membantu dalam hal pendataan, edukasi warga lewat konten yang meluruskan hoax, dan lain-lain.

Tak hanya itu, di beberapa daerah bahkan warga bahu membahu membuat dapur umum demi membantu para warga yang sedang menjalani isolasi mandiri akibat terpapar Covid-19. Sebagaimana yang dilansir AntaraNews.com (14-07-2021) bahwa di masa PPKM Darurat ini beberapa komunitas warga di Karet, Semanggi, Jaksel berinisiatif membuat Dapur Umum Peduli Covid-19 demi membantu warga yang sedang isoman di wilayah Jabodetabek. Sebanyak 2000 nasi bungkus disiapkan setiap harinya di dapur umum tersebut.

Tak hanya itu, masih banyak gerakan lain yang menginisiasi warga bantu warga. Salah satunya yang dilakukan oleh seorang aktivis kemanusiaan, Sandyawan Sumardi, melalui gerakan "Patungan Rakyat" menyediakan bantuan medis bagi warga miskin di Jakarta yang terpapar Covid-19. Adapun bantuan tersebut berupa pinjaman tabung oksigen, pembagian vitamin dan obat-obatan, konsultasi dokter, hingga kebutuhan kritikal isolasi mandiri. (kompas.com/16-07-2021)

Dengan adanya kontribusi uluran tangan warga, diharapkan pandemi ini lekas berakhir. Namun, benarkah demikian? Lantas, di manakah peran pemerintah sebagai penanggung jawab atas urusan rakyatnya?

Tolong-Menolong, Akhlak Islami

Sejatinya Islam mengajarkan umatnya untuk saling tolong-menolong (ta'awun) dengan sesama manusia. Hal tersebut merupakan manifestasi dari habluminannash. Maka, ta'awun adalah bagian dari akhlak seorang muslim.

Jika ada orang yang membutuhkan bantuan, baik dia muslim ataupun nonmuslim, sudah selayaknya kita membantunya sesuai kemampuan kita. Terlebih dalam kondisi pandemi saat ini, rakyat banyak dihadapkan pada kesulitan di berbagai aspek kehidupannya, khususnya ekonomi. Maka tak ada salahnya jika kita membantu orang lain yang membutuhkan, termasuk mereka yang sedang menjalani isolasi mandiri. Hal tersebut semata-mata sebagai wujud kepedulian kita kepada mereka, selain itu juga sebagai dorongan ketakwaan kita kepada Allah Swt. Sungguh hal tersebut merupakan amal salih bagi kita dan tentu saja akan diganjar pahala oleh Allah Swt.

Maka, kita pun patut mengapresiasi gerakan warga bantu warga yang merupakan perwujudan kepedulian antarmanusia sebagai makhluk sosial. Namun demikian, kita perlu menyadari bahwa sejatinya apa yang dilakukan warga, seperti menyokong kebutuhan makan rakyat, termasuk vitamin, obat-obatan, hingga oksigen, merupakan kewajiban utama pemerintah, bukan rakyat. Dengan kata lain, mencukupi kebutuhan warga dan menjamin kesejahteraan mereka di kala pandemi merupakan kewajiban pemerintah. Sebab dalam pandangan Islam, penguasa berfungsi sebagai peri'ayah (pengurus) urusan rakyatnya. Jelaslah, amanah kepemimpinan sangatlah berat diemban oleh seorang muslim, karena kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Apakah kepemimpinannya telah mampu menjadikan rakyatnya sejahtera atau justru menderita? apakah kepemimpinnya telah serius mengurusi urusan rakyatnya ataukah justru setengah hati saja?

Rasulullah Saw bersabda:

"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR.Muslim).

Tidak ada yang salah dengan gerakan warga bantu warga. Namun, yang salah adalah ketika pemerintah tak serius mengurusi urusan rakyatnya, bahkan berlepas tangan terhadapnya. Rakyat dipaksa membiayai kehidupannya sendiri. Rakyat dipaksa berjuang sendiri. Lihat saja, lewat embel-embel jaminan kesehatan, rakyat harus membiayai sendiri urusan kesehatannya. Lantas di manakah letak jaminannya jika rakyat tetap harus mengeluarkan dana dengan membayar premi setiap bulan, dan jika terlambat akan terkena denda? Padahal kesehatan merupakan kebutuhan dasar rakyat yang semestinya menjadi tanggung jawab negara secara mutlak.

Tak jauh beda dalam kondisi pandemi hari ini, rakyat pontang-panting bertahan hidup di tengah berbagai pembatasan mobilitas warga. Bagai buah simalakama, diam di rumah saja tak ada yang menanggung kebutuhan hidup mereka, keluar rumah diintai kematian akibat terpapar wabah. Padahal jika saja kekayaan alam negeri ini tidak diprivatisasi oleh para pengusaha, baik lokal maupun asing, tentu negara akan mampu membiayai rakyatnya.

Mirisnya, negara malah sibuk membantu pengusaha menyukseskan pencapaian finansialnya. Lihat saja, di tengah pembatasan bisnis warga kelas bawah, negara mengizinkan pengusaha kelas kakap tetap beroperasi, contoh tempat-tempat wisata. Bahkan negara turut mempromosikan tempat wisata tersebut di saat kasus Covid-19 di negeri ini belum juga mereda. Di sisi lain, negara juga meringankan para pengusaha dari beban pajak, di saat rakyat kecil digenjot aneka pajak yang mencekik leher. Sungguh ironis!

Rasulullah Saw bersabda:

"Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan surga baginya." (HR.Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis lain disebutkan, "Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka neraka tempatnya," (Hadis Riwayat Ahmad). 

Oleh karenanya, semestinya kita menyadari bahwa ada banyak tanggung jawab negara yang terabaikan dalam sistem kapitalisme sekuler hari ini. Negara berfungsi hanya sebagai regulator, bukan pemain utama sebagai pengurus rakyatnya. Beginilah hakikatnya sistem kehidupan yang jauh dari aturan Islam. Akhirnya konsep kepemimpinan pun bergeser, tak lagi sebagai wujud pengembanan amanah, melainkan sebagai ladang meraup keuntungan pribadi.

Sungguh berbeda dengan konsep kepemimpinan dalam sistem Islam dalam naungan Khilafah. Mereka menjalankan kepemimpinan dengan penuh ketakwaan kepada Allah, sehingga tak berani menzalimi rakyatnya sendiri, apalagi hingga berselingkuh dengan para pengusaha demi meraup materi.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mewujudkan kepemimpinan yang amanah dalam kerangka sistem pemerintahan sahih warisan Rasulullah Saw, Khilafah Islamiyah.[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Vaksin Gotong Royong dan PCR Berbayar Mahal, Rakyat Makin Terjungkal

"Kesehatan rakyat harusnya menjadi tanggung jawab pemerintah namun faktanya rakyat terus diperas dengan vaksin dan PCR berbayar. Ternyata rakyat miskin dilarang sakit "


Oleh.Misnawati

NarasiPost.Com-Meningkatnya jumlah kasus Covid-19 membuat pemerintah dan pihak terkait berupaya menciptakan herd immunity di daerah. Sehingga lahirlah program Vaksin Gotong Royong, dengan harapan bisa mempercepat pelayanan vaksin dan menekan sebaran wabah.

Dikutip dari kalimantan.bisnis.com, (01/07/2021), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kaltim akan menggelar vaksinasi gotong royong dengan menggandeng lima bank besar di Kalimantan Timur. Dalam sebuah pertemuan, Kepala OJK Kaltim Yoga Sudharma menyatakan,
"Vaksinasi ditunjuk langsung oleh OJK pusat ke lima bank besar, yaitu BRI, Mandiri, BCA dan CIMB Niaga," yang disampaikan pada hari kamis. Menurutnya lagi, target vaksinasi mencapai 8000 hingga 10.000 orang, adapun lima bank yang dipilih itu memiliki jaringan kantor terbanyak dan karyawan yang banyak pula.

Program vaksinasi gotong royong adalah program yang dilakukan pemerintah melalui BUMN. Sebelumnya, vaksinasi gotong royong telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 10 tahun 2021, lalu diubah dengan dengan Permenkes RI No.19 tahun 2021 tentang pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19. (Halodoc.com,19/05/2021)

Pemerintah pusat dalam melaksanakan vaksinasi Covid-19 melibatkan pemerintah daerah, badan hukum atau badan usaha. Ada dua macam vaksinasi tersebut, pertama, vaksinasi program yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat secara gratis yang pendanaannya ditanggung oleh negara. Kedua, Vaksin Gotong Royong (VGR), pelaksanaan vaksinasi kepada perorangan biayanya ditanggung sendiri atau vaksinasi yang diberikan kepada karyawan/karyawati, keluarga yang biayanya ditanggung oleh badan hukum atau badan usaha.

Melalui Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor
Hk.01.07/MENKES/4643/2021/, penetapan harga pelayanan vaksin gotong royong bervariasi, harga vaksin produksi Sinopharm yang dikeluarkan PT Bio Farma (Persero) untuk VGR, dengan harga pembelian vaksin Rp321.660 per dosis dan tarif maksimal pelayanan vaksinasi Rp117.910 per dosis. (halodoc.com, 19/05/2021)

Dalam kontrak, pemerintah akan menyediakan vaksin Sinopharm sebesar 7,5 juta dosis, dengan jumlah vaksin mencapai 500 ribu dosis. Sedangkan vaksin Cansino Biologics asal Cina sebanyak 5 juta dosis, yang akan diberikan satu kali dosis suntikan.

Selain itu, pemerintah juga memberlakukan syarat bagi pelaku perjalanan udara dengan menunjukkan hasil tes PCR/antigen dan sertifikat vaksinasi selama PPKM Darurat sejak 3 Juli 2021. Dan hanya hasil swab PCR/Antigen dari laboratorium yang terafiliasi dengan Kemenkes yang berlaku. Selain daripadanya tidak berlaku.

Peraturan lainnya, pemerintah telah memuat soal sanksi bagi para penolak vaksin, mulai sanksi pemberhentian jaminan sosial/ bansos, layanan administrasi hingga denda yang dituangkan pada Perpres No.14 Tahun 2021.

Ironis, sungguh kebijakan tersebut melukai kepercayaan rakyat. Bagaimana tidak, kehidupan masyarakat yang sudah susah, sulitnya ekonomi, PHK, tidak ada pekerjaan, sembako mahal, dan seterusnya, bukannya meringankan rakyat, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang membebani rakyat dengan program VGR dan PCR berbayar.

Penyerahan pelayanan kesehatan kepada badan hukum atau swasta adalah tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh pemerintah. Apalagi saat pandemi melonjak, maka kebutuhan masyarakat akan vaksin sangat tinggi. Sehingga vaksin gotong royong menjadi alternatif bagi masyarakat.

Terbukanya peluang pasar dalam pengadaan vaksin bagi badan hukum atau swasta tentu akan memunculkan berbagai pertanyaan publik. Di antaranya tentang mekanisme pendistribusian vaksin akankah tepat sasaran, harga yang variatif, belum lagi dari sisi keamanan atau risiko yang bisa saja muncul pasca vaksin, siapa yang akan bertanggung jawab?

Padahal kesehatan rakyat merupakan urusan dasar yang pemenuhannya wajib dilaksanakan negara tanpa pungutan. Bahkan negara pantang sebagai regulator lalu menggandeng pihak swasta dan masyarakat luas untuk terlibat menanggung dan memikul beban yang sejatinya adalah kewajiban negara.

Dalam sistem sekuler kapitalistik, penguasa dan rakyat seperti layaknya penjual dan pembeli yang target keuntungan sudahlah pasti. Rakyat yang seharusnya mendapatkan vaksin gratis tidak terwujud, akhirnya terpaksa membeli demi keselamatan nyawa.Tarif vaksin pun berbeda sesuai jenis pelayanan. Jelas itu merupakan kelalaian negara terhadap rakyat yang tidak boleh terjadi. Negeri ini butuh solusi benar dan tepat dalam penyelesaiannya.

Dalam pandangan Islam, negara (khilafah) memiliki peranan sentral sekaligus bertanggung jawab penuh mengurus segala keperluan rakyatnya termasuk memberikan pelayanan kesehatan.

Rasulullah Saw bersabda,
"Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyatnya dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR al-Bukhari)

Betapa besar perhatian dan tanggung jawab negara terhadap pemenuhan pelayanan kesehatan kepada rakyat, sehingga tidak akan pernah menyerahkan pelaksanaannya kepada pihak swasta. Rakyat tidak akan dimintai bayaran sepeser pun setiap berobat. Justru negara akan memberikan pelayanan kesehatan dengan kualitas terbaik, lengkap sarana dan prasarana yang memadai seperti pengadaan RS, dokter ahli, perawat, ahli gizi, sanitasi, obat-obatan termasuk vaksin dan keperluan kesehatan lainnya yang memang dibutuhkan sebagai pengobatan dan terapi.

Sumber pendanaan yang ada di Baitul Mal merupakan hasil kekayaan alam seperti SDA, laut, hutan serta isinya dikelola secara syariah oleh negara, sehingga hasilnya bisa dirasakan oleh seluruh rakyat, termasuk pembiayaan kesehatan. Sejarah mencatat, pada masa kejayaan peradaban Islam ada rumah sakit yang termasyur bernama Bimaristan Al Mansuri yang dibangun oleh Sultan Al Mansur Qalawun di Kairo, Mesir. (689 H). Kapasitasnya mampu menampung 8000 pasien, bahkan di kompleks yang sama di bangun madrasah berbasis fikih empat mazhab dan sebagai pusat belajar. Fasilitas lengkap, pasien yang dirawat mendapatkan pelayanan gratis, pasien yang sembuh saat pulang mendapat uang saku dan yang meninggal ditanggung proses pemakamannya. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya pelayanan kesehatan bagi rakyat sebab merupakan kebutuhan dasar yang pemenuhannya wajib ditanggung negara tanpa adanya diskriminasi atau ancaman. Semua disediakan secara gratis.

Dalam Khilafah, jaminan kesehatan memiliki tiga ciri khas, yakni;

a. Berlaku umum tanpa diskriminasi, dalam arti tidak ada pengelasan dan perbedaan dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada rakyat.

b. Gratis, tidak ada pungutan biaya apapun oleh negara.

c. Akses pelayanan kesehatan mudah, cepat dan tanggap.

Sejatinya, dalam Islam pengaturan pelayanan kesehatan mampu menyelesaikan permasalahan kesehatan rakyatnya secara tuntas dan memuaskan. Dan model pelayanan seperti ini hanya akan terwujud dan terlaksana sempurna ketika Islam secara totalitas menjadi aturan kehidupan individu, masyarakat dan negara.

Namun bila tidak, Allah Swt. telah memberikan peringatan keras kepada manusia dalam Al-Qur'an, sebagaimana firman-Nya,

"Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta."
(QS. Thaha: 124)

Sebagai muslim yang bertakwa, tentu hanya berharap kembali kepada aturan Allah Swt. secara kafah, maka permasalahan kesehatan, vaksin dan pandemi akan teratasi.

Wallahu a'lam[]


photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

100 Tahun PKC, Berkibar dalam Naungan Komutalisme, Layakkah Jadi Panutan?

"Tidak ada satu pun alasan, yang bisa membuktikan kelayakan ideologi Komutalisme yang diadopsi Cina sebagai solusi dari permasalahan yang merundung Indonesia, maupun dunia."


Oleh: Nur Jamilah, S.Pd.I.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Awal Juli ini, di tengah dahsyatnya amukan pandemi Covid-19 telah digelar perhelatan super megah dan meriah di negara pertama tempat munculnya virus Corona. Hal ini tentu saja menyedot perhatian dunia. Partai Komunis China (PKC) merayakan 1 abad kelahirannya sebagai satu-satunya partai terbesar dan paling berpengaruh di Cina. Cina membanggakan capaian prestasinya selama 100 tahun ini. Ternyata, dukungan juga mengalir dari beberapa negara, termasuk dari salah satu tokoh nasional Indonesia yang memuji capaian itu dan berharap kita bisa menirunya pula, serta ajakan untuk menjalin persahabatan abadi Indonesia-Cina.

Dilansir dari detik.com, (03/07/2021) bahwa pada tanggal 1 Juli 2021 Cina merayakan 100 tahun berdirinya Partai Komunis China (PKC). Pesta kembang api termegah sepanjang sejarah bertabur bintang menghiasi perayaan HUT PKC ini. Stadion Olympic Bird Nest Beijing menjadi saksi kemegahan perhelatannya. Sepak terjang PKC divisualisasikan dalam bentuk teatrikal musik, mengisahkan kisah heroik, mulai dari berdirinya ‘New China’, kesuksesan dalam mengatasi kemiskinan, dan pandemi Covid-19.

Ucapan selamat disampaikan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, kepada Partai Komunis Cina yang ke-100 tahun. Dia menyatakan, Cina di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping yang berasal dari PKC dengan ideologi Sosialisme-Komunisme, telah menorehkan keberhasilan dan dukungan rakyat dalam banyak hal. Di antaranya menyejahterakan rakyat dan memperkuat persatuan rakyat Tiongkok. Oleh karenanya, Megawati berharap hubungan persahabatan Cina-Indonesia akan terjalin abadi. (Cnnindonesia.com, 02/07/2021)

Bukan hanya di Indonesia, ucapan selamat milad pun mengalir dari mulut Presiden Mesir Abdel-Fattah el-Sisi kepada PKC. Menurutnya, PKC berhasil mengantarkan Cina pada kemajuan ekonomi. Sisi berjanji akan mempromosikan hubungan Mesir-Cina menuju prospek yang lebih luas. (republika.co.id, 02/07/2021)

Sejarah Masuknya Islam ke Cina dan Berdirinya PKC

Islam masuk ke daratan Cina pada 651 M. Saat itu Khalifah Utsman bin Affan mengirimkan para sahabat yaitu Sa’ad bin Abi Waqqas, Qais bin Abu Huzafah, ‘Urwah bin Abi ‘Uttan, dan Abu Qais bin Al-Harits untuk pergi ke Cina sebagai delegasi dalam rangka berdakwah menyebarkan ajaran Islam. Keempat delegasi itu diterima dengan baik oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Atas perintah Kaisar, dibangunlah Masjid Huaisheng di Provinsi Guangzhou. Sang Kaisar sendiri tidak masuk Islam karena merasa berat dengan kewajiban salat dan puasa. Namun demikian, para delegasi itu diizinkan berdakwah di Guangzhou. Di masa dinasti Yuan (1206-1368) banyak masjid dibangun dan Islam berkembang pesat. Banyak petinggi negara yang masuk Islam, di antaranya Sayidina Syamsuddin. Salah satu keturunannya yang terkenal yaitu laksamana Zheng He atau Cheng Ho, seorang pelaut muslim yang gagah berani mengarungi lautan dunia sebelum Vasco de Gama, Columbus, dan Magelhans. Dia seorang laksamana muslim yang memimpin armada Cina dalam menjelajah dan menjalin hubungan diplomatik di sekitar Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk Nusantara.

Islam berkembang pesat di Cina hingga mencapai puncak kegemilangannya pada masa dinasti Ming (1368-1644 M). Pada abad ke-18, hubungan antara Muslim dan pemerintah Cina berubah, periode ini diwarnai beberapa bentrokan dengan kekerasan. Hal ini disebabkan pemerintah Cina mulai melakukan kontrol langsung atas wilayah mayoritas muslim. Pada tahun 1919, ideologi komunisme-marxisme mendapat perhatian dari kalangan intelektual Cina. Pada April 1920, Grigori Voitinsky dari Partai Bolshevik Rusia dikirim ke Cina, Korea, dan Jepang untuk mengembangkan marxisme. Dia berhasil mengubah dua tokoh intelektual Cina, yaitu Chen Duxiu dan Li Daxhao menjadi komunis. Partai Komunis Cina didirikan oleh kedua tokoh intelektual ini pada tanggal 23 Juli 1921 di Shanghai dengan uluran tangan dari Biro Timur Jauh Partai Komunis Uni Soviet. Partai ini berkembang pesat di Cina dan pada tahun 1949 berhasil mengusir Partai Nasional China (PNC) milik Kuomintang dari daratan Cina. Pada 1 Oktober 1949, PKC di bawah kepemimpinan Mao Zedong memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China (RRC). Sejak saat itu PKC menjadi satu-satunya partai yang berkuasa di Cina. (www.kompas.com, 15/07/2021)

Pada awal berdirinya RRC, umat Islam masih menikmati kebebasan beragama yang relatif aman. Namun itu tak berlangsung lama, setelah terjadi Revolusi Kebudayaan masjid-masjid dihancurkan, mushaf Al-Qur’an dimusnahkan, haji dilarang, dan semua ekspresi keislaman dilarang oleh Penjaga Komunis Merah (Communist Red Guards). Ketegangan semakin meningkat pasca peristiwa ledakan WTC di AS pada 11 September 2001.

Islamofobia di Barat mendorong semakin meningkatnya islamofobia di Cina. Puncaknya tahun 2009 ketika ada kerusuhan etnis antara Uighur dan Han di seluruh provinsi Xinjiang. Sejak itu pemerintah Cina meningkatkan pembatasan pada gerakan dan budaya Uighur dan muslim minoritas lainnya dengan melakukan kekerasan tanpa rasa kemanusiaan. (matamatapolitik.com, 03/11/2020)

Rangkaian sejarah singkat ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa ideologi yang dianut oleh suatu negara menentukan sikapnya terhadap rakyat dan agama yang dipeluk rakyatnya. Sebelum ideologi komunisme masuk, Islam diterima dengan sangat baik dan ramah oleh penguasa Cina, bahkan mengizinkan para delegasi Khalifah Utsman bin Affan untuk menyebarluaskan agama Islam di sana hingga Islam berkembang pesat di Cina hingga sampai pada puncak kegemilangannya. Namun, seiring dengan masuknya ideologi komunisme ke Cina, semua berubah. Keramahan berganti kebengisan, kebencian komunisme kepada Islam dan kaum muslim begitu besar. Bahkan, saat ini ketika Cina dipengaruhi ideologi kapitalisme, kebenciannya bukan malah surut tapi justru semakin keji. Penindasan Cina kepada muslim Uighur menggunakan kekerasan ala komunisme dengan kerakusan ala kapitalisme demi merampas sumber daya alam yang berlimpah ruah di bumi Uighur.

Layakkah Cina Ditiru dan Dijadikan Sahabat?

Miris, salah satu tokoh nasional bahkan pemimpin negeri di mana mayoritas rakyatnya beragama Islam menyampaikan ucapan selamat kepada PKC yang notabene berideologi komunisme yang sangat memusuhi agama khususnya Islam. Tak berhenti pada ucapan selamat, bahkan menyanjung dan menganggap komunisme sebagai sebab keberhasilan negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Ajakan untuk menjalin persahabatan abadi pun terlontar, padahal kita saksikan betapa negara itu dengan bengisnya telah menindas dan menyiksa saudara seakidah kita di bumi Uighur. Lantas di manakah hati nuraninya bersemayam? Sungguh sikap tokoh dan pemimpin negeri muslim itu sangat menyayat hati.

Benarkah Cina berhasil memakmurkan rakyat dalam rentang waktu 100 tahun ini? Untuk menjawab ini, kiranya kita perlu membahas bagaimana perjalanan ekonomi Cina dari masa ke masa. Cheng Chu-Yuan dalam “The Economy of Communist China 1949-1969” mengatakan kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah Cina saat ini berbeda 180 derajat dengan apa yang pernah diberlakukan oleh Mao Zedong (presiden pertama RRC sekaligus peletak dasar komunisme gaya baru di Cina). Menurut versi Mao, pergerakan revolusi seharusnya berasal dari kaum petani, bukan kaum buruh sebagaimana pendapat Karl Marx. Oleh karena itu Mao menerapkan kebijakan landreform law dengan mengeluarkan Hukum Penertiban Tanah. Semua tanah rakyat disita untuk negara, kemudian dibagikan merata kepada petani penggarap. Namun, peristiwa itu menjadi berdarah-darah karena banyak tuan tanah dan keluarganya yang mengalami kekerasan hingga pembunuhan, karena dianggap membangkang jika menolak menyerahkan tanah mereka.

Tak hanya itu, dipaparkan dalam buku “Republik Rakyat China 1949-sekarang” yang ditulis Michael Wicaksono, Mao pun mencanangkan program Lompatan Jauh ke Depan melalui industrialisasi demi menyaingi negara kapitalis. Caranya dengan mengirimkan para petani ke pusat industri demi meningkatkan kapasitas produksi, khususnya industri berat. Namun bukan untung malah buntung, kebijakan ini justru membuat rakyat kelaparan. Lahan banyak yang tak tergarap karena para petani dipaksa bekerja di pabrik. Akhirnya Mao terpaksa mundur karena gagal membawa perbaikan bagi Cina. Kemudian digantikan oleh Liu Shaoqi yang moderat. Situasi sempat membaik, namun kembali Karut-marut dihantam gerakan Revolusi Kebudayaan yang diinisiasi Mao. Kemudian tampuk pemerintahan berpindah kepada Deng Xiaoping, dia mengadopsi model kapitalisme Barat. Tersebab keberhasilannya dalam pembangunan ekonomi, Deng Xiaoping dinobatkan sebagai Bapak Modernisasi Cina. Inilah awal mula arah ekonomi Cina mengarah pada kapitalisme.

Ekonomi Cina tumbuh melambat di tahun 2020 ini, hal tersebut terhitung sejak reformasi pasar pada tahun 1970-an. Bahkan merupakan level terendah dalam 3 dekade. Pertumbuhan ekonominya hanya 6,1 persen. Biro Statistik Nasional (NBS) Cina mengatakan target tahunan pemerintah adalah 6-6,5 persen. Berbicara mengenai mata uang, walaupun nilai Yuan terus meningkat di kancah internasional, tapi mata uang Cina ini masih jauh tertinggal di belakang, kecil kemungkinan bisa menyalip dominasi dolar AS. Meskipun Cina menjadi sumber impor terbesar bagi 65 negara di dunia, juga destinasi ekspor tidak kurang dari 33 negara. Namun, Cina memiliki ketergantungan gas dari Pakistan, Timur Tengah, dan Afrika Timur. Juga batu bara dari Indonesia dan Australia.

Ciina melebarkan sayapnya dalam proyek ambisius, yakni One Belt One Road (OBOR). Ini merupakan strategi pembangunan dalam memuluskan konektivitas dan kerja sama antara negara-negara Eurasia. Menjadikan Cina sebagai pusat perdagangan di wilayah Eurasia, demi mengambil peran besar di kancah dunia. Implementasinya, Cina memberikan pinjaman jangka panjang untuk membiayai pembangunan infrastruktur di negara-negara peminjam dalam rangka membuka jalur perdagangan baru dengan akses pasar yang lebih luas. Srilangka, Kenya, dan Maladewa sudah terjebak secara mendalam dalam jeratan utang ini karena gagal bayar, besar kemungkinan Indonesia juga akan menyusul ketiga negara ini. (www.cnbcindonesia.com)

Cina memang melesat menjadi negara maju, namun hal tersebut tidak secara otomatis memakmurkan dan membahagiakan rakyatnya. Tetap saja rakyat hidup dengan kemiskinan di bawah tekanan dan paksaan para penguasanya. Kalaupun ada data resmi yang dirilis negaranya, semua itu disesuaikan sedemikian rupa untuk memenuhi target PKC. Bukan hanya itu, negara lain pun ikut menjadi korban dari keserakahan negara panda ini demi hasratnya menguasai berbagai sumber daya alam. Seberapa pun melesatnya Cina dalam kancah dunia, namun belum mampu mengantarkannya pada julukan negara adidaya. Cina masih bertahan pada kekuatan regional-ekonomi.
Berdasarkan sepak terjang Cina selama 100 tahun, yang dimotori PKC dalam segala kebijakannya, dapat kita simpulkan bahwa kini strategi pembangunan model Cina menganut ideologi Komutalisme, yaitu perzinahan antara komunisme dan kapitalisme. Sistem politik setia pada gaya komunisme, sementara sistem ekonomi bertransformasi pada gaya kapitalisme. Lantas kalau sudah begini, layakkah Cina ditiru atau dijadikan sahabat?
Big No! Mengapa?

Pertama, secara akidah, baik komunisme maupun kapitalisme bertentangan dengan Islam. Komunisme dengan atheisme dan kapitalisme dengan sekularisme, keduanya sama-sama menafikan adanya Tuhan. Ini jelas bertentangan dengan akidah Islam, yang mewajibkan umatnya untuk mengimani Allah sebagai Sang Pencipta dan Sang Pengatur. Menyelaraskan seluruh aktivitas dengan aturan Ilahi.

Kedua, sistem ekonomi Cina tetap menimbulkan kesenjangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Cina yang pesat memicu urbanisasi besar-besaran dengan puluhan juta warga pedesaan pindah ke kota besar untuk mendapatkan pekerjaan. Walau pendapatan perorangan mengalami peningkatan, namun tidak semua orang menikmatinya secara seimbang. Jurang perbedaan pendapatan antara warga pedesaan dan perkotaan meningkat tajam sejak 1990.

Ketiga, problem integrasi politik: kasus Uighur, Taiwan, dan Hongkong. Amerika Serikat berikut negara-negara yang tergabung dalam G7 yaitu Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang melayangkan kritik pada Cina terkait tindak penganiayaan dan pelanggaran HAM pada muslim Uighur di Xinjiang. Mereka menyebut ada kamp re-edukasi politik di Cina, sistem kerja paksa di ladang kapas Xinjiang demi memenuhi industri tekstil global, dan sterilisasi paksa pada wanita Uighur, juga memisahkan anak-anak Uighur dari keluarganya. Begitu pun praktik ekonomi yang tidak adil dan dipaksakan di Beijing. Mengikis elemen-elemen demokrasi dalam sistem pemilihan di Hong Kong, dan tindakan yang semakin keras pada Taiwan. (liputan6.com, 06/05/2021)

Tidak ada satu pun alasan, yang bisa membuktikan kelayakan ideologi Komutalisme yang diadopsi Cina sebagai solusi dari permasalahan yang merundung Indonesia, maupun dunia. Oleh karenanya, Indonesia tidak perlu meniru sesuatu apa pun dari Negara Tirai Bambu ini.

Islam Satu-satunya Ideologi Harapan Umat

Islam bukan sekadar agama, tetapi juga ideologi (mabda). Ideologi adalah akidah aqliyah (keimanan melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan kehidupan. Islam datang sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan manusia, dari adab makan hingga urusan pemerintahan. Ideologi Islam terdiri dari fikrah (ide) dan thariqah (metode). Fikrah terdiri dari akidah dan solusi problematika hidup manusia. Sementara thariqah terdiri dari tata cara pelaksanaan solusi problematika, pemeliharaan terhadap akidah, dan pengembanan dakwah ke seluruh penjuru dunia. Keduanya bagai dua sisi mata uang, tak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Jika suatu ideologi hanya bisa eksis dalam fikrah saja, maka akan menjadi wacana belaka. Begitu pula jika ideologi hanya thariqah saja maka akan kebingungan mencari aturan yang akan diterapkan.

Saat ini, Islam sebagai sebuah ideologi, baru sebatas fikrahnya saja yang eksis, sementara ruang untuk mengaplikasikan thariqahnya belum ada. Negara sejatinya merupakan pelaksana thariqah. Itu artinya, ideologi Islam baru akan sempurna penampakannya, jika aturan Islam diadopsi oleh sebuah negara, yakni Khilafah. Khilafah memiliki prinsip bahwa kedaulatan ada di tangan Allah Swt, itu berarti penentu halal-haram dan baik-buruk adalah Allah Swt. Oleh karenanya, sumber aturan yang digunakan wajib merujuk pada Al-Qur’an, As-Sunah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Lantas mengapa harus Khilafah? Karena hanya Khilafah, negara dengan model pemerintahannya yang khas, satu-satunya yang bisa mengakomodasi penerapan aturan Islam kafah. Sementara yang lain, seperti republik, federasi, kerajaan, dan lainnya sudah dimiliki empunya, dari 2 jenis ideologi yang lain yaitu komunisme dan kapitalisme. Islam merupakan rival bagi keduanya, tentu saja selamanya tidak akan diberi kesempatan eksis dalam wujud negara jika kendaraan yang kita gunakan, masih berupa turunannya.

Islam memiliki aturan yang khas dalam urusan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, dan lain sebagainya. Semua aturannya sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan hati. Bahkan Islam pernah menjadi negara adidaya dan mencapai puncak kegemilangannya selama 13 abad lamanya. Sejak Rasulullah hijrah ke Madinah, dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin, kemudian para Khalifah yang setia memimpin dan menjaga amanah risalah Rasulullah di masa-masa selanjutnya yaitu Umayyah, Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah. Khilafah berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya tanpa memandang agama, ras, dan suku bangsa. Karena bagi Islam kewajiban memenuhi kebutuhan pokok masyarakat berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan merupakan tanggung jawab negara. Hal itu mampu direalisasikan dengan pendanaan dari hasil pengelolaan sumberdaya alam secara optimal oleh negara secara mandiri tanpa dicampuri pihak manapun, baik itu swasta lokal maupun asing. Bahkan Bloom dan Blair (2002) pernah mengatakan: “In the Islamic Lands, not only Muslims but also Christians and Jews enjoyed a good life.” (Jonathan Bloom & Sheila Blair, Islam-A thousand years of faith and power, Yale University Press, London, 2002).

Oleh karenanya, fikrah dan thariqah Islam mesti kita wujudkan dalam sebuah negara. Khilafah merupakan satu-satunya model peradaban Islam yang harus kita tegakkan kembali. Sebab, baik komunisme maupun kapitalisme telah gagal memberikan solusi problematika bagi umat manusia di dunia. Bahkan ajarannya telah terbukti rusak di dalam dan merusak ke luar. Khilafah adalah sebuah kemenangan yang dijanjikan Allah Swt kepada umat Islam. Marilah kita sambut janji ini dengan ikut berpartisipasi dalam perjuangan menegakkan Islam kafah dan Khilafah.

Allah Swt berfirman,
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini agamanya? (TQS. Al-Maidah: 50)

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang berbuat kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjanjikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS. An-Nur:55)

Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Hibah Pariwisata di Tengah Pandemi yang kian Menggila

"Seharusnya pandemi ditangani dengan serius karena mati surinya pariwisata akibat pandemi.Namun yang terjadi Ekonomi menukik tajam hingga ke titik nadir, sementara nyawa manusia pun banyak yang tak bisa diselamatkan."


Oleh. Sartinah
(Pemerhati Masalah Publik)

NarasiPost.Com-Pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Akibat terjangan pandemi selama nyaris dua tahun ini, puluhan ribu nyawa menjadi korban. Tak hanya manusia yang menjadi korban, bahkan nyaris di semua sektor turut terdampak pandemi Covid-19, salah satunya adalah sektor pariwisata.

Sektor pariwisata dan ekonomi kreatif menjadi yang paling kolaps karena terjangan pandemi. Terlebih dengan diberlakukannya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. Untuk itu, pemerintah terus berupaya menghidupkan kembali sektor pariwisata dengan berbagai kebijakan di tengah upaya penanggulangan wabah.

Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kembali sektor pariwisata yakni dengan menggelontorkan dana hibah pariwisata sebesar Rp3,7 triliun. Tahun lalu, dana tersebut hanya menjangkau hotel dan restoran. Tahun ini hibah tersebut akan lebih luas jangkauannya, yakni menjangkau pelaku biro perjalanan wisata, tour guide, pramuwisata, tempat rekreasi, dan beberapa sentra wisata. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno. (liputan6.com, 5/7/2021)

Sebelumnya, pemerintah juga mewacanakan kebijakan Work from Bali (WFB) untuk menghidupkan kembali pariwisata Bali yang mati suri. Kebijakan ini diikuti oleh tujuh kementerian dan mengharuskan 25 persen ASN untuk bekerja dari Bali. Pulau Bali yang merupakan wajah pariwisata Indonesia memang telah kehilangan 90 persen pemasukan daerah karena pandemi. Sebagaimana diketahui, nyaris seratus persen perekonomian di Bali memang bergantung pada sektor pariwisata.

Komersialisasi Pariwisata sebagai Penyokong Ekonomi Negara

Perhatian besar pemerintah terhadap sektor pariwisata bukan tanpa alasan. Di tengah karut-marutnya kebijakan penguasa mengatasi wabah, pemerintah tetap saja menggelontorkan beragam insentif untuk menstimulus perputaran ekonomi. Sebagian besarnya diarahkan untuk menyokong sektor pariwisata. Pasalnya dalam sistem kapitalisme, pariwisata menjadi sumber pemasukan negara selain penerimaan dari pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah.

Selama ini sumbangan terhadap devisa negara dari sektor pariwisata memang cukup besar, yakni mencapai 15 miliar dolar AS setiap tahunnya. Namun karena pandemi --yang mana pariwisata sangat bergantung pada kunjungan wisatawan-- devisa dari sektor ini turun drastis hingga sembilan puluh persen. Hal ini pun berpengaruh terhadap anggaran negara yang terus mengalami defisit.

Pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya menjadi sumber pemasukan negara justru dijarah permanen oleh asing. Pemerintah pun seolah tak mampu mengambil dan mengelola SDA dari penjarah, sehingga harus menyasar sektor lain termasuk pariwisata. Mirisnya, untuk menambal devisa yang semakin kritis demi memulihkan ekonomi, pemerintah lagi-lagi mengambil jalan pintas dengan memperbesar utang.

Padahal, utang pemerintah sudah mencapai taraf menghkawatirkan. Hingga bulan April 2021 saja, uang luar negeri Indonesia sudah mencapai 418 miliar dollar AS atau setara dengan Rp5.977,4 triliun (asumsi kurs Rp14.300 per dolar AS). Itu pun belum mencakup keseluruhan utang. Jika diakumulasikan seluruhnya, baik utang yang ditarik dari dalam negeri maupun luar negeri sudah mencapai Rp6.527,29 triliun. (kompas.com/27/6/2021)

Semestinya anggaran yang ada dimaksimalkan untuk penanganan pandemi Covid-19, bukan justru memprioritaskan sektor pariwisata. Apalagi, serbuan pandemi gelombang kedua benar-benar meruntuhkan kekuatan pemerintah dalam menangani wabah. Hal ini tentu saja semakin menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat. Pasalnya, korban meninggal sudah menyentuh angka di atas seribu orang. Belum lagi, rumah-rumah sakit penuh hingga banyak yang terpaksa ditolak karena tak memiliki tempat perawatan. Kelangkaan tabung oksigen yang memunculkan gejala panic buying juga menjadi fenomena miris. Bahkan lebih memprihatinkan lagi menyaksikan banyak pasien isolasi mandiri harus meninggal karena tak sempat mendapat perawatan.

Sayangnya, paradigma rezim kapitalis yang lebih memprioritaskan ekonomi ketimbang nyawa, akhirnya tidak pernah tuntas mengurai akar masalah. Alih-alih ingin menyelamatkan manusia dan ekonomi, yang terjadi justru jauh panggang dari api. Ekonomi menukik tajam hingga ke titik nadir, sementara nyawa manusia pun banyak yang tak bisa diselamatkan.

Jika saja penguasa mampu memilih skala prioritas, niscaya manusia dan ekonomi akan mampu diselamatkan. Sebagaimana diketahui, penyebab mati surinya sektor pariwisata adalah pandemi. Seharusnya pandemi-lah yang diprioritaskan untuk dihilangkan. Jika pandemi dihilangkan, maka nyawa manusia bisa diselamatkan. Jika manusia sehat, sektor ekonomi pun bisa dipulihkan.

Namun sekali lagi, kapitalisme yang berasaskan sekularisme telah menjadikan prioritas peri'ayahan umat adalah materi. Terlebih jika pandemi memukul sektor ekonomi yang memang menjadi ruh kapitalisme, maka prioritas keselamatan adalah perekonomian, bukan kemaslahatan umat.

Pengelolaan Pariwisata dalam Islam

Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dengan ketinggian ideologinya, Islam mampu menjadi problem solving terhadap seluruh problematika manusia. Di bawah naungan Islam pula, lahir para penguasa amanah yang hanya menetapkan kebijakan berlandaskan syariat Islam. Termasuk bagaimana mengambil kebijakaan saat terjadi wabah. Terhadap pariwisata, Islam memiliki pandangan khas yang jauh berbeda dari sistem apa pun, baik sosialisme maupun kapitalisme. Pariwisata dalam pandangan Islam selalu dikaitkan dengan tujuan mulia, yakni untuk beribadah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan keimanan seorang hamba kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah." (HR Abu Daud, 2486)

Kemudian tujuan mulia berikutnya dari pengelolaan pariwisata adalah untuk dakwah dan propaganda. Di antaranya dengan menyampaikan kebenaran Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul. Berwisata juga sebagai aktivitas tadabur alam, yakni mengagumi keindahan ciptaan Allah, baik berupa gunung, darat, lautan, dan sebagainya. Sehingga aktivitas ini akan semakin menguatkan keimanan kepada Allah Swt.

Allah Swt. berfirman: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal." (QS Ali Imran [3]: 3)

Satu hal yang pasti, pengelolaan pariwisata dalam Islam bukanlah untuk tujuan bisnis yang berorientasi pada profit sebagaimana saat ini. Pariwisata dalam Islam hanya dikelola berdasarkan hadlarah Islam. Lebih dari itu, sektor pariwisata bukanl termasuk sumber pemasukan negara. Sebab, negara sudah memiliki sumber keuangan yang cukup berlebih, yaitu dari hasil pengelolaan sumber daya alam, dari harta kepemilikan negara, dan zakat.

Pengelolaan sumber-sumber pemasukan negara secara mandiri tanpa campur tangan asing dan aseng, meniscayakan negara mampu memiliki sistem ekonomi yang tangguh. Karena itu, jika terjadi pandemi maka negara akan fokus memprioritaskan keselamatan rakyat. Prioritas pengurusan seperti ini tidak mungkin ditemui dalam sistem kapitalisme yang menjadikan prioritas keselamatan adalah ekonomi.
Wallahu 'alam bishshawab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Iduladha Momen Ketaatan, Pengorbanan dan Perjuangan

Ketika Allah memerintahkan untuk taat syariat dalam segala hal, maka bersegeralah untuk taat syariat. Jika Allah mengharamkan riba, segera tinggalkan. Jika Allah memerintahkan untuk menerapkan hukum-hukum-Nya, tidak ada kalimat lain yang terucap dari lisannya kecuali ungkapan sami'na wa atha'na, kami dengar dan kami taat, sehingga aturan dan hukum Allah Swt diterapkan secara kaffah.


Oleh: Isty Da'iyah

NarasiPost.Com-Kemarin kita merayakan hari raya Iduladha, hari raya tahun ini masih sama keadaanya dengan hari raya tahun kemarin, yakni masih dalam keadaan wabah yang belum juga sirna. Masih dirayakan dalam keadaan dirundung duka oleh ragam ujian dan cobaan.

Hantaman pandemi gelombang kedua yang lebih dahsyat, membuat negara tidak berdaya. Ribuan orang meninggal, ratusan ribu orang terinfeksi dengan keganasan pandemi. Namun, pada saat yang sama penanganan wabah semakin tak jelas arahnya, kebijakan yang dikeluarkan saling bertabrakan antara satu dan lainya. Rumah sakit kolaps, keberadaan oksigen untuk rakyat langka, pun dengan obat-obatan dan alat kesehatan, yang berakibat rakyat terus ditimpa nestapa.

Sementara kemiskinan, pengangguran, harga kebutuhan pokok yang terus melonjak, utang negara yang terus menumpuk dan aneka persoalan lain. Ironisnya ini terjadi di negeri yang kekayaan alamnya berlimpah ruah. Kekayaan hayati, hutan belantara, kekayaan laut dan kekayaan lainya terhampar di seantero negeri. Sayang, semua kekayaan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, bukan rakyat di negeri ini.

Namun demikian, hendaknya kita selalu menyadari bahwa semua duka itu akan berhenti atas izin Allah. Semua nestapa yang terjadi di momen Iduladha ini, hendaklah tetap menjadikan kita bisa mengambil hikmah yang ada. Kita jadikan momen ini sebagai introspeksi diri untuk tetap menjadi umat yang selalu dalam ketaatan, siap berkorban dan berjuang agar syariah Islam kaffah segera bisa diterapkan.

Iduladha dan Ketaatan

Sudah tertulis dalam Al-Qur'an, selain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang wajib kita amalkan seluruh ajarannya dan semua nasihatnya, ada sosok penting lain yang tidak bisa dipisahkan dari momen Iduladha. Dialah Nabiyullah Ibrahim as dan putranya Ismail as.

Di dalam QS. al-Shaffat ayat 102, Allah mengisahkan bagaimana Ibrahim 'alaihi salam dengan sepenuh keimanan, tanpa sedikitpun keraguan menunaikan perintah Allah yaitu menyembelih putra tercintanya Ismail as. Kedua hamba yang saleh itu tersungkur dalam ketaatan total dan kepasrahan kepada Allah Swt.

Contoh terbaik dalam ketaatan kepada Allah ini, kemudian diabadikan menjadi bagian dari ritual Iduladha yaitu berkurban dan pelaksanaan ibadah haji.

Ketika perintah itu berasal dari Allah Swt. Nabi Ibrahim dengan patuh dan taat melakukan apa yang dititahkan oleh Allah, tanpa protes apalagi melakukan penolakan. Bahkan ketika setan berusaha menggagalkan prosesi penyembelihan, justru Nabi Ibrahim, Ismail dan Siti Hajar berupaya menghalau dan mengusir setan itu dengan melempari setan menggunakan batu. Inilah yang kemudian dijadikan ritual melempar jumrah oleh jemaah haji.

Ketaatan total kepada Allah ini seharusnya dijadikan contoh bagi seluruh umat muslim agar bersegera melakukan segala perintah dan menjauhi larangan dari Allah Swt. Ketika Allah memerintahkan untuk taat syariat dalam segala hal, maka bersegeralah untuk taat syariat. Jika Allah mengharamkan riba, segera tinggalkan. Jika Allah memerintahkan untuk menerapkan hukum-hukum-Nya, tidak ada kalimat lain yang terucap dari lisannya kecuali ungkapan sami'na wa atha'na, kami dengar dan kami taat, sehingga aturan dan hukum Allah Swt diterapkan secara kaffah.

Jika kita bisa bersegera dan bisa memenuhi perintah berkurban, yang menurut jumhur ulama hukumnya sunah, maka semestinya kita lebih bersegera dan lebih ringan menerapkan syariah Islam sebagai wujud ketaatan kita kepada Allah Swt.

Iduladha dan Pengorbanan

Momen Iduladha juga syarat dengan momen pengorbanan, termasuk di dalamnya adalah bulan berhaji. Untuk umat yang tidak berhaji disyariatkan untuk berkurban setelah melakukan sholat Iduladha. Karenanya Iduladha adalah momen untuk pelaksanaan ibadah haji dan kurban bagi yang mampu.

Kisah cinta yang romantis sekaligus dramatis dari orang-orang mulia selayaknya menjadi indah sepanjang zaman bagi umat Islam. Sebab bukankah Allah telah berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 92 yang artinya: "Sekali-kali kalian tidak akan sampai pada kebajikan sebelum kalian mengingatkan harta (di jalan Allah) yang paling kalian cintai."

Nabiyullah Ibrahim as telah membuktikan pengorbanan itu. Bukan hanya harta, bahkan nyawa putra satu-satunya, yang kepadanya tercurah segala cinta dan kasih sayangnya, ia persembahkan dengan penuh keyakinan kepada zat yang ia cintai melebihi apapun yaitu Allah Swt.

Karena itu pada momen penting Iduladha ini, selayaknya kita sebagai umat Islam bisa mengambil Ibrah dari keteladanan Nabi Ibrahim yang mempunyai cinta, ketaatan dan pengorbanan yang besar kepada Allah Swt. Hal ini kemudian diteruskan secara istimewa kepada Nabi Muhammad Saw, dengan kadar yang istimewa. Bahkan beliau juga siap mengorbankan segalanya, termasuk nyawanya demi tegaknya agama Allah di dunia ini.

Iduladha dan Perjuangan

Iduladha juga sebuah momen perjuangan, hal ini bisa dilihat dari syariat yang telah ditetapkan dalam rukun Islam yang kelima. Spirit perjuangan dalam pelaksanaan ibadah haji menggambarkan betapa perjuangan Siti Hajar ketika beliau berjuang sendirian di tengah lembah yang panas, gersang, tidak ada air dan pepohonan. Namun beliau rela dan ikhlas ditinggal suami tercinta. Karena Siti Hajar tahu bahwa semua ini dilakukan karena perintah Allah Swt.

Siti Hajar berkali-kali berlari dari Bukit Shafa ke Bukit Marwa untuk mencari apa yang bisa dimakan dan diminum. Inilah yang kemudian dijadikan ritual sa'i, yakni berlari kecil dari Bukit Shafa ke Bukit Marwa. Spirit perjuangan dalam kisah ini seharusnya bisa menjadikan pelajaran bagi umat untuk tetap berjuang untuk melanjutkan kehidupan Islam di dunia ini.

Berjuang dan berdakwah untuk membebaskan negeri kaum muslim dari berbagai penjajahan. Berjuang agar hukum-hukum Allah bisa diterapkan secara kaffah. Berjuang agar institusi penerapan hukum Allah dan pelindung umat Islam bisa segera tegak kembali.

Perjuangan ini memerlukan pengorbanan yang besar, karena sudah pasti akan banyak tantangan dan perlawanan dari berbagai pihak yang tidak ingin Islam bangkit kembali.

Khatimah

Demikianlah nilai spirit Iduladha yang harusnya dibawa oleh semua umat muslim. Yaitu spirit ketaatan total, pengorbanan dan perjuangan untuk dakwah Islam kaffah. Karena sesungguhnya inilah esensi Iduladha yang sesungguhnya.

Kita diajari tentang cinta, ketaatan dan kepatuhan total kepada Allah Swt. Kita juga diajari tentang keharusan untuk berkorban, mengorbankan apa saja yang ada pada diri kita, semata-mata hanya untuk mentaati perintah Allah saja. Kita dituntut berjuang untuk mencapai kemuliaan Islam dan kaum muslim.

Karena itu dengan meneladani Nabiyullah Ibrahim as. dan Nabi Muhammad Saw, mari kita hadapi segala masalah yang terjadi di negeri kita saat ini, dengan totalitas katakwaan kepada Allah Swt. Dengan tetap berjuang dalam jalan dakwah agar masa depan dan peradaban Islam segera tegak. Sehingga kita bisa hidup dalam naungan Islam yang akan menghadirkan keridaan Allah Swt.

Wallahua'lam bishawab.

Picture Source by Google


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com