Kebahagiaan yang Tak Terbeli

Sejatinya ukuran bahagia dalam sebuah rumah tangga bukan seberapa banyak harta, namun seberapa mampu setiap anggota keluarga menjalani perannya dengan baik.


Oleh.Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis Buku "Menikah Rasa Jannah")

NarasiPost.Com-Ini adalah kisah tentang seorang laki-laki yang kukenal, tapi tak perlu kusebutkan profil dirinya. Cukuplah kisahnya menjadi pembelajaran bagi kita semua. Dia adalah seorang kepala keluarga, hidupnya mapan karena ditopang oleh kariernya yang bagus, yakni seorang manajer di sebuah perusahaan besar. Gajinya 30 juta per bulan. Cukup fantastis tentunya bagi kita yang gajinya hanya UMR atau bahkan di bawah itu.

Yang terbayang adalah hidupnya sempurna. Mau beli apa saja tak perlu banyak pertimbangan. Karena gajinya lebih dari cukup. Namun ternyata hidupnya tak seindah bayangan kita. Rumah tangganya tak bahagia. Anak-anaknya bermasalah. Anak remaja perempuannya terjebak dalam kehidupan yang hedonis, bucin dan baperan. Sementara yang kecil, laki-laki berusia sekitar 7 tahun, mengidap autisme, dalam artian antisosial. Punya kehidupan sendiri. Mengapa? sebab sehari-hari ia akrab dengan gadget. Bermain games dan menonton youtube. Ia sangat jarang berbicara bahkan dengan kakak dan kedua orangtuanya.

Ayahnya yang jarang di rumah, menciptakan jarak yang cukup jauh dengan anak-anaknya. Tak ada keakraban antara ayah dan anak. Tapi bagi sang ayah itu tak jadi masalah, yang penting materi untuk mereka tercukupi. Bagaimana dengan sang istri? ternyata meskipun hanya ibu rumah tangga, tapi ia tak dekat dengan anak-anaknya. Bukan secara fisik, tapi secara psikologi. Kehidupannya yang glamor, membuatnya merasa tak begitu penting melayani pertanyaan anak bungsunya. Maka, demi membuatnya anteng, diberilah gadget agar ia bisa bebas melakukan aktivitas tanpa gangguan sang anak. Begitupun dengan anak pertamanya yang remaja, ia tak dekat. Maka sang anak lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya.

Cekcok suami istri tak perlu ditanya lagi. Hampir setiap hari mereka berkonflik bahkan untuk hal-hal yang sangat sepele.

Begitulah potret keluarga masa kini yang mungkin juga sering kita jumpai di beberapa tempat, terutama di kota-kota metropolitan. Betapa kehidupan hedonis telah meruntuhkan bangunan keluarga. Memporak-porandakan secara perlahan-lahan keharmonisan di dalamnya. Sangat nyata, bahwa uang tak mampu membeli segalanya, termasuk kebahagiaan. Sebab sejatinya ukuran bahagia dalam sebuah rumah tangga bukan seberapa banyak harta, namun seberapa mampu setiap anggota keluarga menjalani perannya dengan baik.

Adapun peran anggota keluarga akan berjalan baik manakala mereka memiliki pemahaman Islam yang sempurna, dekat dengan Sang Khaliq. Sehingga masing-masing memahami hak dan kewajibannya. Seorang ayah dalam pandangan Islam tidak hanya berkewajiban memberi nafkah lahir saja kepada istri dan anak-anaknya, melainkan juga nafkah batin. Misalnya, memberi perhatian, kasih sayang, dan mendidik anak dan istrinya dengan Islam. Adapun istri wajib memberikan pelayanan terbaik kepada suaminya, menampilkan kecantikannya di hadapan suami, bersikap lemah lembut, dan menjaga harta suaminya dengan baik. Artinya istri tidak boleh menggunakan harta suaminya dengan boros, karena harta adalah amanah. Sedangkan amanah akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.

Adapun anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orangtuanya. Bukan cuma memenuhi kebutuhan materinya, tapi orangtua juga harus memenuhi dahaga batinnya. Orangtua yang dekat dengan anak-anaknya secara psikis akan lebih mudah mengarahkan mereka. Membentuk mereka menjadi anak-anak berkepribadian unggul. Ketimbang orangtua yang kaku dan jarang berkomunikasi dengan anak, justru akan menjadikan anak bermasalah. Bukankah banyak orangtua di era modern ini yang dihadapkan pada anak-anaknya yang bermasalah? bisa jadi semua itu berawal karena anak-anak kehilangan sosok yang bisa memberikan kasih sayang dan perhatian. Akhirnya mereka mengalami fenomena fatherless dan motherless. Kehilangan sosok ibu dan ayah padahal secara fisik keduanya masih ada.

Dengan uang kita akan bahagia, begitulah opini yang dihembuskan di alam kapitalisme saat ini. Nyatanya hal tersebut tak selamanya benar. Sebab banyak orang yang tak kurang sesuatu apapun dalam soal harta, namun hidupnya berselimut duka. Oleh karena itu, kita harus memahami faktor hakiki yang mampu mewujudkan kebahagiaan. Ya, keimanan dan ketakwaan kepada Allah, itulah kunci bahagia yang sesungguhnya.

Orang-orang yang bertakwa kepada Allah tentu akan sangat takut jika bermaksiat kepada-Nya, sekecil apapun itu. Maka, rumah tangga yang dibangun dengan pondasi takwa tentu akan berjalan dalam koridor syariatNya. Suami yang bertakwa kepada Allah takkan abai memberikan pendidikan Islam kepada istri dan anak-anaknya. Dia juga takkan abai memberikan perhatian dan kasih sayang kepada istrinya. Sebab sejatinya, relasi suami istri adalah relasi persahabatan, bukan atasan dan bawahan.

Begitupun istri yang bertakwa kepada Allah takkan merasa 'tinggi' di hadapan suami. Ia akan tunduk kepada suaminya karena suami adalah imamnya. Ia akan melayani suaminya dengan sebaik-baiknya dan berupaya menyenangkan hatinya. Sebab rida suami adalah rida Allah.

Begitu juga seorang ibu yang bertakwa kepada Allah, tentu akan memberikan pengasuhan terbaik kepada anak-anaknya. Dia tak akan menghancurkan anak-anaknya dengan gadget demi ego pribadi. Sebab seorang ibu hakikatnya adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Kewajiban ibu lah memberikan keteladanan yang baik pada anak-anaknya.

Dengan demikian, kebahagiaan yang hakiki takkan bisa dibeli, kecuali hanya dengan kembali kepada fitrah kita sebagai manusia, yakni hamba Allah yang bertakwa. Wallahu'alam bi showab.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Vaksin Covid-19, Bukan Senjata Andalan

"Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya."
(HR Imam Muslim).


Oleh. Astuti Rahayu Putri

NarasiPost.Com-Memasuki awal tahun, kasus covid malah semakin menjadi-jadi. Lonjakan kasus baru sampai tanggal 9 januari mencapai angka 10.617. (sumber: tribunnews.com/ 09-01-2021)

Mengerikan sekali. Bagaimana dunia mau pulih kembali, jika grafik terus saja meninggi seperti ini?
Lelah pastinya. Hampir satu tahun segala aktivitas jadi serba terbatas. Aktivitas yang biasa dilakukan di luar, kini sebisa mungkin dilakukan di rumah saja. Tentu, dari segi pelaksanaan tidak akan maksimal. Misalnya saja pembelajaran daring yang selama pandemi ini diterapkan. Tak sedikit keluhan dari orang tua, guru, maupun siswa pun berdatangan. Mulai dari keluhan paket data yang tak mencukupi, orang tua yang kewalahan untuk mengajari, sampai pada penjelasan yang sulit untuk dimengerti. Walhasil kegiatan belajar-mengajar pun jadi kacau-balau. Itu baru efek pandemi pada bidang pendidikan.
Belum lagi efek pada bidang perekonomian maupun kesehatan.

Di bidang perekonomian, ancaman resesi sudah di depan mata. Bagaimana tidak, jalur perekonomian banyak yang mandek akibat penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Sedangkan di bidang kesehatan, tak sedikit tenaga kesehatan yang ambruk karena kelelahan melawan covid. Bahkan mirisnya lagi, angka kematian tenaga kesehatan tertinggi se-Asia ada di Indonesia. Data dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terdapat 504 tenaga kesehatan yang wafat akibat covid-19. (sumber: republika.co.id/02-01-2021)

Memang, kegelisahan masyarakat manapun pemerintah akan masa pandemi ini sudah sampai pada puncaknya. Tak heran vaksin covid-19 begitu ramai diperbincangkan karena diharapkan dapat mengatasi pandemi. Betul saja, dilansir dari cnbcindoneisa.com (11-12-2020) bahwa pemeritah memastikan telah memesan 155,5 juta vaksin covid-19 dari berbagai produsen di dunia. Walaupun vaksin-vaksin tersebut belum mengantongi emergency use authorization (EUA) di negara vaksin tersebut diproduksi. Tampaknya pemerintah begitu ambisius menggunakan senjata vaksin untuk melawan covid-19.

Namun, apakah cukup hanya mengandalkan vaksin untuk melawan covid-19 ? Nyatanya, vaksin bukanlah senjata andalan satu-satunya untuk perang melawan covid-19. Bisa kita lihat bahwa dari data pasien yang berhasil sembuh jauh bisa mengungguli angka kematian akibat covid-19. Ternyata melalui treatment pengobatan yang sesuai dan dibarengi dengan peningkatan daya tahan tubuh, pasien covid 19 dapat sembuh. Jadi melihat kondisi ini, penggunaan vaksin tampaknya belum menjadi kebutuhan yang mendesak yang harus ada saat ini juga. Akan tetapi, yang lebih mendesak adalah bagaimana pemerintah bisa fokus berupaya mengembalikan kehidupan yang normal. Dengan menekan jumlah kasus baru yang muncul.

Anehnya disini, pemerintah seakan tergesa-gesa membeli vaksin dari negara-negara tersebut. Di saat banyak ahli yang memberikan sinyal kehati-hatian akan penggunaan vaksin covid-19 yang belum teruji secara sempurna. Karena ini menyangkut keamanan dan keselamatan penerima vaksin, maka tentu saja butuh waktu yang tidak sebentar untuk memastikan kelayakan dan keamanannya. Jangan sampai, ada kepentingan lain yang terselip sehingga vaksin begitu dipaksakan.
Sementara pemerintah sibuk mengeluarkan pundi-pundi rupiah yang tidak sedikit untuk membeli vaksin dari negara lain.

Penerapan langkah krusial seperti upaya 3T tracking (pelacakan), tracing (penelusuran), dan testing (pengujian) malah terabaikan. Padahal pelaksanaan 3 T yang baik dapat memutus mata rantai covid-19 dengan cepat. Namun, lagi-lagi kendala biaya dan fasilitas selalu menjadi penghalang. Masih tingginya biaya alat tes sungguh membebani rakyat. Bahkan untuk memperoleh tes dengan akurasi yang tinggi, misalnya Swab tes, rakyat harus merogoh kocek hingga Rp. 900.000,- per kepala.

Bayangkan jika satu keluarga mau di tes. Tentu totalnya bisa sampai jutaan. Sungguh biaya yang sangat fantastis. Belum lagi nanti jika program vaksinasi dijalankan. Vaksin yang diimpor dari negara lain, tentu bukanlah murah.
Subsidi dari pemerintah pun menjadi jalan keluar yang semu. Bagaimana tidak, memang untuk saat ini pemerintah meringankan beban rakyat melalui subsidi. Namun ternyata, di luar sana mereka berutang kepada negara lain. Utang pun kian menggunung. Negeri ini pun jadi tersandung dalam jurang kapitalisme yang semakin dalam.

Berbicara mengenai mekanisme penangan wabah maupun pandemi, sistem Islam punya panduan yang terbaik. Dalam sistem Islam, ada beberapa langkah penanganan wabah atau pandemi sehingga efeknya tak berlarut-larut seperti sekarang ini.

Pertama, mendeteksi area-area yang terjangkit wabah dan sesegera mungkin menutup akses keluar masuk area tersebut. Rasulullah Saw bersabda:

"Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya."
(HR Imam Muslim).

Kedua, memisahkan yang sakit dan yang sehat dan segera melakukan isolasi bagi yang sakit.

Ketiga, mengobati yang sakit sampai benar-benar sembuh.

Bedanya dalam sistem Islam, pelaksanaan mekanisme tersebut dijalankan secara baik, tersistem dan terencana. Karena dalam penerapannya sangat jauh dari unsur kepentingan politik maupun pribadi. Semua murni demi memberikan pelayanan terbaik bagi umat. Karena sejatinya begitulah tugas seorang pemimpin dalam sistem Islam, yaitu melayani umat.

Melalui penerapan sistem Islam kita dapat menemukan jawaban terhadap segala permasalahan, termasuk masalah pandemi maupun wabah penyakit. Karena sistem Islam merupakan sistem kehidupan yang berlandaskan akidah Islam dan bersumber langsung dari Sang Khalik (pencipta), yaitu Allah Swt.

Wallahu alam bish shawab.[]


Photo : Google Source

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Menjadi Sugar Baby, Apa yang Sedang Kaucari?

"Dunia memang sangat menyilaukan bagi mereka yang tipis imannya. Banyak harga diri dan kesucian tergadai demi mengejar nafsu sesaat seperti maraknya sugar baby dan sugar daddy."


Oleh: Irma Sari Rahayu

NarasiPost.Com-Pernah mendengar istilah sugar baby nggak? Awalnya, saya kira sugar baby itu sejenis makanan manis yang rasanya enak. Ternyata saya salah. Sugar baby adalah istilah untuk perempuan yang menjadi simpanan, selingkuhan atau pacar laki-laki yang mapan atau kaya secara ekonomi (disebut sugar daddy). Pekerjaannya beragam,  mulai dari pengusaha bahkan pejabat. Kebanyakan, sugar baby ini masih pelajar SMA dan mahasiswa seperti kamu, lho. 

Fenomena sugar baby memang bukan hal yang baru. Bedanya, dulu mereka malu-malu kucing untuk mengakui. Kalau sekarang, justru semakin terang-terangan bahkan bangga. Apalagi saat ini sudah zamannya media sosial. Banyak lho, para sugar baby ini yang pamer barang mewah pemberian daddy mereka, terus posting deh. 

Kenapa sih mereka mau menjadi 'sugar baby_? Apa nggak malu, ya? Ternyata gaya hidup hedonis penuh kemewahanlah yang membuat para remaja tergiur. Apalagi melihat idola di media sosial yang kerap menampilkan gaya hidup mewah, seperti handphone mahal, mobil mewah, fashion branded, dan jalan-jalan ke luar negeri hampir tiap bulan. Duh, siapa sih yang nggak pingin?

Nah, dengan menjadi sugar baby, semua kemewahan yang awalnya cuma impian bisa dirasakan. Nggak perlu capek kerja banting tulang, uang mengalir sendiri. Kayaknya enak, ya? Masalah dosa urusan nanti. Yang penting bisa happy.

Coba deh simak penuturan sugar baby yang dikutip dari Solopos.com. Fania (bukan nama sebenarnya) mengaku pernah berkencan dengan delapan sugar daddy demi mendapat kemewahan yang diidam-idamkan. Sampai-sampai, Fania bilang sudah nggak tertarik lagi sama cowok yang sebaya.

Ina berbeda lagi. Ia mengaku pernah mendapat uang 15 juta rupiah yang dihabiskan untuk belanja, nongkrong atau jalan-jalan ke luar negeri. Hedon banget, ya, kehidupan mereka?

Lebih mengerikan lagi kalau para sugar baby ini tidak hanya sekadar kencan menemani ngobrol para sugar daddy. Faktanya, mereka juga harus bersedia untuk melakukan hubungan intim, meskipun harus sesuai kesepakatan antara dia dan daddy.

Seperti yang diakui oleh Ralina. Ia membuat kesepakatan dengan daddy-nya seperti hubungan intim dalam waktu semalam atau sesuai kontrak yang disepakati. Nah, kalau sudah sampai sejauh ini, bayarannya bisa tinggi, apalagi kalau masih pelajar SMA (kumparan.com). Na'udzubillah min zalik. 

Miris, ya. Remaja yang selayaknya menjadi aset untuk membangun negara, malah terjerumus pada kemaksiatan, mengejar kebahagiaan semu yang memabukkan. Bahagia itu bukan karena berlimpahnya harta, Kawan. Tapi karena Allah rida pada kita. Harta banyak tapi Allah nggak rida, buat apa? 

Masih banyak juga sih, yang beranggapan, mumpung masih muda, bisa foya-foya. Tapi siapa yang mengetahui batas usia kita hidup di dunia? Banyak kok remaja-remaja yang meninggal di usia muda. Nah, sudah punya bekal apa kita untuk persiapan menghadap Allah nantinya? 

Bukan hanya murka Allah saja yang didapat, Sobat, tapi ada faktor lainnya. Apa kamu nggak takut terkena penyakit kelamin karena gonta-ganti pasangan? Sekalipun kamu pakai pengaman, kalau Allah sudah berkehendak, kita nggak bisa mengelak. Memangnya kamu sanggup menanggung resikonya? Resiko malu, dijauhi keluarga, teman, dan rasa sakit itu sendiri. Belum lagi hukuman yang harus diterima karena sudah berzina, seperti yang Allah kabarkan dalam surat An Nur ayat 2 yang artinya:

"perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap satu dari keduanya dengan seratus kali deraan. Dan janganlah kamu belas kasihan kepada keduanya didalam menjalankan (ketentuan) agama Allah yaitu jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dalam (melaksanakan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman".

Masih berani menantang Allah? Sudahlah, yuk jauhi maksiat! Lebih baik jadi remaja taat. Banyak kajian-kajian online yang bisa kita ikuti. Masa pandemi jangan jadi alasan bagi kita untuk nggak mau ngaji. Surga bukan cuma untuk orang tua saja, Kawan. Jadi, mumpung masih remaja, saatnya menjadi hamba yang bertakwa. Raih rida Allah semata, karena kenikmatan dunia hanya tipuan saja. Wallahu a'lam.[]


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com